Tanggal 24 Maret kemarin kita baru saja memperingati Hari Tuberculosis Sedunia. Tuberculosis atau biasa disingkat dengan TB sampai saat ini masih menjadi PR bagi bangsa Indonesia, karena setiap tahunnya angka penderita penyakit ini tidak kunjung turun. Bahkan, masih banyak kasus yang belum terdeteksi dan tidak dilaporkan.

 

Berdasarkan Data WHO Global Tuberculosis Report tahun 2016, Indonesia berada di posisi kedua dengan beban TB tertinggi di dunia. Tidak dapat dipungkiri, ini disebabkan oleh ketakutan penderita TB untuk berobat atau bergaul dengan penderita TBC akibat mitos-mitos yang tidak benar.

 

Yuk Gengs, kita kenali mitos dan fakta seputar TBC agar semakin memahami tentang TB yang sebenarnya!

 

Mitos: Tuberculosis (TB) adalah penyakit keturunan.

Pada zaman Romawi Kuno, TB atau kerap disebut TBC dikenal sebagai penyakit pthisis dan terjadi pada saudara sekandung. Hal tersebut kemudian menjadi kepercayaan kalau pthisis adalah penyakit keturunan. Namun, teori ini gugur dengan penelitian-penelitian yang ada.

 

Pada saat itu, diketahui bahwa kondisi tempat tinggal yang sempit dan tidak higienis meningkatkan risiko penularan penyakit pthisis atau TBC. Hal ini kemudian diperkuat dengan penemuan dari Robert Koch pada tahun 1882, yang berhasil memvisualisasikan bakteri Mycobacterium tuberculosis di bawah mikroskop.

 

Baca juga: Penderita Diabetes Lebih Rentan TBC, Ayo Tes!

 

Sejak saat itu, TBC bukan lagi dianggap sebagai penyakit keturunan, tetapi TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

 

Mitos: Penyakit TBC ditularkan lewat sentuhan, makanan, handuk, pakaian, ataupun hubungan seksual.

Anggapan ini cukup berkembang di masyarakat Indonesia, sehingga membuat penderita TBC kerap dikucilkan bahkan diisolasi. Padahal, faktanya penularan kuman TBC terjadi melalui pernapasan, yakni ketika terhirup droplet atau bercak dahak yang keluar saat penderita TBC batuk, bersin, atau berbicara.

 

Oleh karena itu, pencegahan penularan TBC dapat dilakukan dengan cara menutup mulut ketika batuk atau bersin serta menjaga daya tahan tubuh saat berada di satu lingkungan yang sama dengan penderita TBC.

 

 

Mitos: TBC hanya diderita oleh orang-orang miskin atau tinggal di tempat kumuh saja.

Karena penularan TBC ada hubungannya dengan kondisi tempat tinggal dengan sirkulasi udara buruk, lembap, dan tidak higienis, serta kualitas gizi yang buruk dan daya tahan tubuh yang rendah, maka TBC dianggap lebih rentan dialami oleh golongan orang miskin. Padahal, TBC dapat dialami siapa saja, tidak memandang usia, jenis kelamin, maupun kondisi sosial.

 

Baca juga: Bila Ibu Hamil Terjangkit TBC

 

Mitos: Semua orang yang menghirup udara yang mengandung bakteri TBC akan langsung sakit.

Penularan TBC tidak semudah yang dibayangkan. Kuman TBC dapat bertahan hidup hingga berjam-jam di udara lembap yang tidak terpapar sinar matahari, sebelum akhirnya terhirup.

 

Ketika terhirup, individu yang mempunyai daya tahan tubuh yang kuat akan segera membunuh bakteri yang masuk. Namun jika daya tahan tubuh tidak berhasil membunuh, bakteri akan berdiam di paru-paru dan bisa tanpa menimbulkan gejala. Saat daya tahan tubuh orang tersebut menurun, barulah bakteri akan menginfeksi dan timbullah gejala TBC.

 

Orang-orang yang berisiko tinggi tertular TBC adalah mereka yang bermukim di kondisi lingkungan yang berisiko (lembap, tidak terkena sinar matahari, sirkulasi udara buruk) dan yang daya tahan tubuhnya rendah, seperti penderita HIV/AIDS, kanker, kurang gizi, serta penyakit autoimun lainnya.

 

Mitos: Jika pada foto rontgen terlihat vlek, sudah pasti terkena TBC.

Kata vlek atau vlekken dari bahasa Belanda artinya bercak. Hal ini sering dihubungkan dengan adanya bercak atau infiltrat yang ditemukan pada foto rontgen penderita TBC.

