Pernahkan Kamu menjumpai penderita gangguan jiwa dikucilkan oleh keluarga, bahkan dibuang jauh-jauh dari lingkungan tempat tinggalnya? Jika pernah, memang itulah fakta yang terjadi di Indonesia dan di beberapa belahan dunia lainnya. Stigma adalah tantangan terberat penderita gangguan jiwa, yang membuat mereka semakin jauh dari akses pengobatan.

 

Hal ini terungkap dalam acara Southeast Asia (SEA) Mental Health Forum 2018 yang diselenggarakan di Jakarta (30/8). Hadir dalam acara ini, para ahli kesehatan jiwa terkemuka dari negara-negara ASEAN dan juga Australia. Tujuan acara ini adalah menutup kesenjangan dalam penanganan dan manajemen skizofrenia di Asia Tenggara.

Baca juga: Dukungan untuk Orang-orang dengan Gangguan Mental

 

Inilah beberapa fakta tentang skizofrenia dan permasalahan seputar gangguan jiwa di Indonesia: 

 

Skizofrenia adalah Gangguan Jiwa Terberat

Beban akibat gangguan jiwa, gangguan sistem saraf, dan penyalahgunaan zat adiktif (Substance use disorder/SUD) mencapai 14% di seluruh dunia. Skizofrenia merupakan penyakit jiwa terberat dan kronis, yang ditandai dengan terganggunya proses berpikir penderitanya karena muncul gejala halusinasi, delusi, pikiran tidak jelas, dan tingkah laku atau bicara yang tidak wajar.

 

Gejala ini disebut gejala psikotik, yang membuat penderita skizofrenia mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain, bahkan menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar. Gejala pertama skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja atau dewasa muda, walaupun ada juga yang baru muncul pada usia di atas 40 tahun. Begitu gejala muncul, seharusnya penderita skizofrenia segera mendapatkan pengobatan agar tidak memperburuk gejala negatif.

 

Ketika gejala bertambah buruk, episode-episode halusinasi dan delusi akan kerap muncul berulang-ulang dan semakin sulit dikendalikan. Di episode serangan atau kekambuhan inilah seharusnya penderita skizofrenia mendapatkan perawatan di rumah sakit.

 

Jumlah Penderita Skizofrenia di Indonesia Cukup Tinggi

Data Riskesdas 2013 menunjukkan, di Indonesia prevalensi gangguan jiwa emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai 14 juta orang atau 6% dari seluruh penduduk Indonesia.

 

Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu orang, atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Cukup banyak ya, Gengs! Sayangnya, hanya sebagian kecil penderita skizofrenia yang mendapatkan pengobatan dengan benar. Ada banyak kendala yang menghambat mereka mendapatkan pengobatan, mulai dari stigma, tenaga medis yang jumlahnya terbatas, hingga harga obat yang mahal.

 

“Jumlah psikiater di Indonesia baru akan mencapai 1.000 orang, dan 64% ada di Pulau Jawa, 25% di Jakarta. Hanya sekitar 30% yang ada di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, diharapkan Puskesmas bisa melakukan diagnosis dan pengobatan untuk skizofrenia ringan atau belum terjadi komplikasi,” ujar dr. Eka Viora SpKJ., selaku Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI).

Baca juga: Penyakit Mental Juga Ditanggung oleh BPJS, Lho

 

Penderita Skizofrenia Dapat Hidup Normal

Meskipun skizofrenia adalah penyakit seumur hidup, bukan berarti penderitanya akan terpenjara seumur hidupnya dan jauh dari aktivitas sosial. Pasien skizofrenia dapat hidup normal dan kembali pulih apabila melakukan pengobatan dan terapi sejak dini.

 

Terapi skizofrenia biasanya merupakan kombinasi antara pengobatan dengan psikoterapi. Obat-obatan untuk skizofrenia disebut obat antipsikotik, baik diberikan secara oral maupun suntikan. Obat antipsikotik untuk menghilangkan gejala-gejala, seperti halusinasi dan delusi, harus diminum setiap hari. Jika lupa diminum, risiko kambuh lebih besar.

 

Psikoterapi dikenal juga dengan terapi bicara untuk membantu pasien memahami, menerima, dan menjalani penyakitnya. Tujuan psikoterapi lebih kepada mengembalikan fungsi sosial pasien akar dapat kembali menyatu di masyarakat.

Baca juga: Apa Beda Skizofrenia dengan Bipolar?

 

Memang dibutuhkan usaha jangka panjang dan terus-menerus untuk menghilangkan stigma negatif pada penderita gangguan jiwa. Kadang kala, pasien sudah dinyatakan sembuh dan boleh kembali ke keluarga, tetapi ditolak oleh masyakarat karena cap sebagai “orang gila”. Hal ini tidak hanya membebani penderita, tetapi tak jarang membuat pasien depresi dan menimbulkan masalah baru. Yuk, kita lawan stigma negatif pasien gangguan jiwa, Gengs! (AY/AS)