Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia merayakan Hari Pahlawan sebagai bentuk apresiasi terhadap para pahlawan yang sudah berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

 

Di Hari Pahlawan tahun ini, ada sesuatu yang sangat spesial. Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo, mengumumkan 6 nama yang resmi diberi gelar sebagai pahlawan nasional per tanggal 7 November 2019. Di antara keenam nama tersebut, ada satu nama yang sangat besar jasanya bagi dunia kesehatan.

 

Beliau adalah almarhum Prof. Dr. M. Sardjito, MD, MPH. Geng Sehat mungkin familier dengan nama beliau karena diabadikan sebagai nama rumah sakit umum pusat di Yogyakarta sekaligus nama salah satu jalan di kota tersebut. Namun, tahukah Geng Sehat akan jasa-jasa mulia beliau di bidang kesehatan Indonesia, terutama saat revolusi kemerdekaan? Berikut ini ulasannya!

 

Sejarah kehidupan Dr. Sardjito

Profesor Dr. M. Sardjito, MD, MPH., dilahirkan di Magetan, Jawa Timur, pada tanggal 13 Agustus 1981. Beliau menyelesaikan pendidikan di sekolah kedokteran STOVIA, Jakarta, pada tahun 1915.

 

Di tahun 1921, beliau berangkat ke Belanda dan menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam. Pada tahun 1923, beliau memperoleh gelar doktor dari Universitas Leiden, Belanda, setelah mempelajari penyakit-penyakit yang berhubungan dengan iklim tropis.

 

Baca juga: Anak Indonesia Akan Punya Kurva Pertumbuhan Baru?

 

Menyediakan suplai vaksin bagi tentara pejuang

Selama masa revolusi kemerdekaan, Dr. Sardjito berjasa dalam menyediakan vaksin bagi para tentara pejuang. Vaksin-vaksin ini antara lain vaksin cacar, kolera, tifoid, dan disentri. Pada tahun 1945, pembuatan vaksin di Indonesia berpusat di Institut Pasteur di Bandung, yang menjadi cikal bakal perusahaan vaksin nasional PT. Bio Farma.

 

Tentara Sekutu pada saat itu melihat keaktifan Dr. Sardjito dalam menyediakan vaksin bagi para pejuang Indonesia. Hal ini memicu kemarahan mereka. Oleh karena itu, Dr. Sardjito memindahkan aset-aset berharga Institut Pasteur ke kota Klaten, Jawa Tengah, yang dinilai lebih aman. Pemindahan aset dilakukan menggunakan kereta api.

 

Ada cerita unik di balik pemindahan pabrik vaksin ini ke Klaten. Karena Dr. Sardjito khawatir di tengah perjalanan akan dilakukan blokade oleh pihak Sekutu, Dr. Sardjito menorehkan bibit vaksin cacar di kulit perut kerbau. Kerbau-kerbau ini kemudian dibawa dengan berjalan kaki dari Bandung menuju Klaten. Di Klaten, bibit penyakit cacar ini kemudian dipanen untuk dijadikan bahan baku vaksin.

 

Dr. Sardjito juga peneliti ulung yang pantang menyerah. Untuk memproduksi vaksin, pabrik memerlukan kaldu sapi sebagai media pertumbuhan virus atau bakteri, yang akan dibuat menjadi vaksin. Namun karena suplai daging sapi saat itu sulit karena banyak ditahan oleh pihak Sekutu, Dr. Sardjito berinovasi dengan menggunakan kaldu dari tempe sebagai gantinya.

 

Baca juga: Jonathan Kuo, Pianis Klasik Muda Asal Indonesia yang Sukses karena Cinta Ibunya

 

Berperan dalam pendirian Palang Merah

Pada tanggal 9 September 1945, Dr. Sardjito menjadi Ketua Palang Merah Bandung. Ini adalah palang merah pertama di Indonesia. Ketika pindah ke Klaten, Dr. Sardjito juga mendirikan pos-pos palang merah yang berperan sebagai tempat perlindungan para pejuang. Dr. Sardjito sengaja memilih lokasi di desa yang jauh dari pusat kota sebagai lokasi pos palang merah, lagi-lagi agar tidak mudah terdeteksi oleh pasukan Sekutu.

 

Membuat biskuit Sardjito yang penuh gizi

Inovasi lain dari Dr. Sardjito untuk kesehatan di masa revolusi kemerdekaan adalah menciptakan biskuit Sardjito. Biskuit ini bukanlah sembarang biskuit. Di dalamnya, mengandung vitamin dan zat bergizi lain yang dibutuhkan oleh para pejuang.

 

Salah satu pejuang yang diwawancarai di film dokumenter Sardjito dalam Lukisan Revolusi menuturkan, sehabis mengonsumsi biskuit Sardjito dan nasi aking yang menjadi ransum perbekalan kala Serangan Umum 1 Maret 1949, ia merasa kenyang, berenergi, dan tidak mudah lelah.

 

Baca juga: Terobosan Baru, Pengiriman Vaksin ke Daerah Terpencil Menggunakan Drone

 

Budayawan dan pendidik

Dr. Sardjito tidak hanya berkarya di bidang kesehatan saja. Ternyata, ia juga seseorang yang amat mencintai kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1953, ia mempresentasikan penelitiannya mengenai pahatan yang ada di Candi Borobudur dengan judul The Revival of Sclupture in Indonesia di Science Congress di Filipina. 

 

Dr. Sardjito juga berjiwa pendidik. Hal ini dibuktikan dengan dedikasinya dalam mendirikan dan mengembangkan Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta. Dr. Sardjito merupakan rektor pertama UGM.

 

Tidak hanya sampai di situ, Dr. Sardjito menjadi pencetus konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi yang hingga saat ini masih menjadi ‘jiwa’ dari pendidikan tinggi di Indonesia, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

 

Geng Sehat, demikianlah sekilas rekam jejak pengabdian Prof. Dr. M. Sardjito, MD, MPH., yang baru saja dinobatkan sebagai pahlawan nasional di Hari Pahlawan ini. Semangat pengabdian beliau sungguh luar biasa dan sudah sepantasnya menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk terus berinovasi, berkarya, dan tentunya mengabdi kepada negeri ini. Dr. Sardjito memang sudah pergi menghadap Yang Kuasa pada tahun 1970. Namun, semangatnya akan terus menyala bagi dunia kesehatan dan pendidikan di Indonesia. (AS)

 

Baca juga: Mom Shaming: Musuh Besar Para Ibu di Indonesia

 

Referensi

Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 6 Tokoh. Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2019.

Film dokumenter ‘Sardjito dalam Lukisan Revolusi’. Universitas Gajah Mada, 2018.

Film ‘Risalah Sardjito’. Universitas Gajah Mada, 2018.