Mudik merupakan salah satu tradisi yang biasa dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, tahun ini mudik dilarang sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan. Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran dan penularan Covid-19. Lantas, apakah tidak mudik bisa memicu gangguan jiwa atau psikologis seseorang? 

 

GueSehat melakukan wawancara dengan Psikiater dr. Gina Anindyati, Sp.KJ, yang mengatakan bahwa sebenarnya pada setiap periode, ada saja orang-orang yang tidak dapat mudik atau tidak memungkinkan untuk mudik. Bedanya, karena pandemi seperti saat ini, banyak orang diharuskan tetap berada di rumah saja dan tidak mudik untuk mencegah penyebaran dan penularan coronavirus. 

 

“Jika ditanya apakah ada pengaruh dengan kondisi kejiwaan seseorang, bisa saja ada. Apalagi bagi orang-orang yang menggunakan mudik ini sebagai salah satu kesempatan untuk bertemu dengan keluarga atau orang terdekat. Karena situasi ini tidak memungkinkan atau terpaksa tidak mudik, bisa muncul perasaan sedih, kecewa, penyesalan, atau tidak nyaman. Ini wajar dan manusiawi,” jelas dr. Gina kepada Guesehat (17/5). 

 

Baca juga: Hidup Sederhana Membuat Jiwa dan Raga Sehat



Kesepian Bisa Menjadi Gangguan Jiwa

Kebanyakan orang, dr. Gina menambahkan, bisa beradaptasi dan melalui kondisi ini dengan baik-baik saja. Hal ini karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang adaptif atau bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi tertentu. Namun, ada pula orang-orang tertentu yang memiliki kerentanan sehingga akan merasa lebih kesepian, tidak berdaya, atau frustrasi. 

 

“Kalau kita bicara dalam konteks mudik, masalah yang mungkin timbul ialah kesepian (loneliness). Loneliness ini bukanlah gangguan jiwa. Ini merupakan fenomena yang berisiko dan jika terjadi berkepanjangan serta tidak diatasi, maka akan menimbulkan masalah kejiwaan yang lebih berat, seperti gejala depresi atau kecemasan,” ungkap dr. Gina.

 

Kesepian akan menjadi gangguan jiwa jika ada kondisi lainnya yang memengaruhi, seperti kondisi fisik yang tidak fit, kesulitan untuk menyelesaikan masalah, dan bisa juga dipengaruhi lingkungan sosial.

 

“Pengaruh lingkungan sosial ini misalnya ia tidak punya orang-orang yang dapat dipercaya atau tinggal di lingkungan yang tinggi kekerasannya. Ini akan menjadi stresor atau menambah tekanan sehingga risiko mengalami gangguan semakin besar,” ujarnya. 

 

Sedangkan, menurut Psikolog Klinis Alexandra Gabriella A., M.Psi, C.Ht, C.ESt, gangguan psikologis baru dapat ditegakkan jika sudah terjadi dalam kurun waktu tertentu, seperti dua minggu atau tiga bulan. “Jika seseorang tidak mudik dan bagaimana pengaruhnya pada kondisi psikologis, yang jelas kita tidak bisa berbicara mengenai diagnosis. Tapi, lebih kepada perasaan yang dialami, seperti kesepian (loneliness), kekecewaan, atau kehilangan harapan,” tambahnya. 

 

Baca juga: 3 Gangguan Mental akibat Penggunaan Media Sosial



Memunculkan Fenomena Homesick

Tidak hanya kesepian, seseorang yang tidak mudik juga bisa merasakan homesick. “Homesick merupakan perasaan rindu dengan situasi saat di kampung halaman, bisa rindu dengan orang tua, orang-orang sekitar, makanannya, lingkungannya, atau nuansanya. Namun, orang-orang yang homesick ini tidak dialami oleh mereka yang tidak mudik saja,” jelas Alexa kepada GueSehat (17/5). 

 

Lantas, apakah homesick bisa meningkatkan risiko terhadap gangguan psikologis tertentu? Alexa menjelaskan, homesick dapat menjadi stresor saat seseorang memiliki ekspektasi untuk bisa pulang dan merasakan apa yang biasa dilakukan di kampung halamannya tersebut, namun ekspektasi itu tidak tercapai sehingga timbul rasa kecewa yang bisa menyebabkan frustrasi. 

