Geng Sehat sudah nonton Joker? Film ini masih menjadi pembicaraan hangat dan melahirkan pro dan kontra, terutama ketakutan akan efeknya kepada masyarakat. Dalam Joker, Joaquin Phoenix dengan cemerlang menciptakan seorang penjahat ikonik. Ia menggambarkan dengan sangat gamblang bahwa kehancuran psikologis satu orang bisa membuat hancur satu kota.

 

Bahkan sebelum dirilis, film ini telah memicu perdebatan. Alasan paling banyak dikemukakan adalah ketakutan adanya fandom yang kelak akan mengikuti perilaku Joker. Apalagi di negara kelahiran film ini, Amerika Serikat, kejahatan dengan senjata api sangat marak. 

 

Joker berbicara tentang antihero, seorang penderita gangguan mental dengan dunianya yang gelap. Lantas apa yang bisa kita pelajari dan diskusikan tentang gangguan mental melalui film Joker ini?

 

Baca juga: Apa Rasanya Depresi? Depresi dari Sudut Pandang Penderita

 

Pro Kontra Gangguan Mental dalam Film Joker

Setidaknya ada lima pro dan kontra terkait gangguan mental yang diperlihatkan dalam film Joker.

 

1. 'Joker' dikhawatirkan semakin menguatkan stigma penyakit mental

Penyakit mental adalah topik yang sering dipandang negatif bahkan disalahartikan oleh masyarakat. Karakter dengan penyakit mental sering digambarkan sebagai individu yang mudah marah, kejam, dan destruktif.

 

Film Joker arahan sutradara Todd Phillips, adalah thriller psikologis yang sangat tepat menggambarkan stigma gangguan mental. Sebagian pengamat mengkhawatirkan, Joker akan semakin menguatkan stigma penderita gangguan mental, bahwa mereka berbahaya dan sadis. Atau lebih buruk lagi, menumbuhkan kepercayaan bahwa orang yang menderita penyakit mental harus diperlakukan sebagai orang asosial dan harus dikucilkan.

 

2. 'Joker' sangat jujur bercerita tentang perjuangan memiliki penyakit mental

Dalam Joker, Arthur Fleck yang diperankan Joaquin Phoenix, menderita suatu kondisi yang dikenal sebagai "pseudobulbar effects". Penyakit ini menyebabkan penderitanya tertawa atau menangis dengan intensitas yang ekstrim pada saat-saat yang tidak tepat. 

 

Alih-alih menerima perhatian dan simpati dari rekan-rekannya, Arthur justru terisolasi, diejek, dan bahkan dipukuli dengan keras ketika kondisi penyakitnya muncul di sepanjang film. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa penderita gangguan mental sudah kenyang dengan perlakukan sinis dari orang sekitar. Perlakukan ini akan semakin memperburuk kondisi pasien.

 

Baca juga: Mengenal Istilah Kesehatan Mental

 

3. 'Joker' mengaitkan penyakit mental dengan kekerasan

Film ini dengan jelas dan sengaja seakan memberikan pembenaran bagi penontonnya untuk semakin ketakutan dan salah paham tentang kesehatan mental. Bahwa ketika seseorang menderita gangguan mental, maka menjadi hal normal ketika ia berbuat kejahatan atau tindak kekerasan, bahkan brutal.

 

Pada kenyataannya, tidak ada hubungan yang bisa dibuktikan antara tindak kekerasan dan penyakit mental. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health, hanya satu dari lima orang penderita penyakit mental yang melakukan tindakan kekerasan

 

Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan penyakit mental justru cenderung menyakiti diri sendiri daripada orang lain.

 

4. ‘Joker’ secara realistis menggambarkan perjuangan mencari pengobatan untuk penyakit mental

Arthur tidak pernah diberikan diagnosa resmi tentang kondisinya. Ia terus mencari pengobatan untuk penyakit mentalnya namun gagal hingga akhirnya terjerumus ke dalam perilaku kekerasan.

 

Ya, faktanya memang begitu Geng. Tidak mudah mendiagnosa penyakit mental. Gejalanya kadang saling tumpang tindih dan beririsan. Kita melihat dalam Joker, bagaimana Arthur sudah meminum tujuh obat berbeda tetapi masih berjuang dengan gejala penyakit mentalnya.

 

Kondisi mentalnya berubah menjadi terburuk setelah Gotham City mengurangi dana untuk layanan sosial dan menutup pusat psikiatris, tempat Arthur berobat. Ini adalah potret perjuangan nyata yang sangat menyakitkan yang dihadapi oleh orang-orang yang hidup dengan penyakit mental.

 

Kurangnya akses ke pelayanan kesehatan atau dukungan untuk mencari pertolongan, menjadikan kondisi pasien semakin memburuk. Meskipun jutaan orang berjuang dengan masalah kesehatan mental, penelitian mengungkapkan bahwa hanya dua pertiga dari mereka yang benar-benar mencari bantuan dari seorang profesional.

 

Baca juga: Penyakit Mental Juga Ditanggung oleh BPJS, Lho

 

5. 'Joker' mencetuskan dialog tentang pentingnya pengobatan kesehatan mental

Dalam beberapa hal, film ini berhasil menciptakan pandangan yang kuat tentang bagaimana orang-orang dengan penyakit mental diperlakukan di masyarakat. Sayangnya Joker menggunakan penyakit mental sebagai alat plot untuk membenarkan tindakan mengerikan Arthur.

 

Menurut kritikus, secara keseluruhan, Joker jelas memiliki niat baik. Tetapi pesan film menjadi berkabut ketika garis antara menciptakan empati bagi mereka yang berjuang dengan penyakit mental dan merasionalisasi perilaku kekerasan menjadi tidak lagi jelas.

 

Terlepas dari itu, film ini mengajak orang semakin peduli dengan kesehatan mental, terutama dalam menghilangkan stigma dan membantu penderita mencari pertolongan.

 

Film ini ditujukan untuk usia 13 tahun ke atas. Namun usia 13 juga sebaiknya masih mendapatkan pendampingan dari orang tua. Jika Kamu terganggu dengan film ini, sebaiknya diskusikan dengan profesional, psikolog atau psikiater. 

 

Baca juga: Lima Cara Hidup Bahagia Menurut Penelitian

 

 

Referensi:

Cheatsheet.com. Does Joker harm or help the perception of mental illness. 

Insider.com. Joker problematic connects mental illness and violance.