Kasus Reynhard Sinaga yang terbukti bersalah karena memperkosa ratusan pria di Inggis, membuka mata kita semua bahwa ada macam-macam kelainan seksual yang nyata. Namun homoseksual menurut ilmu kedokteran bukan termasuk penyimpangan seksual. Homoseksualitas, biseksualitas maupun heteroseksualitas kini dikategorikan sebagai bagian dari identitas diri seseorang. 

 

Kejahatan yang dilakukan Reynhard Sinaga lebih karena ia melakukan hubungan seksual pada korbannya tanpa persetujuan, di mana seluruh korbannya dibuat tidak sadarkan diri. Lantas, apa yang disebut kelainan atau penyimpangan seksual itu? 

 

Ada macam-macam kelainan seksual yang dikenal dalam dunia kedokteran. Yuk, kita bahas satu-satu dan kenali perbedaannya. Jika ada kerabat Kamu bahkan Kamu pernah menjadi korban dan menjadi trauma, ada solusi untuk mengatasi traumanya.

 

Baca juga: Apa Saja Sih Jenis Perkosaan dalam Perkawinan?

 

Macam-macam Kelainan Seksual 

Kelainan seksual atau penyimpangan seksual disebut parafilia. Parafilia adalah fantasi atau perilaku membangkitkan gairah seksual dengan objek tertentu, bisa berupa benda mati, anak-anak, fantasi, atau situasi, yang sangat intens.

 

Kelainan seksual tidak sekadar menyebabkan masalah pada korbannya, namun bisa sampai tahap membahayakan. Mayoritas pemilik kelainan seksual adalah pria. Beberapa pria bahkan memiliki lebih dari satu jenis kelainan seksual.  

 

Beberapa dari mereka yang memiliki penyimpangan seksual diketahui juga memiliki gangguan kepribadian seperti gangguan kepribadian antisosial atau gangguan kepribadian narsistik.

 

Berikut ini macam-macam kelainan seksual yang paling umum. 

 

1. Eksibisionis

Eksibisionis adalah kelainan seksual dengan memperlihatkan secara terbuka alat kelamin mereka pada orang lain untuk membangkitkan gairah seksualnya. Korban para eksibisionis bisa orang dewasa maupun anak-anak, laki-laki maupun perempuan.

 

Penderita eksibisionis tidak bermaksud melakukan kontak seksual dengan korbannya, apalagi memperkosa. Mereka hanya menunjukkan alat kelaminnya saja. Kelainan eksibisionisme biasanya dimulai pada masa remaja. Sebagian besar penderita sudah menikah, tetapi pernikahannya sering bermasalah.

 

Meskipun perilakunya bagi orang lain menakutkan dan menjijikkan, namun kebanyakan orang dengan kelainan seksual eksibisionistik tidak memiliki masalah kejiawaan atau gangguan mental. 

 

2. Pedofilia

Geng Sehat masih ingat kasus Robot Gedeg, penderita kelainan seksual pedofilia yang sempat menghebohkan tanah air. Gangguan penyimpangan seksual pedofilia ditandai dengan fantasi, desakan, atau perilaku seksual yang berulang dan intens kepada anak-anak (biasanya di bawah usia 13 tahun).

 

Pedofil ini tidak terbatas melakukan hubungan seksual dengan anak laki-laki, tetapi juga anak perempuan. Pedofilia juga salah satu jenis parafilia atau kelainan seksual karena menyebabkan kerusakan dan trauma pada korbannya.

 

Pedofilia lebih sering dilakukan pria daripada wanita. Mereka, memiliki skala kelainan berbeda-beda. Ada yang hanya suka melihat dan menyentuh alat kelamin anak-anak, atau hingga memaksa melakukan hubungan seksual.

 

Pedofil bagi masyarakat adalah predator karena tak jarang menggunakan kekerasan atau paksaan pada anak-anak untuk melayani nafsu birahi mereka. Tidak segan mereka mengancam akan menyakiti korban, atau hewan peliharaan korban jika korban memberitahukan perbuatannya pada orangtua atau orang lain.

 

Kebanyakan kaum pedofil ini memiliki gangguan kepribadian antisosial. Sebagian lagi terlibat dalam penyalahgunaan zat terlarang, atau menderita depresi. Mereka umumnya berasal dari keluarga yang tidak berfungsi, atau dibesarkan dalam lingkungan penuh konflik. Banyak juga pedofil yang waktu kecil mengalami pelecehan seksual.

 

Baca juga: Cegah Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual

 

3. Transvestisme

Transvestisme adalah kelainan seksual di mana penderitanya mendapatkan kepuasan seksual dengan berdandan sebagai wanita (atau pria). Berasal dari kata fetisisme (fetis artinya pakaian). 

 

Dalam kasus penderita menggunakan baju wanita, tentu saja penderitanya adalah pria. Jika ia wanita, maka akan lebih suka memakai pakaian pria. Namun, mereka tidak ingin mengubah jenis kelamin mereka, seperti yang dilakukan waria. 

