Bulan Maret diperingati sebagai Hari Ginjal Sedunia, tepatnya tanggal 9 Maret. Ginjal adalah organ yang sangat penting bagi manusia. Kita memiliki sepasang ginjal yang lokasinya di belakang rongga perut, di daerah pinggang. Makanya ginjal sering disebut dengan buah pinggang.

 

Meski cuma berukuran 10-12 cm saja, namun peran ginjal tidak kecil. Dijelaskan Dr. Afiatin dr. SpPD-KGH., FINASIM, Internist Konsulen Ginjal dan Hipertensi, Kepala Instalasi HD RS Hasan Sadikin Bandung, fungsi utama ginjal adalah menyaring sisa metabolism tubuh, menyeimbangkan jumlah cairan tubuh, membentuk sel darah merah, dan mengatur tekanan darah.

 

Ginjal terdiri dari 1 juta sel nefron. Di dalam nefron ada glomerulus untuk menyaring dan tubulus untuk menyalurkan, mana cairan yang harus dibuang melalui urine dan mana yang dikembalikan ke tubuh. Setiap hari, ginjal menyaring sekitar 180 liter cairan yang diukur dengan laju filtrasi glomerulus (GFR). Normalnya, nilai GFR atau kecepatan penyaringan adalah:125 ml/menit/1,73 m persegi.

 

“Jadi bisa dibayangkan ketika sel-sel ginjal mengalami kerusakan dan GFR menurun, maka sampah-sampah metabolisme tidak bisa dikeluarkan dan menjadi racun bagi tubuh,” jelas dr Afiatun dalam edukasi daring yang diadakan oleh PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) bersama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Minggu, 26 Maret, 2023.

 

Baca juga: Prosedur Cuci Darah Bagi yang Terdiagnosis Gagal Ginjal

 

Diabetes Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) banyak terjadi pada penderita diabetes dan hipertensi. Kerusakan ginjal terjadi perlahan, sehingga dikenal mulai stadium 1 hingga 5. “Di tahap awal penyakit ginjal ini tidak ada gejala, sehingga kita yang sehat harus rutin cek kesehatan ginjal, terutama yang punya faktor risiko,” jelas dr. Afiatin.

 

PGK stadium 5 harus menjalani terapi pengganti ginjal, baik itu transplantasi ginjal maupun hemodialisis (HD) atau cuci darah.

 

Meskipun terbukti bisa menyelamatkan pasien PGK, namun HD menyebabkan beberapa masalah, karena HD tidak bisa menggantikan seluruh fungsi ginjal. Efek samping dari hemodialisis di antaranya anemia di mana kadar Hb rendah, kelebihan cairan menyebabkan bengkak, tekanan darah meningkat, masalah pada jantung, dan depresi.

 

Anemia pada Pasien HD

Sel darah merah diproduksi di sumsum tulang. “Sumsum tulang ini adalah pabrik pembentuk sel darah merah, dan ia seperti pabrik pada umumnya, bisa memproduksi jika ada bahan-bahannya. Salah satu bahan untuk membuat sel darah merah adalah eritropoeitin atau EPO. EPO dibutuhkan pada tahap awal pembentukan sel darah merah. Selain itu juga itu dibutuhkan zat besi, vitamin B (asam folat) dan lain-lain,” jelas dr. Afiatin.

 

Pada pasein PGK yang menjalani hemodialisis, penyebab utama anemia adalah kekurangan EPO, kekurangan zat besi, atau perdarahan. Anemia ditentukan jika jumlah sel darah merah atau Hb kurang dari 13gr/dL. Anemia akan meningkatkan risiko kemaian dan perawatan di rumah sakit.

 

Terapi anemia pada pasien PGK yang utama adalah pemberian Ertythropoiesis Stimulating Agent (ESA). Mengapa bukan transfusi darah? “ Sebisa mungkin transfusi darah dihindari, karena ada banyak risiko dan efek samping. Transfusi darah hanya diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan ESA, atau pasien yang tidak boleh mendapatkan ESA misalnya punya riwayat keganansan atau memiliki masalah pada jantung,” papar dr. Afiatin.

 

Risiko transfusi darah yang dimaksud antara lain kelebihan zat besi, kelebihan cairan, risiko infeksi hepatitis B, C dan HIV, dan rekasi alergi, bahkan syok. Kelebihan zat besi dapat merusak jaringan dalam tubuh, karena ia mengendap di tulang, di hati, jantung, atau pankreas.

 

“Pilihan yang lebih aman adalah pemberian ESA atau dikenal dengan suntik EPO. Ada banyak jenis ESA, dan paling banyak digunakan adalah EPO alfa (Eprex). Tetapi, Saat ini sudah dikembangkan ESA dengan teknologi lebih baru, yaitu dari rekombinan DNA, atau disebut biosimilar. Salah satunya Renogen yang serupa dengan Eprex.

 

“Hasil penelitian menunjukkan pemberian Renogen pada pasien di Indonesia menunjukkan efektif meningkatkan Hb dan aman. Setelah pemberian, kebutuhan transfusi turun,” papar dr. Afiatin.

 

ESA dosis rendah diberikan melalui suntikan subkutan atau di bawah kulit, tetapi untuk dosis yang lebih besar diberikan melalui vena, biasanya saat proses hemodialisis.  ESA wajib diberikan jika Hb < 10 g/dl dan tidak ditemukan penyebab lain anemia seperti defisiensi besi absolut atau infeksi berat. ESA atau EPO ini sebaiknya diberikan 3 kali seminggu, minimal 2 kali seminggu saat pasien menjalani HD.

 

Baca juga: Penyebab dan Cara Mengatasi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik