Data International Agency For Research on Cancer (IARC) menunjukkan kasus kanker baru di Indonesia setiap mencapai 108.000 kasus dengan lebih dari 24 ribu kematian. Pembiayaan kanker mencapai 6,5 Triliun rupiah di tahun 2024 atau menempati urutan kedua dari klaim ke BPJS.
Tingginya kasus kanker di Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah dokter yang memiliki kompetensi di bidang onkologi, baik itu dokter onkologi, bedah, radioterapi, hingga perawat onkologi. Berangkat dari kondisi ini, MRCCC Siloam Hospitals Semanggi mengadakan Siloam Oncology Summit (SOS) yang mempertemukan berbagai keahlian dalam mengelola penyakit kanker, mulai dari pencegahan hingga terapi.
Tahun ini adalah adalah penyelenggaraan SOS ke-5. Acara berlangsung di Jakarta, 16-18 Mei 2025 diikuti oleh 700 partisipan yang terdiri dari dokter subspesialis, dokter spesilias, dokter umum, radiologis, perawat, perwakilan rumah sakit, dan lain-lain yang terkait dengan manajemen kanker.
“Acara ini bagian dari rangkaian kegiatan MRCCC Siloam yang lebih besar. Kami selalu memposisikan diri tidak hanya sebagai RS tapi berperan menanggulangi besarnya beban kanker di Indonesia. Data kanker 60-70% terdiagosis dalam stadium lanjut inilah yang bikin berat beban pembiayaan. Pengobatan lebih kompleks, outputnya tidak sebaik jika deteksi dan penanganan sejak dini,” jelas dr, Edy Gunawan, MARS, Executive Director MRCCC Siloam Hospitals Semanggi.
Menurut Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dr. Dwi Oktavia TLH, M.EPID, “Siloam MRCCC adalah salah satu rumah sakit yang melayani pasien BPJS sehingga ikut berkontribusi memberikan harapan dan kesempatan hidup untuk pasien kanker.” ujar dr. Dwi.
Penanganan Kanker Harus Melibatkan Tim Multidisiplin
CEO Siloam Hospital Group, Caroline Riady, memaparkan, “Tema Siloam Oncology Summit tahun ini adalah United by Unique, yang mungkin hal yang baru bagi MRCCC, tetapi tentu saja bukan hal yang baru bagi kita orang Indonesia. Ada sebuah motto dari seorang penyair Jawa, Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit abad ke-14, yang diterjemahkan menjadi berbeda-beda tetapi satu yang menyatukan kita semua. Dan sekarang saatnya menerapkan identitas ini pada perawatan kanker,” jelas Caroline.
Caroline menjelaskan lebih lanjut bahwa setiap pasien itu unik dan memiliki riwayat yang berbeda, kondisi biologis yang berbeda, dan harapan yang berbeda. “Begitu pula para profesional yang terdiri dari ahli onkologi, ahli bedah, ahli patologi, ahli radiologi, perawat, peneliti, manajemen, semuanya membawa keahlian mereka yang berbeda kemudian dipersatukan oleh tujuan bersama dan berkolaborasi memberikan perawatan kanker terbaik. Melalui pendekatan multidisiplin. kita dapat menyesuaikan perawatan dengan kondisi unik setiap pasien, menyediakan perawatan kanker yang tidak hanya efektif, tetapi juga penuh kasih sayang, holistik, dan berkelanjutan,” kata Caroline.
Prof. Dr. Deborah A. Kuban M.D dari MD Anderson Cancer Center, Houston, Texas, Amerika Serikat, membagikan pengalamannya di MD Anderson, bagaimana penanganan pasien kanker yang melibatkan tim multidisiplin dapat mengubah perawatan kanker.
“Kolaborasi adalah kunci dalam penanganan oleh tim multidisiplin dengan pasien adalah pusatnya. Perawatan ini berpusat pada pasien, dan memerlukan sebuah tim. Akan ada beberapa interaksi dalam perawatan multidisiplin yang harus kita pahami, bahwa kita memerlukan pengalaman profesional yang beragam mulai dari ahli bedah onkologi, ahli onkologi, diagnostik, patologi, onkomedicine , radiasi, dll. Belum lagi perawat onkologi, riset, psikososial, yang akan bersinggungan dengan kebutuhan pasien untuk pengambilan keputusan terbaik. Perawatan ini harus dikoordinasikan dan tidak linier.” jelas Prof. Deborah.
Manfaat pendekatan multidisiplin dalam penanganan kanker
Menurut Prof. Deborah, ada banyak sekali hasil baik jika menggunakan pendekatan multidisiplin dalam manajemen pasien kanker, antara lain:
- pendekatan dilakukan secara tim yang merupakan gabungan dari berbagai ahli
- mengurangi fragmentasi atau keputusan yang dilakukan secara terpisah
- mengurangi tindakan dan layanan yang tidak perlu, termasuk biaya yang tidak perlu
- memperbaiki komunikasi dokter dan pasien
- mempersingkat waktu diagnosis hingga terapi
- potensi hasil yang lebih baik.
“Jadi dengan pendekatan multidispilin ini, hasilnya sangat luar biasa dan manfaatnya banyak sekali,” tegas Prof. Deborah.
Prof. dr. Herawati Sudoyo M.S., Ph.D., Principal Investigator Genome Diversity and Disease at Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, menambahkan bahwa tim multidipilin juga dibutuhkan dalam riset kanker. Herawati mengatakan bahwa genomik adalah dasar dari penanganan kanker. “Studi berbasis populasi menyatakan bahwa kejadian kanker yang berat cenderung akan menimpa satu kelompok individu daripada kelompok lainnya. Riset di bidang genomik mencoba mencari apa penyebabnya.”
Riset pun pasti akan berkolaborasi dengan berbagai ilmuwan atau periset dari berbagai multidisiplin. “Jadi peran pendekatan genetik dalam penanganan kanker akan berlangsung terus menerus, dari sisi etiologi, prevalensi, skrining, diagnosis, pengobatan, bahkan sampai perawatan tahap akhir atau paliatif care,” jelas Prof. Herawati. (AY)