Jangan Biarkan Penderita Depresi Berjuang Sendirian 

 

Penderita depresi kerap mengalami kesepian, sedih yang mendalam, dan merasa tidak berguna. Karena putus asa, mereka memilih mengakhiri hidup. Berikut ini 3 penderita depresi yang bersedia berbagi kisah mereka kepada Guesehat. Kuncinya hanya satu, jangan biarkan mereka berjuang sendirian. Orang terdekat harus lebih waspada jika menemukan gejala depresi sekecil apa pun pada orang terdekat. Jangan tunggu sampai terlambat.

 

Anto, 34  Tahun, Mencoba Bunuh Diri Sejak Usia 13 Tahun

Masa SMP seringkali dikatakan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke remaja awal. Tidak heran jika pada usia SMP, kebanyakan anak lebih suka bermain dan memiliki pikiran yang simpel. Tapi tidak dengan Anto. Depresi itu datang ketika ia masih duduk di bangku SMP. 

 

Semuanya berawal ketika ia harus pindah ke luar kota karena tuntutan pekerjaan ayahnya. Ia harus meninggalkan rumah serta teman-temannya, dan pindah ke tempat baru. Setelah pindah ke luar kota, ternyata ia mengalami kesulitan menyesuaikan diri.

 

"Ya namanya juga masih muda. Karena pindah dari Jakarta ke daerah, saya jadi punya superiority complex. Saya malah merendahkan yang di sana," ujar Anto kepada GueSehat. Karena sulitnya penyesuaian diri tersebut, ia mengalami stres berat. 

 

Pikiran bunuh diri pun muncul pertama kali di pikirannya saat Anto kelas 3 SMP. Saat itu, ia dua kali mencoba bunuh diri. "Yang pertama minum obat pembasmi serangga, saya tenggak semua, tapi langsung muntah. Yang kedua kali, saya coba menyilet tangan, tapi karena sakit saya berhenti," jelas Anto. Karena kedua percobaan bunuh diri gagal, Anto merasa ia tidak bisa menyakiti diri sendiri. Alhasil, ia mulai menyakiti orang lain. "Saya brutal banget. Itu masa-masa yang tidak ingin saya ingat," ujarnya. 

 

Anto mulai menata kembali hidupnya di saat kelas 2 SMA. Ia mulai berhenti bersikap anarkis. Namun, depresi itu datang lagi setelah ia menikah di tahun 2011. Ada beberapa alasan yang menyebabkan depresinya kambuh, termasuk karena ia harus kehilangan pekerjaan di tahun 2014.

 

Sambil mencari pekerjaan baru, Anto menjadi driver salah satu perusahaan taksi online. Karena semakin putus asa, Anto sudah memutuskan akan bunuh diri jika nantinya uangnya habis dan ia belum mendapatkan pekerjaan. Ia tidak mau menjadi beban keluarga. Anto sudah menyiapkan 10 bungkus racun tikus untuk rencana bunuh dirinya tersebut. Ia bahkan sudah menetapkan tanggal dan menuliskan alasan kenapa ia mengambil keputusan tersebut.

 

Baca juga: 8 Gejala Depresi yang Tidak Disangka-sangka

 

Untungnya, niat tersebut tidak terlaksanakan karena Anto akhirnya mendapat pekerjaan. Namun, pikiran bunuh diri kembali muncul ketika istrinya keguguran untuk kelima kalinya. Di saat niat bunuh diri menyelimuti pikiran Anto, seorang temannya membujuknya untuk ke psikiater. Meskipun ragu, akhirnya Anto mendengarkan kata temannya tersebut. Namun, ia menetapkan, jika hingga tanggal tindakan bunuh diri yang ditetapkan dirinya tidak kunjung membaik, maka ia akan mundur.

 

Setelah ke psikiater, Anto diberikan obat oral. Setelah memulai pengobatan, ia juga meninggalkan rumah. Memang, hubungannya dengan istri semakin merenggang. Lagipula tidak ada satupun keluarga yang tahu tentang kondisinya.

