Pada 1 Maret 2019, Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan dua jenis obat kanker usus besar, yakni bevacizumab dan cetuzimab dari Formularium Nasional (Fornas). Artinya, pasien harus merogoh kantong sendiri untuk mendapatkan obat ini.

 

Keputusan ini membawa dampak panjang. Pasien yang membutuhkan obat kanker usus besar ini tentu berharap obat tersebut dijamin kembali oleh BPJS. Akhirnya oleh DPR, pemerintah diminta menunda keputusan pengeluaran dua obat dimaksud dari Formas.

 

Setelah lebih dari 4 bulan berlalu bagaimana kelanjutan kasus ini?

 

Baca juga: Pengobatan Kanker Lebih Terarah dengan Terapi Target

 

Cerita Pasien  Kesulitan Mendapatkan Obat Kanker Usus Besar

Salah satu kisah pasien kanker kolorektal, Aisyah, diresepkan bevacizumab oleh dokter untuk mengobati kankernya yang sudah menjalar ke hati. Bevacizumab adalah obat kanker usus besar untuk pasien yang penyakitnya sudah metastasis.

 

Namun saat akan menebus obat ini ke farmasi, ditolak karena tidak lagi masuh daftar obat BPJS. “Sudah empat bulan sampai sekarang saya belum bisa mendapatkan obat tersebut,” terang Aisyah.  Akibat keputusan itu, kondisi Aisyah semakin menurun. Ditambah lagi ukuran tumor semakin membesar.

 

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, Mkes, bevacizumab adalah salah satu jenis terapi target, yang memang diindikasikan untuk pasien kanker usus besar yang mengalami metastatis (penyebaran).

 

Obat ini diberikan bersama kemoterapi. “Dengan kemoterapi saja, respon pengobatan mencapai 60%. Pada pasien yang memenuhi syarat untuk mendapatkan terapi target, harusnya respon terapi bisa meningkat sampai 70%,” ujar dr. A. Hamid.

 

Saat ini, menurut dr. A. Hamid, belum ada pengganti terapi target lainnya untuk kanker usus besar. Namun IKABDI sendiri tetap meresepkan obat ini untuk pasien yang memang memerlukan.


“Kami, IKABDI tidak secara politis menuntut pemerintah. Tetapi sebagai organisasi profesi, kami sudah menyampaikan pada semua klinisi yang memberikan layanan kepada pasien kanker untuk tetap meresepkan obat sesuai indikasi. Kalau memang pasien memerlukan bevacizumab ya tulis saja dalam resep. Masalah ditanggung atau tidak oleh BPJS itu di luar wewenang klinisi.”

 

Baca juga: Kanker yang Paling Sering Dialami Pria dan Wanita di Indonesia



Aturan Harus Direvisi

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyampaikan dukungan kepada pasien untuk mendapatkan haknya karena menilai kebijakan penghapusan dua jenis obat kanker usus tersebut merupakan kegagalan pemerintah dalam mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan.



“Kemenkes menjanjikan untuk mengkaji ulang atau mencabut keputusan tersebut. Faktanya sampai sekarang Kemenkes tidak mematuhi, DPR juga tidak menagih. Dua obat ini sangat dibutuhkan pasien dari hasil kajian dokter ahli bedah digestif. Bahwa dua obat ini efektif untuk kanker kolorektal metastasis,” bebernya.



Mengacu pada UU SJSN Pasal 22 ayat 1, sangat jelas menyatakan bahwa obat dijamin oleh BPJS dengan indikasi medis. Dokter meresepkan bevacizumab karena indikasi medis. Jadi tidak boleh Kemenkes mencabut obat ini dari Fornas karena obat ini adalah obat yang dijamin oleh SJSN sesuai pasal tersebut. “Jika masalahnya adalah defisit BPJS, harusnya dicari solusinya, jangan mengorbankan atau mengurangi manfaat peserta BPJS,” paparnya.

 

 

Baca juga: Kanker Kolorektal, Salah Satu Penyebab Kematian Tertinggi

 

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ermalena saat dihubungi menyatakan akan memanggil Kemenkes secepatnya. Ia menolak anggapan bahwa DPR lalai dan tidak melakukan fungsi pengawasan sehingga mengakibatkan belum ada keputusan apapun dari Kemenkes.

 

Ermalena menjelaskan “DPR memang belum memanggil lagi Kemenkes karena masa sidang sekarang masih fokus membahas anggaran. Tetapi dalam masa sidang selanjutnya, setelah reses berakhir tanggal 15 Agustus dan setelah pidato presiden tanggal 16 Agustus, DPR akan memanggil kembali Kemenkes untuk menanyakan hal ini. Ada mekanisme untuk mengundang dan mengevaluasi hasil rapat yang lalu.”

 

Namun di sisi lain DPR sendiri mengerti kesulitan pemerintah. Pemerintah dalam membuat sebuah keputusan harus yang berkelanjutan. Artinya tidak bisa misalnya sekarang diputuskan besok dicabut lagi. Sementara itu, hingga saat ini, pihak dari Kementerian Kesehatan belum memberikan tanggapan terkait dengan masalah ini.

 

Baca juga: Jangan Terlambat Deteksi Kanker Usus Besar