 

Laki-laki heteroseksual yang mengenakan pakaian wanita biasanya memulai perilaku seperti itu di akhir masa kanak-kanak. Perilaku ini dikaitkan, setidaknya pada awalnya, dengan gairah seksual yang intens. 

 

Pada penderita pria, mereka akan terbangkitkan gairah seksualnya hanya ketika menggunakan pakaian wanita. Padahal mungkin awalnya adalah untuk mengurangi kecemasan, atau untuk bereksperimen dengan sisi feminin dari kepribadian mereka sebagai seorang pria.

 

Namun di kemudian hari (kadang-kadang di usia 50-an atau 60-an), beberapa penderita transvestisme akan mengalami disforia gender. Mereka mungkin berusaha mengubah tubuh mereka menjadi wanita dengan melakukan operasi penggantian kelamin.

 

Baca juga: Pentingnya Mengenalkan Perbedaan Gender pada Si Kecil

 

4. Voyeurisme

Voyeurisme adalah kelainan seksual di mana pelaku terangsang secara seksual dengan mengintip orang telanjang atau tengah melakukan aktivitas seksual. Pelaku hanya mengintip tanpa bermaksud melakukan kontak seksual dengan korbannya.

 

Voyeurisme biasanya dimulai di masa remaja atau awal masa dewasa. Sebagian besar penderita voyeurisme adalah pria. Uniknya, masyarakat sering menganggap bentuk-bentuk ringan dari perilaku ini sebagai hal yang normal. 

 

Namun melihat gambar atau film porno yang sekarang mudah diakses secara pribadi di internet, tidak dianggap voyeurisme karena tidak memiliki unsur observasi rahasia, yang merupakan ciri khas voyeurisme.

 

5. Masokis

Masokis adalah kepuasan seksual yang didapatkan dari rasa sakit. Penderita harus disakiti terlebih dahulu oleh pasangan seksualnya baik itu dengan dihina, dipukuli, diikat, ditampar, atau dilecehkan.

 

Masokis ini juga kerap dikaitkan dengan kelainan seksual sadisme sehingga sering digabungkan dengan sadomasokis. Penderita sadomasokis akan meminta pasangan seksualnya melakukan kekerasan fisik maupun verbal, sehingga hubungan mereka umumnya berdasarkan persetujuan.

 

Salah satu subtipe kelainan seksual dari sadomasokis adalah asfiksiofilia. Penderita asfiksiofilia akan menyakiti diri mereka sendiri, misalnya membuat dirinya tersedak atau mencekik diri sendiri dengan mengikat lehernya dengan tali, sebelum berhubungan seksual.

 

Baca juga: Tayangan Kekerasan di TV Menyebabkan Anak Agresif dan Ketakutan

 

Bagaimana Cara Menghilangkan Trauma?

Itu tadi macam-macam kelainan seksual yang tentu akan meninggalkan trauma pada korbannya. Bagaimana cara menghilangkan trauma pelecehan atau kekerasan seksual dari para penderita kelainan seksual ini?

 

Menjadi korban pedofil tentu akan berdampak panjang pada masa depan anak-anak. Anak akan merasa kotor dan lemah. Mereka pasti takut untuk bicara. Orangtua harus paham setiap perubahan perilaku pada anak-anak yang tidak biasa.

 

Anak korban pelecehan seksual, umumnya menunjukkan tanda misalnya merasakan sakit di area dubur, menarik diri dari pergaulan, hingga depresi. Untuk korban anak-anak, orang tuanyalah yang harus lebih aktif.

 

Bagi orang dewasa korban kekerasan seksual, bagaimana cara menghilangkan trauma? Cara berikut bisa diterapkan:

 

1. Membuka diri

Membuka diri sebagai korban pelecehan atau kekerasan seksual tentu tidak mudah. Tetapi Kamu harus melakukannya. Temui psikiater, psikolog atau ahli dan komunitas-komunitas korban kekerasan seksual. Kamu harus bisa membebaskan diri dari penderitaan seorang diri yang mungkin justru akan semakin membuat Kamu depresi.

 

2. Atasi perasaan bersalah dan malu

Bahkan meskipun Kamu adalah korban, Kamu mungkin tetap akan memiliki rasa bersalah atau malu. Perasaan ini dapat muncul segera setelah kejadian, atau muncul bertahun-tahun kemudian.

 

Perasaan bersalah dan malu sering berasal dari kesalahpahaman seperti, mengapa Kamu tidak berusaha menghentikan aksi pelaku. Banyak korban kekerasan seksual mengaku otak mereka serasa "beku" saat kejadian. Ingatlah bahwa penyerang atau pelaku adalah satu-satunya yang harus disalahkan. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri.

