Pernahkah Kamu mendengar tentang seseorang yang sedang mengalami patah hati? Atau pernahkah Geng Sehat mengalami sakit hati akibat cinta tak terbalas atau karena pasangan telah memutuskan hubungan percintaan kalian? Mungkin Kamu berpikir, apakah patah hati itu benar-benar nyata atau tidak. Ternyata, sindrom patah hati adalah hal yang nyata! Kondisi ini dipicu oleh situasi yang sangat menegangkan, salah satunya kematian seseorang yang Kamu cintai.

 

Dokter biasanya menyebut kondisi ini dengan kardiomiopati akibat stres. Hal lain yang bisa memicu stres biasanya:

  • Operasi.
  • Penyakit serius.
  • Masalah keuangan.
  • Kecelakaan mobil.
  • Kenangan emosional.
  • Setelah mengalami syok yang hebat, misalnya kabarnya orang kesayangan yang tiba-tiba meninggal.
Baca juga: Tips Menjaga Kesehatan Jantung

 

Apa yang Terjadi saat Patah Hati?

Diperkirakan saat seseorang sedang mengalami sindrom patah hati, bagian dari jantung Kamu yang disebut ventrikel kiri akan bekerja sangat lemah, kemudian berhenti memompa dengan baik. Beberapa ahli juga percaya bahwa arteri koroner Kamu yang bekerja sebagai mengedarkan oksigen ke otot dan jantung mengalami kejang ketika Kamu merasa sedih.

 

Hal ini juga bisa menyebabkan nyeri di bagian dada hingga pembekuan pada jantung, yang bisa membawa masalah pada sirkulasi jantung. Jika penderita sindrom patah hati tidak segera diobati, hal itu bisa juga mematikan, misalnya mengalami serangan jantung. Selain itu, patah hati  juga dapat memperburuk keadaan mental seseorang yang mengalaminya. Orang tersebut bisa mengalami depresi hingga mencoba bunuh diri.

 

Apa Saja Gejala yang Dialami?

Tanda atau gejala yang paling umum terjadi adalah nyeri di bagian dada dan sesak napas. Kamu mungkin merasa seperti akan mengalami serangan jantung. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu Kamu waspadai jika sedang mengalami patah hati, di antaranya:

Biasanya gejalanya mulai diketahui setelah Kamu mengalami stres atau syok berat.

 

Siapa yang Mengalaminya?

Wanita cenderung lebih sering mengalami sindrom patah hati daripada pria, terutama wanita yang berusia di atas 50 tahun. Hal ini dapat mengakibatkan tingkat estrogen menjadi lebih rendah. Para ahli juga percaya bahwa faktor genetika dapat membuat beberapa orang lebih mudah terserang siindrom patah hati. Orang-orang dengan kondisi tertentu kemungkinan akan lebih berisiko mengalaminya, seperti:

Baca juga: Belajar dari Kasus Choirul Huda, Trauma Leher dan Dada dapat Sebabkan Kematian

 

Diagnosis

Jika dokter berpikiran bahwa Kamu memiliki penyakit tersebut, biasanya dokter akan melakukan beberapa tes, di antaranya:

  • Dokter akan memeriksakan fisik dan mental, serta bertanya tentang gejala yang Kamu alami. Dokter juga ingin tahu tentang peristiwa besar atau stres yang menimpa hidupmu
  • Elektrokardiogram (EKG), yaitu salah satu tes yang dilakukan dengan memeriksa ritme jantung dan struktur jantung, sehingga dapat diketahui dari mana penyakit jantung itu berasal.
  • Tes darah.
  • Angiogram Koroner. Pewarna disuntikkan di dada dan arteri koroner Kamu untuk membantu dokter melihat penyumbatan yang terjadi. Orang dengan sakit jantung biasanya mengalaminya, namun gejala patah hati tidak.
  • USG yang berfungsi untuk menunjukkan apakah orang tersebut memiliki jantung yang besar atau memiliki bentuk yang abnormal sedang bekerja.
  • Pencitraan perfusi radionuklida. Tes serupa terhadap ekokardiogram ini membantu menunjukkan daerah otot jantung mana yang mendapat darah normal melalui arteri koroner. Ini juga memungkinkan dokter mengetahui bagian jantung mana yang mengalami kerusakan.
  • Sinar-X. Hal ini bisa menunjukkan apakah ada masalah dengan paru-paru dan jantung.

 

Pengobatan

Sindrom patah hati dapat diobati oleh dokter, dengan meresepkan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati hal-hal seperti gagal jantung. Misalnya seperti obat diuretik, ACE inhibithor, atau beta-block. Jika Kamu sudah mengalami beberapa  gejala di atas atau merasakan patah hati yang luar biasa akibat masa lalu yang amat menyedihkan, cobalah konsultasikan kepada dokter. Jika gejalanya tidak menimbulkan sakit atau sesak, hubungi psikiater. Namun, jika mengakibatkan sakit pada fisik, sebaiknya segera hubungi dokter. (AD/AS)

Baca juga: Obat Herbal atau Obat Kimia, Mana yang Lebih Baik?