 

“Rasa frustrasi itu bisa membuat seseorang memiliki masalah psikologis, seperti depresi. Apalagi kalau kondisi ini memang sudah terjadi beberapa minggu secara berturut-turut dan mood atau suasana hatinya sama. Selain itu, orang-orang yang homesick ini bisa juga mengalami insomnia karena selalu berpikir tidak bisa pulang,” ungkap Alexa. 

 

Ragil Kurnia Pribadi (26), seorang karyawan di Alfa Group dan berkantor di Tangerang mengungkapkan awalnya ia merasa stres karena rencana mudiknya tidak sesuai keinginan. 

 

“Stres karena tidak mudik dan juga karena coronavirus ini. Dari Februari sudah beli tiket pesawat untuk mudik pada 20 Mei. Rindu dengan keluarga juga, bisa dibilang homesick karena hampir setahun tidak bertemu orang tua. Kalau bukan Lebaran, kapan lagi pulang?” terang pria yang bekerja sebagai desainer grafis ini kepada GueSehat (18/5). 

 

Untuk mengatasi homesick karena tidak bisa mudik ke Situbondo, Jawa Timur, Ragil sering menelpon keluarganya. “Karena tidak bisa mudik, saya telepon atau video call orang tua setiap dua hari sekali. Supaya tidak stres dan tidak kesepian, ya dengan main game online atau video call bareng teman, nonton film, dan fokus beribadah. Yang paling penting belajar ikhlas dengan situasi saat ini,” ujarnya. 

 

Baca juga: Gangguan Kecemasan Dapat Berdampak ke Masalah Fisik



Tips Menjaga Kesehatan Mental Terkait Larangan Mudik

Seperti yang diketahui, salah satu masalah kejiwaan atau psikologis yang rentan dialami seseorang yang tidak mudik ialah kesepian (loneliness). Menurut Psikiater dr. Gina Anindyati, Sp.KJ, kondisi mental atau kejiwaan tidak terpisah dengan kondisi fisik kita. “Kita perlu menjaga diri kita baik-baik. Paling pertama, jaga kesehatan fisik terlebih dahulu, usahakan istirahat yang cukup, makan bergizi, dan lakukan aktivitas fisik secara rutin,” ungkapnya. 

 

Ia menambahkan, usahakan juga untuk punya kegiatan yang rutin dilakukan setiap hari di rumah dan cobalah untuk tetap terhubung dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga, sahabat, atau teman. “Bisa berkomunikasi melalui telepon, saling mengirimkan paket atau makanan khas saat Lebaran. Hal ini untuk mencegah rasa kesepian akibat tidak mudik,” terang dr. Gina. 

 

Jika rindu dengan keluarga atau merasa homesick karena tidak bisa mudik, Psikolog Klinis Alexandra Gabriella A., M.Psi, Psikolog, C.Ht, C.ESt menyarankan untuk menghabiskan waktu dan merayakan kebersamaan dengan orang-orang yang memiliki nasib yang sama. “Cobalah tetap terhubung secara virtual dan mengobrol dengan orang-orang yang juga tidak bisa mudik dan dengan keluarga di kampung halaman,” jelasnya. 

 

Dengan tetap terhubung dengan teman yang juga tidak bisa mudik atau dengan keluarga, seseorang tidak akan merasa kesepian dan homesick. “Jadi, rasanya tetap dekat dengan mereka. Kalau bisa, usahakan juga untuk saling berbagi, coba lebih banyak menyumbang. Saat berbagi, kita diingatkan kembali betapa banyak anugerah yang diberikan pada kita,” tambah Alexa. 

 

Melalui kegiatan berbagi, Alexa mengatakan, seseorang yang tidak bisa mudik akan merasa lebih pulih, tidak kehilangan perannya, dan merasa bermanfaat untuk orang lain. “Kita membantu orang lain dan memberikan efek positif pada orang lain. Jelas dengan hal ini, kita punya energi yang positif juga,” tutupnya.