Penggunaan obat malaria hidroksilklorokuin maupun klorokuin menarik perhatian sejak pandemi COVID-19 merebak di seluruh dunia. Obat ini dianggap sebagai salah satu obat yang paling menjanjikan untuk mengobati Covid-19. Namun pada tanggal 27 Mei 2020, WHO mengeluarkan imbauan mengenai penghentian sementara klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai salah satu pengobatan Covic-19. 

 

Imbauan WHO itu didasarkan pada hasil studi Solidarity Trial yang dipublikasikan pada tanggal 22 Mei 2020 di jurnal The Lancet. Dalam penelitian bertajuk "Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19 : a multinational registry analysis" dikatakan bahwa terdapat peningkatan morbiditas pada pasien COVID-19 yang mendapat pengobatan hidroksiklorokuin.

 

Lantas, bagaimana nasib klorokuin dan hidroksiklorokuin dalam pengobatan pasien Covid-19di Indonesia?

 

Baca juga: Cara Melindungi Lansia Selama Pandemi Covid-19 

 

Indonesia Tetap Ikuti Protokol Terapi COVID-19 

Sehubungan dengan imbauan WHO, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengimbau agar semua dokter anggota PDPI yang menangani pasien Covid-19 tetap mengikuti "Protokol Tatalaksana COVID-19" yang dikeluarkan oleh PDPI bersama dengan empat organisasi profesi lainnya sampai ada protokol baru. 

 

Keempat organisasi profesi lain yang dimaksud adalah Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Care Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

 

Dalam “Protokol Tatalaksana COVID-19” dikatakan, klorokuin fosfat maupun hidroksiklorokuin diberikan untuk pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dengan gejala, baik gejala ringan, sedang, maupun berat. Dosis dan masa pemberian klorokuin fosfat maupun hidroksiklorokuin berbeda-beda tergantung gejala. Protokol ini hanya untuk pertugas medis.

 

Dalam protokol juga disebutkan bahwa klorokuin dan hidroksiklorokuin bukan satu-satunya obat yang digunakan untuk pengobatan. Obat ini diberikan bersama antibiotik tertentu, obat untuk mengatasi gejala demam, antivirus jika diperlukan, dan juga vitamin peningkat daya tahan tubuh.

 

Ketua PDPI DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR menegaskan, “Sampai sekarang (klorokuin) masih digunakan.” Ditanya tentang efek keamanan, dr Agus menambahkan bahwa klorokuin aman digunakan untuk pasien Covid-19. "Aman dengan syarat, selama digunakan sesuai protokol," ujarnya. 

 

Penggunaan klorokuin hanya dihentikan penggunaannya pada pasien yang terlibat Solidarity Trial sesuai himbauan WHO. Namun dr. Agus tidak menampik bahwa sedang dilakukan kajian profesi medis terkait temuan terbaru tentang obat ini.

 

Dalam himbauan PDPI, dikatakan agar seluruh dokter melakukan evaluasi retrospektif terhadap pasien COVID-19 yang mendapat klorokuin/hidroksiklorokuin untuk melihat keberhasilan pengobatan dan efek samping yang terjadi. “Hasil evaluasi retrospektif ini segera disampaikan kepada PDPI pusat sebagai bahan pertimbangan untuk revisi protokol tatalaksana COVID-19,” ujar Dr. Agus. 

 

Baca juga: Waspada Penyakit Misterius Terkait Covid-19, Sindroma Inflamasi Multisistem pada Anak!

 

Data dan Metodologi Studi Dipertanyakan

Sementara itu, studi yang dimuat di Lancet yang menjadi dasar keluarnya himbauan WHO, masih dipertanyakan oleh banyak ilmuwan dunia. New York Times (29/5) menulis, lebih dari 100 ilmuwan dan klinisi mempertanyakan otentikasi dari data pasien di ribuan rumah sakit yang digunakan dalam penelitian.

 

Kritik juga diarahkan pada metodologi penelitian dan penolakan penulis untuk mengelaborasi rumah sakit mana saja yang menjadi sumber data pasien, bahkan sekadar menyebutkan nama negaranya.

 

Perhimpunan peneliti penyakit menular dari Australia, salah satunya, mempermasalahkan ketidaksesuaian data antara studi Solidarity Trial dengan data milik pemerintah Autralia. Menurut studi Solidarity Trial, ada 73 kasus kematian dari 600 pasien COVID-19 Australia pada 21 April. Padahal dari catatan Johns Hopkins University, hanya ada 67 kematian akibat Covid-19 yang tercatat secara resmi di Australia pada tanggal yang sama. Jumlah kematian juga tidak meningkat menjadi 73 sampai 23 April.

 

Perbedaan data inilah yang dipertanyakan dan para ilmuwan dan mendesak peneliti membuka data secara transparan. Mereka menantang peneliti studi Solidarity Trial menjelaskan dan berdebat bahwa menerbitkan hasil penelitian secara terburu-buru sangat berisiko. Apalagi data pasien yang digunakan sangat banyak.

 

Baca juga: Viral Eucalyptus sebagai Antivirus Covid-19, Apa Saja Khasiatnya?
 

 

Referensi:

Protokol Tatalaksana Covid-19 oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2020

Surat Edaran PDPI Terkait Himbauan Penggunaan Klorokuin untuk Tatalaksana Covid-19, 28 Mei 2020

Nytimes.com. Scientists Question Validity of Major Hydroxychloroquine Study