Media sosial akhir-akhir ini ramai memperbincangkan soal kelainan kromosom. Usut punya usut, hal ini bergulir setelah seorang content creator, di luar prediksi melahirkan seorang anak dengan sindrom Down. Dari situ kemudian ramai dibicarakan bahwa cek kromosom saat hamil dianggap penting demi mencegah kelainan janin. Benarkah memang penting?

 

Kelainan Kromosom: Definisi dan Pencegahan

Secara definisi, sindrom Down adalah kondisi seseorang memiliki kromosom ekstra. Kromosom adalah "paket" kecil gen dalam tubuh. Kromosom menentukan bagaimana tubuh bayi terbentuk dan berfungsi saat tumbuh selama kehamilan dan setelah lahir. 

 

Biasanya, bayi lahir dengan 46 kromosom. Namun, bayi dengan sindrom Down memiliki salinan ekstra dari salah satu kromosom ini, yaitu kromosom 21. Istilah medis untuk memiliki salinan ekstra kromosom adalah trisomi. Sehingga, sindrom Down juga sering disebut sebagai Trisomi 21. Salinan ekstra ini mengubah cara kerja bayi serta perkembangan tubuh dan otak, yang dapat menyebabkan tantangan mental dan fisik bagi bayi.

 

Berdasarkan penjelasan dr. Ivander Ramon Utama, F.MAS, Sp.OG, MSc, saat melakukan Instagram Live dengan Teman Bumil, Rabu (8/3) lalu, sindrom Down merupakan kelainan kromosom paling sering terjadi, selain dua kelainan lainnya.

 

“Ada 3 kelainan kromosom yang paling sering terjadi, yaitu sindrom Down atau mongoloid, sindrom Edward, serta sindrom Patau. Itu artinya, masih ada ratusan sindrom kelainan kromosom lainnya yang angka kejadiannya amat sangat jarang,” ujarnya.

 

Sindrom Down adalah kondisi seumur hidup. Kondisi ini akan memengaruhi kemampuan anak untuk belajar dengan cara yang berbeda, dan sebagian besar memiliki kecacatan intelektual ringan hingga sedang. Anak-anak dengan sindrom Down dapat belajar mengembangkan keterampilan sepanjang hidup mereka, namun hanya mencapai tujuan dengan kecepatan yang berbeda. 

 

Selain efeknya pada penampilan, sindrom Down juga dapat menyebabkan sejumlah komplikasi medis. Beberapa komplikasi berpotensi serius, seperti cacat jantung, leukimia (kanker darah), dan masalah sistem kekebalan tubuh. Sindrom Down pun dapat memengaruhi cara tubuh memproduksi atau merespons hormon. 

 

Misalnya, orang dengan sindrom Down seringkali tidak menghasilkan hormon tiroid yang cukup, sehingga dapat menyebabkan masalah berat badan. Mereka juga berisiko terkena diabetes tipe 1, yang membutuhkan pengobatan dengan suntikan insulin. Singkatnya, bayi yang terlahir dengan sindrom Down membutuhkan dukungan medis yang menyeluruh mulai dari awal kelahirannya nanti.

 

Dari sini, wajar saja jika siapa pun ingin calon buah hatinya terhindar dari risiko kelainan kromosom seperti sindrom Down. Menurut dr. Ivander, kelainan kromosom bisa dideteksi dalam kehamilan, tapi sulit. Terkadang, kelainan yang sangat berat baru bisa dideteksi. Sementara, jika kelainan tergolong ringan atau sangat ringan, sering tidak terdeteksi pada saat kontrol kehamilan.

 

 

Baca juga: Cara Mudah Menghitung Usia Kehamilan

 

 

Lalu, bagaimana dengan langkah pencegahannya? Dr. Ivander menegaskan bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kelainan kromosom pada janin, adalah melakukan pencegahan secara aktif sejak sebelum hamil. Langkah tersebut antara lain:

Risiko kelainan kromosom akan meningkat pada seorang wanita obesitas. Gangguan kecerdasan, tumbuh kembang, autisme, serta hiperaktif, akan sangat meningkat pada individu yang memulai kehamilannya dalam kondisi obesitas. Maka dari itu, penting untuk menormalkan indeks massa tubuh terlebih dahulu pada saat mempersiapkan kehamilan, bukan pada saat sudah hamil.

 

  • Memperbaiki kondisi metabolik calon ibu

Hal kedua yang bisa meningkatkan risiko kelainan kromosom adalah kondisi metabolik seorang perempuan. Dr. Ivander menyarankan agar jangan sampai seorang wanita hamil dalam kondisi kekurangan vitamin D, serta diabetes atau pradiabetes tak terkontrol. 

