Negara kita masih berkutat dengan stunting, yaitu kekurangan gizi kronis yang menyebabkan perawakan pendek disertai gangguan kognitif. Tahun 2021, masih ada 24,4% anak stunting di negara ini, yang oleh pemerintah ditargetkan turun menjadi 14% di tahun 2024.

 

Bukan hal yang mudah mencapainya. Semua upaya harus dikerahkan. Dimulai dengan mengatasi penyebab utama stunting. Dijelaskan Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, ahli gizi dan guru besar di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, bahwa penyebab stunting sangat multifaktor, namun yang paling utama adalah asupan makanan yang kurang, terutama protein hewani. Bagaimana mengatasinya?

 

Baca juga: Awas, Kasus Stunting Bisa Bertambah Saat Pandemi Covid-19

 

Darurat Asupan Protein Hewani

Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2017, total konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah yakni hanya 8%. Angka tersebut berbeda secara signifikan dibandingkan negara Asia lainnya, seperti Malaysia dan Thailand yang tingkat konsumsi protein hewaninya masing-masing mencapai 30% dan 24%.

 

Penelitian terbaru lainnya menyebutkan, bahwa jumlah konsumsi protein hewani di Indonesia mulai meningkat. Berselang 5 tahun, tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia mencapai 30%. Namun jumlah tersebut lagi-lagi masih kalah jauh dibandingkan tingkat konsumsi protein hewani di Malaysia yang mencapai angka 50% (Khusun dkk, 2022).

 

Data itu pun didukung hasil Survei Konsumsi Makanan Individu tahun 2014 di mana ditemukan bahwa konsumsi protein pada kelompok usia 7-11 bulan, hanya 2%. Untuk kelompok usia 1-3 tahun bahkan lebih jelek lagi, hanya 1%. Asupan makanan sehari-hari anak-anak ini didominasi serealia, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.

 

“Data ini sudah ada sejak 2014 tetapi tidak ada program pemberian makan pada anak-anak untuk protein hewani,” jelas Prof. Fika dalam acara media gathering yang diselenggarakan JAPFA dalam rangka mengenalkan program Apresiasi Karya Jurnalistik JAPFA (AKJJ), di Jakarta, 14 Juni 2022 lalu.

 

Baca juga: Perilaku Salah Berikut ini Memicu Kejadian Stunting Cukup Besar!

 

Mengapa Harus Protein Hewani?

Lebih jauh Prof. Fika menjelaskan, jika bicara gizi, hanya protein satu-satunya zat gizi yang berfungsi untuk pertumbuhan. Karbohidrat dan lemak pun tidak. Selain untuk mendukung pertumbuhan, protein bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan mempertahankan massa otot.

 

Masa pertumbuhan terpesat manusia adalah di 1000 Hari Pertama Kehidupan, yang dimulai sejak masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. Inilah yang nantinya menjadi dasar mengapa protein hewani menjadi konsumsi wajib ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi hingga berusia 2 tahun.

 

“Kita juga bisa melihat kenapa stunting dihubungkan dengan kognitif, karena pada usia 0-2 tahun pertumbuhan fisik dan kognitif sangat signifikan, Jika di masa ini pertumbuhan terganggu, otomatis perkembangan kongitifnya terganggu karena pertumbuhan otak tidak maksimal,” jelas Prof. Fika.

 

Masyarakat juga perlu diedukasi bahwa tidak semua protein sama. Kualitas protein hewani dan nabati berbeda. Protein hewani lebih unggul dari segi kualitas karena mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap. “Tubuh membutuhkan 20 jenis asam amino dan 9 di antaranya asam amino esensial yang hanya ditemukan di protein hewani,” ungkap Prof. Fika.

 

Kekurangan protein hewani akan menyebabkan semua aspek pertumbuhan anak terganggu, mulai dari kurangnya pembentukan hormon pertumbuhan yang bedampak pada terhambatnya pembentukan sel hingga organ tubuh.

 

Baca juga: Bukan Daging Merah, Inilah Protein Hewani Terbaik Agar Anak Tinggi!

 

Program Makanan Tambahan

Berangkat dari fakta ini, Prof. Fika berharap program penurunan stunting yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan akan tepat sasaran. Seperti diketahui, pemerintah sudah mengeluarkan 11 program untuk mengatasi stunting yang dicanangkan di tahun 2022.

 

Secara garis besar, intervensi pencegahan stunting dibedakan menjadi sebelum kelahiran dan sesudah kelahiran. Untuk program sebelum kelahiran, Kemenkes antara lain menargetkan pemeriksaan kehamilan rutin minimal 6 kali, pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil, dan yang menarik, menurut Prof. Fika, adalah pemberian makanan tambahan ibu hamil berupa makanan bersumber protein hewani.

 

Pemberian makanan tambahan ini dilanjutkan pada balita. “Sayangnya ibu menyusui jarang diperhatikan. Padahal stunting bisa dimulai di masa menyusui, karena kualitas ASI yang buruk. Ibunya juga harus diintervensi agar bisa memberikan ASI eksklusif yang berkualitas," ujar Prof. Fika.

 

Terlepas dari kekurangannya, Prof. Fika menyambut baik program pemberian makanan tambahan dari protein hewani ini. “Ini merupakan intervensi spesifik yang bagus. Pemerintah mulai berbicara asupan makanan tambahan dan diperjelas protein hewani berupa telur dan susu. Dulu pemerintah bicara susu saja alergi,” ujar Prof. Fika.

 

Menkes Budi Gunawan Sadikin, di awal tahun ini sudah memberikan instruksi program pemberian tambahan untuk balita berupa 1 butir telur setiap hari. Program ini sesuai rekomendasi WHO dan UNICEF tahun 2021, di mana anak usia 6-23 bulan harus mengonsumsi produk susu, baik susu formula atau UHT, makanan dari daging (ayam, sapi, ikan), dan telur.

 

“Rasionalnya adalah jika protein hewani ini dimakan setiap hari dan sesering mungkin dan bukan sesekali saja. Dengan begitu, ada harapan bahwa stunting bisa diturunkan, jadi bukan hanya perbaikan sanitasi, tetapi jelas menambah makanan tambahan berupa protein hewani seperti susu dan telur,” harap Prof. Fika.

 

Baca juga: 5 Cara Cegah Stunting Sejak Awal Kehamilan

 

Dukungan Pihak Swasta

Direktur Corporate Affairs JAPFA, Rachmat Indrajaya menyampaikan dukungannya terhadap penurunan angka stunting di Indonesia. “Kami berkomitmen untuk tidak hanya fokus pada aspek ekonomi saja (Profit), melainkan juga pada aspek sosial (People) dan lingkungan (Planet) yang membuat perusahaan dapat berjalan dengan seimbang. Salah satunya melalui kegiatan sosial perusahaan dalam upaya pencegahan stunting,” jelasnya.

 

Beberapa program JAPFA dalam menurunkan stunting antara lain melalui kegiatan JAPFA for Kids dan POSYANDU Berdaya. Kegiatan AKJJ sendiri merupakan upaya edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya gizi seimbang dan protein hewani kepada masyarakat melalui media.

 

“Isu stunting tidak hanya menjadi tugas pemerintah semata, namun membutuhkan dukungan swasta,” jelas Rachmat. Keberadaan sektor swasta termasuk JAPFA diharapkan dapat turut aktif mempromosikan konsumsi gizi seimbang melalui peningkatan konsumsi protein hewani demi mencegah terjadinya stunting.

 

Baca juga: Inilah Penyebab Remaja Kurus, Saatnya Mereka Peduli Stunting!