Angka kejadian gagal ginjal kronis (PGK) di Indonesia berdasarkan data dari Riskesdas 2018 yaitu sebesar 0,38 % dari jumlah penduduk Indonesia. Jika jumlah penduduk sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 713.783 jiwa yang menderita gagal ginjal kronis di Indonesia. PGK adalah salah satu komplikasi hipertensi dan diabetes.

 

Sebagian besar pasien PGK melakukan hemodialisis atau cuci darah. Salah satu masalah yang dihadapi oleh pasien HD adalah anemia. Dijelaskan Dr. Elizabeth Yasmine Wardoyo, SpPD-KGH dari RSUP Fatmawati, kriteria anemia adalah jika kadar hemoglobin (Hb) di bawah 13 untuk pria dan di bawah 12 untuk perempuan.

 

“Kasus anemia pada pasien PGK terus meningkat seiring peningkatan stadium penyakit. Pada pasien PGK stadium 5, anemia mencapai lebih dari 50%. Data dari Indonesia Renal Registry 2018 juga menunjukkan, 78% pasien HD memiliki Hb<10,” jelas dr. Elizabeth dalam webinar yang diselenggarakan oleh PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) bersama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) sebagai rangkaian peringatan Hari Ginjal Sedunia, pada Sabtu, 4 Maret 2023.

 

Baca juga: Penyakit Ginjal Kronik dan Akut, Apa Bedanya?

 

Terjadinya Anemia pada Pasien PGK

Anemia terjadi karena kekurangan sel darah merah. Sel darah merah dibentuk di sumsum tulang, di mana pembentukannya dibantu hormon eritropoeitin (EPO). EPO berfungsi untuk pembelahan dan pematangan sel darah merah. Tahapan ini disebut EPO dependent. Sebagian besar EPO diproduksi di ginjal.

 

Menurut dr. Elizabeth, pada orang dengan PGK, pembentukan sel darah merah tidak hanya membutuhkan EPO saja tetapi juga zat besi. Dalam proses pembentukan sel darah merah ada peran protein hepcidin yang diproduksi di hati, jika tubuh kelebihan zat besi. Protein hepcidin ini berfungsi menyerap kelebihan zat besi di usus, sehingga mencegah tubuh kelebihan zat besi.

 

“Tetapi pada kondisi peradangan atau infeksi, tubuh juga memproduksi hepcidin. Akhirnya terjadi kelebihan hepcidin dan akhirnya menghambat pembentukan sel darah merah,” jelas dr. Elizabeth.

 

Pasien gagal ginjal kronik juga berisiko mengalami anemia karena umur sel darah merahnya pendek. Normalnya, sel darah merah berumur 120 hari, tetapi pada PGK hanya berumur 70-80 hari. Jika ditambah proses HD, pengambilan darah berulang, perdarahan, menyebabkan kehilangan darah terus menerus membuat badan kekurangan zat besi dan anemia. Defisiensi zat besi seperti vitamin B12 dan asam folat atau zat dari cairan hemodialisis juga memicu anemia.

 

 

Dampak Anemia pada PGK

Fungsi sel darah merah adalah membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sel jantung. Ketika kadar Hb rendah,artinya tidak ada yang mengangkut oksigen ke dalam sel-sel tubuh. Dalam jangka panjang akan membuat jantung bekerja lebih cepat dan membuat perubahan pada dinding jantung, yaitu penebalan otot jantung di ventrikel kiri karena dia akan bekerja keras meningkatkan curah jantung agar sel tidak kekurangan oksigen.

 

Lama kelamaan dapat berujung gagal jantung kongestif, Pasien mengalami gejala mudah lelah, sakit kepala atau keliyengan saat berubah posisi, jantung berdebar, dan sesak napas saat melakukan aktivitas ringan.

 

Anemia yang berlangsung lama akan meningkatkan risiko infeksi, pasien berisiko dirawat dan membutuhkan transfusi darah. Fungsi ginjal akan semakin menurun, dan akhirnya kualitas pasien PGK semakin rendah bahkan berakhir dengan kematian.

 

Baca juga: Wanita Lebih Berisiko Penyakit Ginjal Kronik

 

Terapi Anemia pada PGK

Target terapi anemia pasien PGK adalah mencapai kadar Hb 11,5, namun tidak boleh lebih dari 13. Agar target Hb tercapai, maka perlu dilakukan dialisis yang adekuat, nutrisi yang baik, dan pencegahan infeksi. Pasien PGK perlu mendapat suplemen zat besi dan rutin mendapatkan EPO dalam bentuk ESA (erythropoeitin stimulting agent).

 

ESA dapat menurunkan kebutuhan akan transfusi darah. ESA diberikan pada pasien dengan PGK dengan kadar Hb kurang dari 10. Syaratnya punya zat besi cukup yang dicek dengan cek darah.

 

Penyutikan EPO harus dilakukan secara rutin, masalahnya di Indonesia pemberian eritropetin belum tercakup dalam pembiayaan hemodialisa sehingga pemberian transfusi darah masih cukup banyak dilakukan.

 

Padahal dapat dikatakan transfusi darah memiliki banyak risiko apabila dilakukan kepada pasien cuci darah. Sedangkan terapi EPO lebih aman untuk diberikan karena dapat menghasilkan peningkatan Hb yang berkesinambungan, menghasilkan sel darah merah yang berfungsi secara normal dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara target Hb yang lebih tinggi.

 

“Jika sudah diberikan ESA tapi Hb tidak naik, harus dievaluasi. Kemungkinan ada beberapa penyebabnya, yaitu kekurang zat besi, kehilangan darah yang kronis atau akut, malnutrisi, HD tidak adekuat, memiliki gangguan hiperparatiroid, pemberian obat hipertensi golongan tertentu dosis tinggi atau ada penyakit keganasan pada darah,” jelas dr. Elizabeth.

 

Pemberian suplementasi zat besi tablet zat besi pada PGK tidak optimal karena tidak bisa diserap maksimal di usus. Lebih oprimal jika suplementasi zat besi pada pasien PGK diberikan dengan cara diinfus.

 

Transfusi darah diberikan jika Hb pasien di bawah 7 atau di bawah 8 jika ada gangguan jantung, perdarahan atau pasien akan menjalani operasi. Transfusi darah tidak bertujuan sampai mencapai kadar Hb sesuai target, tetapi sampai Hb 7-8 saja, dan kemudian dibantu dengan obat-obatan.

 

Baca juga: Hubungan Anemia dan Diabetes