 

Setelah itu, Anto bergabung ke salah satu support group untuk orang-orang yang memiliki masalah psikologis. Sejak memulai pengobatan dan bergabung ke support group tersebut, kondisinya pun semakin membaik hingga saat ini.

 

 

Nur Yana Yirah, 32 Tahun, Penderita Depresi Pasca Melahirkan

Yana memiliki kisah yang berbeda dengan Anto. Ia mulai mengalami depresi saat anak pertamanya meninggal dunia di dalam kandungannya. Gejala yang ia alami, seperti sedih, putus asa, dan trauma, berkpenjangan hingga kehamilan keduanya. 

 

Saat hamil yang kedua kalinya, Yana mengalami depresi berat. " Sering merasa sedih, menangis, hingga mengisolasi diri dari lingkungan. Terus juga takut melihat rumah sakit, dokter, dan perawat," ungkap Yana kepada GueSehat. Ia kerap mengalami serangan panik saat melakukan pemeriksaan kandungan. 

 

Depresi yang Yana alami tetap berlangsung hingga ia melahirkan, bahkan bertambah parah. Meskipun anaknya lahir dengan sehat, ia tetap mengalami depresi. Gejala yang dialami Yana mengganggu hubungannya dengan keluarga, bahkan konflik dengan suami juga kerap terjadi. 

 

Depresi yang ia alami hingga mengganggu ikatan batinnya dengan sang anak. "Saat dia lahir, bukannya enggak sayang, cuma tidak merasakan ikatan. Kalau dia nangis, saya cuekin. Kalau dia haus atau lapar, saya cuekin," tutur Yana. Jika anaknya menangis, ia ikut frustrasi dan juga menangis. Ia merasa sesering mungkin tidak mau melakukan kontak dengan anaknya. "Jadi, mengurus bayi seperti mengurus boneka atau benda mati."

 

Sampai akhirnya, pada titik terparah dalam perjalanan penyakitnya tersebut, Yana mempunyai pikiran untuk mengajak anaknya yang berusia 9 bulan untuk mengakhiri hidup di sebuah danau. Sebelumnya, Yana sudah mencoba menyakiti diri sendiri. Namun, lama kelamaan ia mempunya pikiran untuk bunuh diri bersama anaknya tersebut.

 

Untungnya, Yana sadar akan pikiran berbahaya tersebut, dan akhirnya ia minta tolong kepada orang-orang terdekatnya. "Bersyukur banyak yang bantu nyelamatin, termasuk suami, psikolog, teman-teman komunitas," ujar Yana. Sejak itu, Yana mulai fokus periksa dan menjalani pengobatan. Ia juga sudah mengetahui bahwa penyakit  yang dideritanya adalah postpartum depression atau depresi pasca melahirkan.

 

Setelah rutin menjalani counselling, psikoterapi, dan bergabung ke komunitas support group, kondisi Yana pun mulai membaik. Saat ini, ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk meningkatkan kesadaran tentang depresi, khususnya depresi pasca melahirkan.

 

Baca juga: Lima Cara Hidup Bahagia Menurut Penelitian

 

Titi, 19 Tahun, Sering Menyakiti Diri Sendiri

Titi mulai memiliki pikiran menyakiti diri sendiri saat masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia pernah mencekik dirinya sendiri. Saat itu, ia tidak berani menggunakan benda tajam karena takut orang lain dan orang tua akan melihat bekas lukanya. Akhirnya, ia cenderung sering memukul dirinya sendiri menggunakan benda tajam.

 

Saat SMA, Titi mulai stabil kembali. Namun, depresinya kembali kambuh akibat tekanan yang ia alami menjelang masuk perkuliahan. Ia gagal masuk ke salah satu universitas yang diinginkan kedua orangtuanya. "Waktu itu ayah mengeluarkan kata-kata yang menjadi pukulan berat bagi aku," ujar Titi kepada GueSehat.

 

Akhirnya Titi masuk ke universitas lain. Sejak kuliah, ia juga tinggal sendiri di tempat kos. Depresi yang ia alami menjadi semakin parah karena kehidupannya di perkuliahan. Gadis yang saat ini berusia 19 tahun ini merasa seperti terpojokkan dan tidak bisa memiliki teman dekat. "Aku merasa hopeless, sudah enggak dipedullin orang tua, sama teman-teman juga," jelas Titi.

