Meskipun angka kekurangan gizi di seluruh dunia bisa diturunkan selama 25 tahun terakhir, kekurangan berat badan dan perawakan pendek pada anak-anak masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di Asia dan Afrika. Gizi yang cukup merupakan salah satu faktor kunci tumbuh kembang anak yang sehat.

 

Bagaimana dengan anak-anak di Asia Tenggara? Melalui hasil studi South East Asian Nutrition Surveys kedua (SEANUTS II) yang dirilis pada Juni 2022, ternyata jumlah anak yang kekurangan gizi dan berperawakan pendek masih tinggi. Tidak hanya itu, beberapa anak juga mengalami defisinesi mikronutrien yang cukup penting, seperti zat besi, kalsium, dan vitamin D.

 

SEANUTS II adalah penelitian yang dilakukan di 4 negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. SEANUTS II merupakan lanjutan dari SEANUTS I, yang dipublikasikan pada tahun 2013. Penelitian skala besar ini dilakukan oleh FrieslandCampina.

 

Baca juga: 5 Cara Cegah Stunting Sejak Awal Kehamilan
 

Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), Peneliti Utama SEANUTS II di Indonesia dan Guru Besar di Fakultas Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, dalam konferensi pers pemaparan hasil studi SEANUTS II di Jakarta, 21 Juni 2022, menjelaskan, “Prevalensi stunted untuk anak di bawah usia 5 tahun masih tinggi, di atas 20%, tepatnya 28,4%. Sedangkan wasting (berat badan anak sangat kurang) sebesar 4,3%, dan underweight 19,0%.”

 

Selain masalah kekurangan gizi yang ditandai dengan stunted, wasting maupun underweight, ditemukan pula masalah gizi lain yaitu obesitas pada anak, namun jumlahnya di bawah 1%.

 

Menurut Prof. Rini, data ini didapatkan dari 3.465 lebih anak Indonesia berusia 6 bulan – 12 tahun. Seharusnya, SEANUTS II menargetkan >13.000 anak dan berlangsung sejak 2019-2020. “Namun, sudi terpaksa dihentikan di awal 2020 karena pandemi, dan pengambilan data yang awalnya direncanakan di 70 kabupaten/kota, hanya terpenuhi 21 kabupaten di 15 provinsi,” jelas Prof. Rini.

 

Baca juga: Awas, Kasus Stunting Bisa Bertambah Saat Pandemi Covid-19

 

Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Stunting dan Anemia

Data yang diperoleh selama studi SEANUTS II ini menunjukkan, asupan pangan berkualitas yang jauh di bawah standar menjadi penyebab kekurangan gizi. Rata-rata penghasilan rumah tangga dari responden yang disurvei memiliki pendapatan 2,4 juta rupiah per bulan, dengan biaya untuk makan keluarga tidak sampai 400.000 rupiah.

 

Salah satu sumber gizi berkualitas yang wajib tercukupi kebutuhannya di masa tumbuh kembang adalah protein, terutama protein hewani. Sayangnya, sumber protein hewani seperti unggas, daging, telur, dan susu, masih menjadi makanan mewah untuk sebagian besar masyarakat Indonesia.

 

“Asupan protein masih kurang dari 80% dan rata-rata asupan energi kurang dari 70%,” jelas Prof. Rini mengutip data SEANUTS II.

 

Selain sebagai sumber asam amino esensial, protein hewani juga merupakan sumber mikronutrien penting seperti zat besi. Tidak heran, imbas dari kekurangan asupan protein hewani ini menyebabkan kasus defisiensi zat besi tinggi, mencapai 29,1% dan anemia 25,8%.

 

Kekurangan mikronutrien lainnya adalah vitamin D dan kalsium, dan juga vitamin A dan B. Sebagian besar anak-anak tidak memenuhi kebutuhan rata-rata asupan kalsium dan vitamin D. Hasil pengecekan biokimia darah juga menunjukkan adanya ketidakcukupan vitamin D pada sebagian besar anak.

 

 

Baca juga: Kenali Tanda-tanda Kekurangan Vitamin D!
 

Perlu Intervensi Permasalahan Gizi

Hasil penelitian SEANUTS II ini menunjukkan adanya urgensi yang besar untuk memitigasi permasalahan gizi dengan langkah-langkah kolaboratif dan kebijakan yang strategis. Prevalensi stunted sebesar 28,4 persen artinya, satu di antara 3,5 anak berperawakan pendek.

 

Untuk mengatasi kesenjangan gizi, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melalui intervensi gizi yang lebih baik dan program edukasi.

 

Andrew F Saputro, Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia mengatakan, “Kami berharap SEANUTS II dapat menjadi data komplementer bagi data nasional yang ada, dan dapat dijadikan referensi bagi pemerintah, akademisi, pemangku kepentingan dan semua pihak yang terkait sebagai basis data pembuatan program intervensi ataupun perumusan kebijakan terkait peningkatan status gizi generasi bangsa,” jelasnya.

 

Frisian Flag Indonesia berkomitmen untuk terus berperan aktif membantu pemerintah untuk meningkatkan literasi dan perbaikan status gizi keluarga Indonesia melalui penyediaan sumber gizi yang berkualitas.

 

Beberapa program yang sudah dilakukan antara lain menciptakan inovasi produk susu dengan harga terjangkau. Dan untuk sosialisasi minum susu, sebagai sumber protein hewani yang murah, Frisian Flag Indonesia meluncurkan program Gerakan Nusantara atau program edukasi gizi anak sekolah yang hingga kini telah menjangkau lebih dari 2,5 juta anak sekolah dasar di berbagai pelosok sekolah di tanah air.

 

Pemerintah, melalui Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dalam Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat telah menetapkan prevalensi stunting tahun 2022 harus turun setidaknya 3 persen melalui konvergensi program intervensi spesifik dan sensitif yang tepat sasaran. Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada tahun 2024.

 

Menkes Budi Gunawan Sadikin mengatakan, intervensi stunting perlu dilakukan sebelum dan setelah kelahiran, di mana intervensi gizi dimulai dari ibu hamil, bahkan mulai dari remaja putri.

 

Intervensi setelah kelahiran dilakukan dengan mendorong ASI eksklusif, dan meningkatkan edukasi mengenai kecukupan gizi untuk makanan pendamping ASI terutama protein hewani. Menkes menekankan pemberian makanan tambahan berupa satu butir telur satu dan susu setiap hari yang dananya diambil dari Dana Desa atau dari dana khusus.

 

Baca juga: Konsumsi 1 Gelas Susu Selama Hamil Dukung Pertumbuhan Tulang Janin

 

 

Referensi:

Pubmed.ncbi.nlm.nih.gov. The Consumption of Dairy and Its Association with Nutritional Status in the South East Asian Nutrition Surveys (SEANUTS)

Setkab.go.id. Inilah Upaya Pemerintah Capai Target Prevalensi Stunting 14% di Tahun 2024