 

  • Kenali faktor histori keluarga 

Jika dari pihak suami atau istri memiliki anggota keluarga dengan kelainan genetik, termasuk sindrom Down, maka ketahui seberapa dekat hubungannya. Jika kelainan ditemukan sangat dekat, pasangan suami istri bisa meminimalkan faktor risiko ini dengan melakukan program bayihttps://www.guesehat.com/kepala-bayi-besar-tandanya-pintar tabung, yang memungkinkan untuk menanamkan embrio berkualitas bagus ke dalam rahim.

 

  • Merencanakan kehamilan di usia ideal

Wanita paling subur dan memiliki peluang terbaik untuk hamil di usia 20-an. Jumlah sel telur berkualitas terbaik tersedia dan risiko kehamilan paling rendah. Sementara pada pria, memiliki peluang yang lebih baik untuk memiliki anak di usia kurang dari 40 tahun. Kualitas sperma yang dihasilkan pria cenderung menurun. Dengan begitu, semakin tua usia calon ibu maupun ayah, risiko terjadinya kelainan kromosom akan semakin tinggi.

 

 

Baca juga: Hamil Saat Masih Menggunakan IUD? Bisa Jadi Ini Penyebabnya!

 

 

 

 

 

Tes NIPT, Apakah Benar Perlu untuk Semua Ibu Hamil?

Kelainan pada kromosom berpotensi atau menyebabkan ketidaksempurnaan pada janin. Demi mendeteksinya, ada beberapa metode yang cukup akurat bisa dilakukan. 

 

Non-Invasive Prenatal Test (NIPT) adalah yang paling populer saat ini. NIPT merupakan suatu pemeriksaan untuk mendeteksi kelainan kromosom pada janin melalui darah ibunya. Tes dilakukan dengan pengambilan sedikit darah ibu, lalu diperiksa di laboratorium. Perlu diketahui, di dalam darah ibu mulai usia kehamilan 9 minggu, terdapat fraksi kromosom dari janinnya. Artinya, terjadi pertukaran kromosom antara ibu dan janin.

 

Akurasi hasil NIPT cukup tinggi, mencapai hingga 99%. Hasil pemeriksaan NIPT biasanya merupakan interpretasi risiko rendah (low risk) atau risiko tinggi (high risk) terhadap kemungkinan kelainan bawaan yang diperiksa. Hasil NIPT dengan nilai risiko tinggi umumnya akan memerlukan pemeriksaan lanjutan, misalnya pemeriksaan genetik dari cairan ketuban (amniocentesis).

 

Tetapi NIPT hanya bisa menilai 3 kelainan kromosom tersering, yaitu sindrom Down, Edward, serta Patau. Artinya, ada kemungkinan kelainan kromosom lain yang tidak terdeteksi meski sudah melakukan NIPT. Sebagai contoh, NIPT tidak bisa mendeteksi talasemia, bibir sumbing, atau buta warna.

 

Lalu, wajibkah NIPT dilakukan oleh semua ibu hamil? Menurut dr. Ivander perlu saja, namun tidak wajib. 

 

“Justru yang terpenting dan wajib dilakukan oleh semua ibu hamil adalah melakukan screening melalui pemeriksaan ultrasonografi di usia kehamilan 11-13 minggu. Screening di trimester pertama ini menjadi filter awal untuk menilai ada tidaknya kelainan kromosom dengan nilai akurasi hingga 60%. Walau begitu, melakukan NIPT sebagai bentuk screening, juga sangat tepat dan baik dilakukan. Apalagi, jika pasutri memiliki faktor risiko kelainan kromosom,” paparnya.

 

Yang perlu digarisbawahi, meskipun sudah dideteksi sejak dini, kelainan kromosom di dalam kandungan tetap saja bisa terjadi. Jika ternyata hasil NIPT menunjukkan interpretasi risiko tinggi, yang berarti terjadi kelainan kromosom pada janin, maka kelainan tersebut tidak bisa dikoreksi selama di dalam kandungan ataupun setelah lahir. 

 

Namun bukan berarti melakukan NIPT akan sia-sia jika ternyata hasilnya di luar harapan. Deteksi dini dapat menjadi persiapan yang baik untuk orang tua, dari segi mental, finansial, maupun bagi dokter.

 

“Jika sudah melakukan deteksi dini, maka penatalaksanaan sindrom Down sejak masa awal kehidupannya menjadi optimal. Dokter kandungan yang menangani kehamilannya pun bisa mempersiapkan persalinan seorang bayi dengan sindrom Down lebih optimal, seperti menyiapkan pakar jantung dan endokrin anak, serta dapat mendukung tumbuh kembang anak ini di kemudian hari,” ujarnya. 

 

 

Baca juga: Mums, Ternyata Enggak Selamanya Anak Harus Berbagi, Kok!

 

 

 

Referensi:

Instagram Live dengan dr. Ivander Ramon Utama, F.MAS, Sp.OG, MSc