Menempati posisi 3 besar dari kanker yang paling banyak diderita oleh masyarakat dunia, kanker kolorektal atau kanker usus besar dan rektum kini menjadi salah satu masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian khusus. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, kanker kolorektal merupakan penyebab kematian kedua terbesar untuk pria dan penyebab kematian ketiga terbesar untuk wanita.

 

Data GLOBOCAN (Global Burden Cancer) tahun 2012 menunjukkan, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan tingkat kematian 9,5% dari seluruh kanker. Bahkan, secara keseluruhan risiko terkena kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang atau sekitar 5%.

 

“Prevalensi kanker kolorektal di Indonesia yang meningkat tajam menjadi perhatian khusus bagi Yayasan Kanker Indonesia untuk mengajak masyarakat agar lebih waspada dan tidak mengabaikan tanda-tanda penyakit ini dengan melakukan deteksi dini. Hal ini penting mengingat gejala kanker kolorektal tidak terlihat jelas,” jelas Prof. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD- KHOM, FACP, FINASIM, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia dalam acara Media Briefing “Kenali Kanker Kolorektal Lebih Dekat”, Selasa (3/4) lalu.

 
Baca juga: Pasien Masih Kesulitan Mendapatkan Obat Kanker Usus Besar

 

Kanker Kolorektal Dipengaruhi oleh Gaya Hidup

Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kanker kolorektal sangat erat kaitannya dengan kanker yang disebabkan oleh genetik atau akibat usia lanjut. Namun, nyatanya kanker yang tumbuh pada usus besar atau rektum ini justru sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. 

 

Adanya pergeseran budaya, di mana setiap orang saat ini semakin sering mengonsumsi makanan cepat saji atau junk food, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kanker kolorektal.

 

Beberapa faktor lain yang juga dapat memicu terjadinya kanker kolorektal yakni penyakit radang usus yang tidak diobati, kebiasaan mengonsumsi daging merah tanpa diimbangi dengan sayuran dan juga buah-buahan, kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol, kurangnya aktivitas fisik, berat badan berlebihan, serta kebiasaan merokok.

 

Hampir 30% penderita kolorektal adalah pasien yang berusia produktif, yaitu sekitar usia 40-an atau bahkan lebih muda lagi. Ironisnya, dari jumlah penderita kanker kolorektal tersebut, menurut dr. Nadia Ayu Mulansari, SpPD-KHOM, sebanyak 25% di antaranya terdiagnosa pada stadium lanjut, di mana sel kanker telah menyebar ke organ lain.

 

Kondisi inilah yang menurut Nadia akhirnya membuat pengobatan kanker kolorektal menjadi lebih sulit, lebih mahal, dan tingkat keberhasilannya pun menurun. Bahkan, studi juga menunjukkan jika hanya 10-12% dari pasien dengan kondisi ini yang dapat hidup lebih dari 5 tahun.

 

Maka dari itu, Nadia sangat menyarankan agar setiap orang melakukan pemeriksaan dini atau skrining usus demi mengetahui kondisi tubuhnya dan mencegah kemungkinan terjadinya kanker kolorektal pada stadium yang lebih lanjut.

 

Baca juga: Stop Percaya Mitos Penyebab Kanker Ini!

 

Pengobatan Kanker Kolorektal

Ada 3 metode pengobatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kanker kolorektal, yaitu dengan melakukan pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi. Metode kemoterapi dan radioterapi ditempuh untuk mencegah sel kanker berkembang dan menyebar ke organ lain. Metode ini biasanya diberikan saat sebelum dan sesudah pasien melakukan operasi pembedahan.

 

Sedangkan, metode pembedahan dilakukan untuk mengangkat jaringan atau organ yang telah ditumbuhi oleh sel kanker. Pada kasus pembedahan kanker kolorektal, bagian usus besar ada yang dapat disambungkan kembali, namun ada pula yang tidak bisa.

 

Nah, pada pasien pembedahan kolorektal yang bagian usus besarnya tidak bisa disambung lagi, biasanya dokter akan membuat sebuah lubang pada bagian tubuh pasien agar pembuangan sisa pencernaan tetap bisa dilakukan.

 

Baca juga: Ini 5 Jenis Kanker Paling Langka di Dunia! 

 

Ostomate dan kantong stoma

Seseorang yang pernah melakukan tindakan operasi pembedahan dan memiliki lubang pada tubuhnya ini disebut dengan ostomate. Dalam kesehariannya, ostomate sangat membutuhkan kantong stoma yang berfungsi untuk menampung pembuangan dari sisa-sisa pencernaannya.

 

 Ironisnya, di Indonesia ini, para ostomate masih merasa kesulitan untuk bisa memeroleh kantong stoma yang menjadi kebutuhannya. Bahkan, saat ini kantong stoma masih menjadi 'barang mewah' bagi penggunanya.

 

Belum adanya produsen asal Indonesia yang memproduksi kantong stoma, membuat barang ini masih harus diimpor dari luar negeri. Alhasil, karena pajak yang cukup tinggi, harga dari kantong stoma yang dijual di apotek bisa mencapai Rp 500-600 ribu per 10 kantong. Padahal, ostomate setidaknya membutuhkan 3 buah kantong ini setiap minggunya.

 

Hingga saat ini, YKI memang menyediakan kantong stoma secara cuma-cuma bagi para ostomate. Namun, dengan kondisi penderita kanker kolorektal yang kian meningkat, YKI sangat berharap agar pemerintah dan juga produsen alat kesehatan di Indonesia dapat memberikan kemudahan bagi para ostomate untuk bisa memeroleh kantong stoma. Misalnya, dengan memproduksi sendiri kantong stoma di Indonesia atau memberikan pajak yang tidak terlalu tinggi pada kantong stoma yang masuk ke Indonesia.

 

Baca juga: Perjuangan Seorang Wanita dalam Melawan Kanker Ovarium

 

Kanker kolorektal memang merupakan salah satu jenis kanker yang menempati posisi tertinggi penyebab kematian. Namun, deteksi dini pada penyakit ini dapat sangat membantu penderitanya untuk bisa sembuh kembali. (BAG/AY)