Data mengenai penyakit di Indonesia biasanya diperbarui setiap 5 tahun sekali, melalui Riset Kesehatan Dasar, yang disingkat Riskesdas. Nah, Riskesdas 2018 sudah dikeluarkan Litbang Kemenkes RI nih, Gengs! Kira-kira bagaimana ya perkembangan data kesehatan penduduk Indonesia?

 

Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila A. Moeloek, saat memberikan sambutan dalam Kongres ke-5 Indonesian Health Economic Association (InaHEA) di Jakarta, 31 Oktober 2018, menjelaskan, hasil Riskesdas 2018 ada yang menggembirakan tetapi ada juga yang memprihatinkan.

 

Saya bersyukur hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 yang dirilis oleh Litbang Kemenkes memberikan beberapa hasil yang baik. Salah satunya angka stunting turun dari 37,2% menjadi 30,8%, kendati masih di bawah angka WHO. Artinya, kita masih punya tugas luar biasa untuk menurunkan angka stunting lagi. Namun sedihnya, di sisi lain angka penyakit tidak menular meningkat luar biasa,” ujar Nila.

 

Baca juga: Hasil Survei BPJS, Peserta Keluhkan Layanan Dokter

 

Inilah beberapa peningkatan penyakit tidak menular yang dimaksud Kemenkes. Diabetes dari 6,8 juta penderita di Riskesdas 2013, meningkat menjadi 8,2 juta penderita. Begitu juga hipertensi dan penyakit-penyakit kronis lain, termasuk jumlah perokok pada anak-anak, yang sekarang menjadi 9 juta. Menkes juga menyinggung problem obesitas, yang justru semakin meningkat di kalangan orang dewasa.

 

Kira-kira apa dampaknya? Pertama, tentu saja langsung dikaitkan dengan pembiayaan kesehatan yang dipastikan semakin membengkak. “Hal ini (kenaikan angka penyakit tidak menular) tentu saja berkaitan dengan pembiayaan kesehatan yang membebani pemerintah. Bagaimana merumuskan pembangunan ekonomi kesehatan kita,” Menkes menegaskan.

 

Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. dr. Nila Moeloek - InaHEA

 

Baca juga: Gaya Hidup Orang Indonesia yang Memicu Hipertensi

 

Beban besar bagi BPJS

Perhimpunan ahli ekonomi kesehatan (InaHEA) memberikan data bahwa lima besar penyakit tidak menular diperkirakan akan menghabiskan biaya di Indonesia, yakni sebesar 4,47 triliun dolar atau 17.863 dolar per kapita, dari 2012 hingga 2030.

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah memberikan daya ungkit yang signifikan terhadap perluasan akses pelayanan kesehatan. Hingga bulan Oktober 2018, total peserta JKN tercatat sekitar 203 juta jiwa atau lebih dari 80% total penduduk Indonesia.

 

Sayangnya seperti kita ketahui, BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN mengalami defisit luar biasa. Menurut Menkes, biaya penyakit tidak menular ini memang salah satu yang membuat BPJS Kesehatan mengalami kesulitan. Pasalnya, 35% belanjanya BPJS habis untuk manfaat medis dari penyakit tidak menular ini.

 

Baca juga: Kartu BPJS Kesehatan Palsu VS Asli

 

Dialisis, Salah Satu yang Membebani BPJS

Salah satu kondisi yang menjadi perhatian penting dalam 4 tahun implementasi JKN adalah kasus pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) tahap akhir yang harus menjalani perawatan dialisis. Biaya perawatan dialisis yang ditanggung oleh program JKN pada 2 tahun terakhir (2016 dan 2017) sekitar 3,9 triliun, dan meningkat secara signifikan hingga 4,6 triliun, menempati posisi kedua dengan total biaya perawatan tertinggi.

 

Salah satu solusinya adalah lebih mensosialisasikan cuci darah melalui rongga perut atau dikenal dengan Peritoneal dialisisi (CAPD). Prosedur ini merupakan salah satu alternatif terapi pengganti ginjal, yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik, sekaligus menjadi solusi pengendalian biaya kesehatan negara. Pasien bisa melakukan sendiri CAPD di rumah dengan biaya lebih terjangkau.

 

Sayangnya, saat ini penderita penyakit ginjal kronik yang menggunakan CAPD masih sangat sedikit, yaitu hanya sekitar 1700-an pasien. Studi dari Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) Kemenkes RI dan PKEKK FKM UI juga menguatkan fakta bahwa CAPD lebih efektif dari segi biaya dibanding dialisis.

 

“Fakta bahwa CAPD lebih cost efficient dibandingkan dialisis juga meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun pada kenyataannya, jumlah pasien CAPD hanya 3% dari total pasien gagal ginjal kronik, dan 95%-nya menjalani dialisis,” ujar Prof. Budi Hidayat, SKM., MPPM., PhD., selaku ketua PKEKK FKM UI.

 

Baca juga: Lebih dari Separuh Penderita Gagal Ginjal Disebabkan Diabetes

Profesor Budi mengharapkan dalam pertemuan InaHEA dapat dirumuskan rangkuman rekomendasi bagi kesehatan nasional dari perspektif ekonomi kesehatan. "Dari pertemuan ilmiah tahunan ini, diharapkan mampu menghasilkan rangkuman rekomendasi, baik berupa hasil-hasil penelitian maupun pengenalan metode, atau pendekatan baru dalam melakukan proses monitoring dan evaluasi program dari perspektif ekonomi kesehatan," ungkapnya. (AY/AS)

 

Kebiasaan yang Merusak Ginjal - Guesehat