Hong Tjoe, 72 tahun, baru saja menyelesaikan tahapan pengobatan kanker rektum (kanker anus). Dua tahun lalu, ibu dua anak ini mengeluhkan gejala wasir. Saat dilakukan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa ia mengidap tumor rektum, bukan wasir.

 

Hong yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, langsung diminta mengurus operasi menggunakan kartu BPJS. Singkat cerita, sebulan kemudian Hong langsung menjalani operasi pembedahan, dilanjutkan kemoterapi selama 7 kali, selama 7 bulan. Saat ini kondisinya sehat dan cukup stabil. 

 

Hong adalah salah satu pasien yang tertolong dengan adanya BPJS. Biaya untuk keseluruhan terapi kanker, sangat mahal. Tetapi semuanya ditanggung BPJS. Sayangnya ada wacana pemerintah akan mengeluarkan beberapa obat kanker, terutama dari golongan terapi target, sehingga tidak lagi dicover BPJS. Kira-kira bagaimana ya nasib pasien?

 

Baca juga: Jangan Terlambat Deteksi Kanker Usus Besar

 

Pasien: Kami Mendapatkan Manfaat Terapi

Ada banyak pasien kanker, termasuk pasien kanker usus besar dan kanker rektum atau kerap disebut kanker kolorektal seperti ibu Hong, yang sudah mendapatkan manfaat terapi kanker, dengan adanya BPJS. Dengan terapi standar, setidaknya kualitas hidup pasien kanker stadium akhir akan membaik.

 

Menanggapi rencana pemerintah melalui BPJS yang akan menghentikan pembiayaan obat kanker tertentu, Hong sangat menyayangkan. “Sebaiknya tidak dihentikan karena kasihan pasien. Obat-obatan kanker cukup mahal, apa tidak kasihan. Obat ini membantu sekali meskipun saat diberikan pasien mengalami beberapa efek samping, tetapi itu karena obat bekerja membunuh sel kankernya,” jelas Hong.

 

Ia berharap, pemerintah tetap menanggung seluruh pembiayaan terapi kanker, karena akan sangat membantu pasien yang tidak mampu. Meskipun begitu, Hong bukannya tidak menyadari bahwa defisit BPJS sudah sangat banyak. “Tetapi kan tidak dari kanker saja yang memakan biaya besar. Saya rasa banyak faktor yang menyebabkan biaya BPJS sangat besar, mungkin ini yang harus dibenahi lagi,” ujarnya.

 

Baca juga: Kanker Kolorektal, Salah Satu Penyebab Kematian Tertinggi

 

Yuk, Cari Tahu tentang BPJS - Guesehat

 

Dokter Tidak akan Menurunkan Standar Pengobatan

Sementara itu Sekjen Perhimpunan Dokter Bedah Digestif Indonesia, Dr. Abdul Hamid SpB-KBD, mengatakan, rencana pemerintah yang tidak akan lagi mengcover beberapa obat kanker, sebaiknya ditinjau ulang. Menurutnya, obat yang rencananya akan dikeluarkan dari BPJS adalah obat terapi target, termasuk untuk pengobatan kanker kolorektal. Dua di antaranya bevacizumab dan cetuximab. Obat-obatan ini, tambahnya, diberikan pada sebagian pasien kanker kolorektal stadium 4.

 

Menurut dr. Hamid, tidak semua pasien kanker kolorektal akan mendapatkan manfaat dari obat-obatan ini, hanya sebagain kecil pasien yang memenuhi kriteria saja. Jumlahnya hanya sekitar 15% dari seluruh pasien kanker kolorektal. “Apakah yang hanya 15% pasien ini, dan mereka adalah pasien yang berhak menerima pengobatan terapi target ini mau dihapus? Jumlah pasien penerima terapi target ini sudah sangat selektif,” ujar dr. Hamid.

 

Baca juga: Kanker yang Paling Sering Dialami Pria dan Wanita di Indonesia
 

Mewakili dokter bedah digestif, dr Hamid menegaskan bahwa dokter tidak akan menurunkan standar terapi jika akhirnya obat-obatan yang dimaksud tetap dikeluarkan dari BPJS. “Kita akan tetap berikan obat kepada pasien sesuai indikasinya. Kalau pasien kanker kolorektal stadium 4 menurut kelimuan memang membutuhkan terapi target, tetap akan kita berikan. Masalah ditanggung BPJS atau tidak itu urusan pasien dengan BPJS. Kita akan memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada pasien,” tambah dr. Hamid.

 

Sebenarnya dengan mengurangi salah satu jenis terapi, dalam hal ini terapi target, kata dr. Hamid, ada potensi merugikan pasien. Pasien yang mestinya berpotensi memiliki kondisi lebih baik, menjadi tidak baik. Pada akhirnya dokter bedahnya yang akan diprotes oleh pasien.

 

Rencana tidak ditanggungnya obat kanker kolorektal juga sangat disayangkan oleh Ketua Makassar Cancer Care Community (MCCC) Nurlina Subari. Sebagai orang yang berkecimpung di komunitas peduli pasien kanker, ia paham benar obat itu sangat dibutuhkan oleh pasien kanker kolorektal.

Atas permasalahan itu, menurut Nurlina, pihaknya sudah berusaha menanyakan pada Kemenkes melalui surat dan sudah mendapat balasannya. Kemenkes menjelaskan, kedua obat itu tidak lagi masuk dalam tanggungan JKN karena menurut analisis Health Technology Assessment hasilnya tidak efektif secara pembiayaan (tidak cost effective).

 

Baca juga: Riskesdas 2018: Penyakit Tidak Menular Meningkat. Sanggupkah BPJS?


"Tapi kami menilai itu merugikan pasien karena obat itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan menurunkan kematian. Kami berharap JKN mengikuti standar pengobatan dokter dan pemerintah membuka akses obat tersebut melalui JKN. Kalau pasien, terutama kalangan tidak mampu harus membayar sendiri, tidak sanggup," tuturnya saat dihubungi Selasa (18/12).

Meski demikian Nurlina mengapresiasi Kemenkes yang telah merespons dengan mengirim surat balasan. "Kami sebagai pasien tentunya juga menghargai putusan HTA tersebut tapi kami yakin Menkes akan memperhatikan juga semua aspek, termasuk pendapat dari perhimpunan organisasi profesi dokter maupun suara pasien sehingga putusan Menkes nantinya adalah yang terbaik untuk masyarakat. Khususnya untuk pasien kanker kolorektal yang kurang mampu," pungkasnya.

 

Kita tunggu saja apakah rencana pemerintah ini akan terlaksana. Semua pihak hendaknya mendapatkan solusi terbaik, baik pasien, dokter maupun BPJS atau pemerintah. (AY)

 

Baca juga: Alur BPJS dan Segala Aturannya