 

Depresi yang ia alami sampai mendorong Titi untuk menyakiti diri sendiri. Ia menyilet diri sendiri. "Pikiranku benar-benar kosong. Tiba-tiba nyilet sendiri aja. Tapi lalu ada suara di pikiran saya bilang 'jangan' berkali-kali. Lalu aku langsung sadar, ngeliat darah sudah dimana-mana," ungkap Titi.

 

Gejala yang Titi alami juga mulai mengganggu aktivitasnya. Ia pernah bolos kuliah selama satu bulan. Nilai IPK-nya menurun. Akibat sering cemas, ia juga mulai sering sakit, seperti mengalami masalah pencernaan.

 

Titi sadar penyakitnya ini sudah sangat mengganggu. Oleh sebab itu, ia berniat untuk memeriksakannya ke dokter. "Rencana ada, tapi uangnya belum cukup aja. Aku sekarang lagi nabung supaya  bisa berobat," ujar Titi. Ia berharap bisa cepat lulus kuliah dan bisa bekerja supaya bisa berobat secara rutin.

 

Baca juga: Seperti Apa Depresi Itu? Ini Penjelasannya.

 

Apa Rasanya Depresi Itu? Apa Penyebabnya?

Ketika ditanya apa sih rasanya depresi itu, Titi mendeskripsikannya seperti rasa hampa. "Kalau sedang down, itu rasanya hopeless, enggak ada motivasi melakukan apapun, termasuk hal-hal yang dulu suka aku lakukan. Mau makan dan tidur pun enggak ada motivasi. Kalau sedang hyper itu rasanya senang, tapi senangnya pun kosong," jelasnya. 

 

Sama dengan Titi, Yana juga mengatakan bahwa depresi itu seperti rasa hampa dan putus asa. "Semua orang pasti pernah sedih. Tapi kalau depresi itu, sedih dan putus asanya sampai berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Saya juga merasa lelah meskipun enggak ngapa-ngapain," tutur Yana.

 

Untuk Anto, depresi itu seperti terjebak di dalam kesedihan dan rasa putus asa dan tidak tahu jalan keluarnya. "Depresi ini datang tiba-tiba, out of nowhere tiba-tiba merasa down dan enggak punya harapan. Saya tahu setiap masalah ada solusinya. Cuma saya enggak bisa menemukan jalan menuju solusinya, meskipun saya mau mendapatkannya."

 

Menurut dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, dokter spesialis kedokteran jiwa dari RSCM, depresi adalah penyakit yang menyebabkan penderitanya mengalami penurunan mood atau alam perasaan. Penurunan mood yang dialami penderita depresi sangat bermakna, hingga menyebabkan ketidaknyamanan dan gangguan dalam beraktivitas.

 

"Gejala klinisnya tidak hanya penurunan mood, tetapi akan diikuti dengan penurunan kemampuan berpikir. Proses pikirnya melambat, tidak bisa berkonsentrasi, pesimis, semua situasi di pandang dari sudut negatif," jelas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani kepada GueSehat.

 

Penyebab depresi dibagi menjadi dua, yaitu akibat faktor biologis dan faktor eksternal. Faktor biologis berarti ada masalah di dalam regulasi neurohormonnya. Terjadi ketidakseimbangan hormon serotonin di dalam otak. Hormon serotonin adalah hormon yang mengatur perasaan senang. Pada umumnya, penderita depresi mengalami penurunan kadar serotonin di otaknya.

 

Sementara itu, faktor eksternal berarti disebabkan oleh lingkungan atau situasi luar yang menyebabkan seseorang merasa putus asa. "Namun, kalaupun faktor eksternal menjadi penyebab utama depresi berat, itu biasanya memang sudah ada faktor biologisnya," jelas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani. 

 

Baca juga: Generasi Milenial Rentan Depresi, Begini Cara Atasinya!