Saat seorang wanita dinyatakan hamil, umumnya akan diikuti dengan serangkaian pertemuan dengan dokter kandungan atau bidan. Tenaga kesehatan memegang peran penting dalam memastikan kehamilan berjalan sehat hingga janin dilahirkan. Setelah itu, perawatan bayi akan dilanjutkan oleh dokter umum atau dokter spesialis anak.

 

Menemukan dokter spesialis kandungan tidak sulit, apalagi di kota besar. Namun, memilih dokter yang sesuai kriteria pribadi, ternyata cukup menjadi pekerjaan rumah. Bagi ibu hamil yang mengunjungi dokter praktek swasta, kadang dibutuhkan 2-3 kali berganti dokter sebelum menemukan dokter ideal.

 

Teman Bumil dan Populix mengadakan survei online untuk mengetahui kriteria ibu hamil dalam memilih dokter spesialis kandungan, bidan, dan juga dokter anak. Survei dilakukan pada lebih dari 1000 ibu Indonesia, baik yang sedang hamil maupun memiliki balita.

 

Hasil survei menunjukkan, 8 dari 10 pasangan suami istri mulai mencari dokter spesialis obgin atau bidan setelah dinyatakan hamil, di mana hasil test pack positif. Rumah sakit dan klinik bersama, menjadi dua tempat favorit Mums untuk memeriksakan kandungannya.

 

 

Baca juga: Melahirkan Dibantu Bidan atau Dokter?

 

Kebutuhan Setiap Ibu Hamil Berbeda-beda

Dr. Yassin Yanuar Mohammad, Spesialis Kebidanan & Kandungan Konsultan Fertilitas, Endokrinologi & Reproduksi menyatakan bahwa pasangan mulai mencari dokter kandungan sesuai kebutuhan. Jika kebutuhannya memang hanya memeriksakan kehamilan, hampir pasti para wanita baru akan datang ke dokter ketika sudah dinyatakan hamil. Berbeda jika mereka memiliki kondisi lain terkait gangguan reproduksi, maka bisa jadi akan mencari dokter lebih cepat.

 

Menurut Dr. Yassin, umumnya para wanita tidak akan menunda terlalu lama ke dokter kandungan atau bidan saat mengetahui dirinya hamil, sehingga kesehatan janinnya tetap dapat terpantau dengan baik. Kebanyakan, wanita hamil mulai terpantau dokter kandungan di 12 minggu pertama kehamilannya.

 

Di trimester pertama, pertumbuhan janin dan pembentukan organ tengah berkembang pesat, sehingga menurut dr. Yassin, ibu hamil sebaiknya tidak menunda terlalu lama mencari dokter kandungan atau tenaga medis terkait.

 

“Jika ibu hamil datang jauh-jauh hari sebelum hamil untuk tes kesehatan lengkap, itu adalah nilai tambah. Namun kembali lagi kepada kebutuhan masing-masing ibu hamil,” jelasnya.

 

 

Baca juga: Kapankah Waktu Terbaik untuk Mengecek ke Dokter Kandungan?

 

Kriteria Dokter Ideal PIlihan Mums Milenial

Hasil survei juga menunjukkan, kriteria paling penting bagi para Mums saat memilih dokter kandungan adalah dokter yang ramah dan komunikatif. Jarak rumah sakit atau klinik tidak terlalu menjadi pertimbangan, begitu juga dengan popularitas dokter. Sedangkan 65% responden memperhitungkan pula biaya yang terjangkau saat memilih dokter.

 

Uniknya, sebagian besar responden, baik yang memilih memeriksakan kehamilan pada dokter kandungan maupun bidan, rata-rata memilih dokter dan bidan sesuai rekomendasi teman atau keluarga. Jarang responden yang berinisiatif mencari dokter obgin sendiri.

 

Hasil survei juga menemukan, pasien ibu hamil yang berusia 30 tahun atau kurang, lebih memilih dokter kandungan perempuan. Sedangkan pasien yang usianya lebih dari 31 tahun, tidak terlalu mempermasalahkan gender dalam memilih dokter.

 

Beberapa responden mengaku harus berganti dokter sampai berkali-kali sebelum menemukan dokter idaman mereka. Terkait hasil ini, dr. Yassin memberikan pandangannya, bahwa preferensi masing-masing pasien saat memilih dokter tidak sama. Berganti-ganti dokter adalah hak pasien.

 

“Tentunya ada petimbangan berupa faktor kenyamanan dan kemudahan dalam komunikasi, dan juga faktor personal. Dan itu wajar terjadi di mana pun sepanjang pasien memiliki komunikasi yang baik dan berkelanjutan dengan setiap dokter yang ditemui,” lanjutnya.

 

Namun, lanjur dr. Yassin, berganti-ganti dokter hendaknya didasari alasan yang rasional, bukan hanya memuaskan “rasa penasaran” si pasien saja. Hal ini karena dokter yang berbeda akan memberikan pemeriksaan yang berkesinambungan dari dokter sebelumnya.

 

 

Baca juga: Kontrol ke Dokter Kandungan Sebaiknya Berapa Kali?

 

Hubungan Dokter dan Pasien Berbasis Kepercayaan

Dalam survei Teman Bumil, 57% responden mengaku mempunyai pengalaman kurang menyenangkan akibat dokternya kurang komunikatif. Sedangkan 22% lainnya mengeluhkan waktu konsultasi yang singkat.

 

Ketika dokter dianggap kurang memenuhi keinginan pasien, maka pasien berhak mencari second opinion. Dalam survei, 6 dari 10 Mums mencari second opinion jika penjelasan dokter kurang memuaskan.

 

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, mengatakan, keluhan seperti ini sudah terjadi cukup lama. Berdasarkan undang-undang (UU Kesehatan dan UU Praktik kedokteran), pasien berhak mencari second opinion. Namun menurut Tulus, berganti dokter juga menyangkut medical record di mana pasien berhak meminta catatan kesehatan sebagai bekal informasi ke dokter berikutnya.

 

Survei YKLI 7 tahun lalu, memang menunjukkan hubungan dokter dan pasien di Indonesia masih didominasi dokter. Menurut Tulus, implikasinya jadi panjang, dokter dalam melakukan penggalian informasi ke pasien (anamnesis) tidak cukup detil, padahal jika bisa menggali dengan baik informasi pasien, maka 50% masalah bisa diselesaikan.

 

“Komunikasi bukannya tidak terbangun, namun ada gap terlalu jauh antara pasien dan dokter dalam hal knowledge, sehingga hubungannya menjadi asimetris.”

 

Adanya banjir informasi di internet, tidak membuat jarak pengetahuan ini menjadi membaik. Masyarakat, lanjut Tulus, masih banyak yang percaya informasi kesehatan yang tidak benar alias hoax. Hal ini akan membuat masalah baru dalam hubungan dokter dan pasien.

 

Hubungan pasien dengan dokter adalah sebuah hubungan berdasarkan trust atau kepercayaan. Keduanya, pasien dan dokter, seharusnya memiliki sikap untuk membangun kepercayaan.

 

“Dokter juga perlu percaya kepada pasien, dan sebaliknya apa yang dikatakan pasien harus benar. Pasien harus membentu komunikasi yang positif antara dokter dan pasien, karena pada seseorang, gestur dokter saja bisa membuat tidak nyaman,” pungkas dr. Yassin.

 

 

Baca juga: Survei: 82% Tenaga Kesehatan Alami Kelelahan Selama Pandemi

 

 

Sumber:

Survei Teman Bumil dan Populix, Maret 2021 "Kriteria Ibu Hamil Memilih Dokter"