 

3. Bersiaplah menghadapi semua kenangan buruk

Ketika Kamu melewati sesuatu yang membuat stres, tubuh Kamu sementara waktu akan masuk ke mode "fight-or-flight". Ketika ancaman telah berlalu, tubuh menjadi tenang. Tetapi pengalaman traumatis dari aksi kelainan seksual dapat menyebabkan sistem saraf selalu dalam kondisi siaga tinggi.

 

Kamu menjadi hipersensitif terhadap rangsangan terkecil. Selalu ingat dengan kejadian dan mimpi buruk adalah hal yang wajar, dalam beberapa bulan pertama. Namun jika berlangsung terus menerus, Kamu mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

 

Cobalah untuk mengantisipasinya dengan mempersiapkan pemicu. Pemicu yang dimaksud dalah dengan mengingat tanggal kejadian, pelaku atau tempat yang terkait dengan kejadian, suara, dan bahkan aroma saat itu. Tujuannya adalah mengetahui apa yang membuat Kamu trauma sehingga bisa dilakukan terapi yang sesuai.

 

Perhatikan sinyal tubuh Kamu. Tubuh Kamu akan tegang, menahan napas, pikiran kacau, sesak napas, rasa panas, pusing, dan mual ketika mengingat apa. Saat Kamu mengalami gejala tadi, penting untuk bertindak cepat untuk menenangkan diri sebelum lepas kendali. Salah satu cara tercepat dan paling efektif untuk menenangkan kecemasan dan kepanikan adalah mengatur pernapasan.

 

4. Hubungkan kembali tubuh dan perasaan Kamu

Karena sistem saraf Kamu dalam keadaan hipersensitif setelah pemerkosaan atau penyerangan seksual, Kamu mungkin mulai mencoba untuk mematikan diri sendiri atau menghindari hubungan dengan trauma.

 

Tetapi langkah ini berdampak juga Kamu merasa dimatikan secara fisik. Kamu tidak dapat merasakan sensasi tubuh seperti dulu. Misalnya mengalami kesulitan membedakan antara kesenangan dan rasa sakit, dan sulit berkonsentrasi.

 

Untuk pulih, Kamu perlu menyambung kembali koneksi antara tubuh dan perasaan. Dengan begitu Kamu akan merasa lebih aman, percaya diri, dan kuat. Nah langkah yang bisa Kamu lakukan adalah dengan mempelajari yoga, Tai Chi, dan meditasi. Semua aktivitas ini menggabungkan kesadaran tubuh dengan gerakan yang terfokus dan dapat membantu meringankan gejala PTSD dan trauma.

 
Baca juga: Ternyata, Yoga Bisa Meningkatkan Kualitas Otak Kita Loh!

 

5. Tetap terhubung

Wajar seorang korban kekerasan seksual merasa terisolasi dan terputus dari orang lain. Korban akan menarik diri dari kegiatan sosial dan orang yang dicintai. Padahal, penting untuk tetap terhubung dengan kehidupan dan orang-orang yang peduli.

 

Dukungan dari orang lain sangat penting untuk pemulihan korban. Dukungan tidak selaku menempatkan korban harus selalu membicarakan atau memikirkan apa yang terjadi. Bersenang-senang dan tertawa dengan orang-orang yang peduli bisa sama-sama menyembuhkan.

 

Berpartisipasilah dalam kegiatan sosial, meskipun Kamu tidak menyukainya. Lakukan hal-hal "normal" dengan orang lain, hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan trauma seksual.

 

6. Tetap merawat diri

Penyembuhan dari trauma kekerasan seksual adalah proses bertahap dan berkelanjutan. Kesembuhan tidak akan tercapai dalam semalam. Trauma juga tidak pernah hilang sepenuhnya. Ingatan buruk ini dapat membuat hidup terasa sulit di saat-saat tertentu.

 

Tetapi ada banyak langkah yang dapat Kamu ambil untuk mengatasi gejala sisa dan mengurangi kecemasan dan ketakutan. Luangkan waktu untuk beristirahat dan mengembalikan keseimbangan tubuh. Hindari melakukan apa pun secara kompulsif, termasuk bekerja. Jika Kamu kesulitan, mintalah bantuan ahli relaksasi, seperti meditasi dan yoga.

 

Selama pemulihan, hindari menonton program apa pun yang dapat memicu kenangan buru, termasuk berita tentang kekerasan seksual dan film bertema sama. Jangan lupa untuk makan dengan benar, berolahraga secara teratur, dan tidur cukup.

 

Paling penting adalah jangan lari dari masalah dengan mendekati alkohol dan narkoba. Penggunaan zat memperburuk gejala trauma, termasuk mati rasa emosional, isolasi sosial, kemarahan, dan depresi.

 

Baca juga: Kenali Gejala PTSD atau Stress Pasca Trauma Berat!

 

 

 

 

Referensi:

Msdmanuals.com. Overview of paraphilias and paraphilic disorders.

Helpguide.org. Recovering from rape and sexual trauma.