 

Padahal, vlek atau bercak tidak spesifik untuk penyakit TBC saja, melainkan dapat ditemukan juga pada penyakit lain, seperti radang paru (pneumonia) dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

 

Karenanya, untuk mendiagnosis TB, berdasarkan Standar Tata Laksana TB, pasien yang dicurigai TB harus melakukan pemeriksaan dahak, laboratorium darah, dan pemeriksaan fisik.

 

 

Mitos: Mengobati TBC lama dan belum tentu sembuh.

Banyak rumor yang berkembang di masyarakat jika pengobatan TBC rumit dan belum tentu bisa sembuh total. Alhasil, ini membuat penderita TBC jadi tidak mau berobat.

 

Faktanya, untuk sembuh total penderita TBC memang harus minum obat rutin setiap hari selama minimal 6 bulan. Obat antibiotik golongan rifampisin, isoniazid (INH), pyrazinamide, dan etambutol sampai saat ini masih efektif dan masuk dalam kategori Obat Anti Tuberculosis (OAT).

 

Baca juga: Ini Cara untuk Mencegah Penyebaran TBC

 

Mengapa memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyembuhkannya? Pengobatan TB dibagi dalam 2 (dua) fase, yaitu fase awal dan fase lanjutan. Ini dikarenakan sifat Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis bakteri yang tahan terhadap asam.

 

Ketika masuk ke dalam tubuh, bakteri ini bisa dorman (tertidur). Jadi, pengobatan awal berfungsi untuk mengaktifkan kembali bakteri tersebut. Pada pengobatan lanjutan, antibiotik akan lebih bekerja karena bakteri sudah aktif.

 

Seluruh antibiotik harus dihabiskan untuk menyembuhkan TBC aktif secara total. TBC bisa sembuh total jika pasien disiplin meminum obat dan juga evaluasi ke dokter.

 

Mitos: Jika sudah merasa sehat, tidak perlu lagi minum obat TBC.

Seperti penjelasan di atas, untuk membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis dibutuhkan waktu. Dua bulan pertama pengobatan, penderita TBC biasanya merasa tubuhnya membaik dan menganggap sudah sembuh.

 

Namun, sebenarnya bakteri TBC masih hidup dan dalam kondisi tertidur. Jika penderita lalai berobat atau berhenti, bakteri yang tertidur akan aktif kembali, bahkan menjadi kebal terhadap obat OAT (yang dikenal dengan istilah Multi Drug Resistant TB). Pada kasus MDR-TB, bakteri M.tuberculosis semakin sulit dibunuh dan kemungkinan untuk sembuh pun semakin menurun.

 

Mitos: Selama pengobatan TBC, penderita harus cuti dulu dari pekerjaan.

Penderita TBC memang berisiko menularkan penyakitnya ke karyawan lain. Namun, faktanya setelah konsumsi obat selama dua minggu, jumlah kuman M.tuberculosis tidak terlihat lagi di mikroskop, yang artinya daya penularannya sudah berkurang.

 

Jadi untuk amannya, karyawan yang menderita TBC bisa diberikan cuti selama 2 minggu dan dapat bekerja kembali setelahnya dengan cara menggunakan masker. Teman satu kantor bisa membantu dengan memberi dukungan agar karyawan tersebut rutin minum obat sampai TBC yang dialaminya sembuh total.

 

Bagaimana Gengs, sudah mengetahui fakta-fakta seputar TBC sekarang? TBC memang penyakit menular, tetapi kita tidak perlu paranoid untuk bergaul dengan penderita TBC atau takut diketahui orang lain jika menderita TBC.

 

Pencegahan dan penanggulangan TBC menjadi PR kita bersama untuk lebih peduli dengan kesehatan dan kondisi lingkungan sekitar kita. Kita bisa mencegah peningkatan kasus MDR-TB dengan peduli akan TBC itu sendiri.

 

Jika ada keluarga atau teman yang terkena TBC, beri dukungan agar mereka bisa berobat sampai tuntas. Dan bagi Kamu yang sehat, harus senantiasa menjaga daya tahan tubuh dengan baik, ya!

 

Baca juga: Bisakah Cuka Membantu Menghilangkan Bakteri Tuberkulosis?

 

 

Referensi

  1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2018.
  2. Kemenkes RI. Tuberculosis. InfoDATIN Pusat Data dan Informasi. 2018
  3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2018
  4. World Health Organization. WHO Guidelines on tuberculosis infection prevention and control. 2019.