Seorang ibu terburu-buru masuk ke ruangan IGD. Dengan wajah panik, ia mengatakan bahwa anaknya baru saja mengalami sesak napas. Raut muka ibu ini sangat menunjukkan kekhawatiran, sehingga kita percaya kalau terjadi sesuatu yang tidak umum dengan anaknya.

 

Tentu saja saat itu saya langsung memasang saturasi, menilai tanda vital bayi, dan memberikan persediaan oksigen. Selagi mempersiapkan semuanya, saya melihat derajat kesesakan bayi tersebut, untuk menilai emergensinya. Napasnya memang terlihat lebih berat dari umumnya, tetapi tidak ada tarikan napas yang dalam pada dinding dada, leher, dan hidung.

 

Saya menilai saat ini anak sang Ibu tidak dalam keadaan ancaman henti napas. Pemeriksaan saturasi atau kadar oksigen di dalam tubuh pun cukup baik, menunjukkan angka lebih dari 90%. Setelah pemeriksaan lebih lanjut dengan stetoskop, saya mendapati banyaknya dahak di dalam saluran pernapasan atasnya. Dan, memang anak-anak memiliki refleks batuk yang kurang sempurna. Hal ini mungkin menyebabkan beratnya usaha napas sang Bayi. Saya pun menyarankan untuk memberikan nebulisasi (uap) kepadanya, agar melegakan usaha napasnya.

 

Baca juga: Konsumsi Asam Folat saat Hamil Harus Sesuai Rekomendasi Dokter!

 

“Ibu, saya akan memberikan nebulisasi kepada adik ya, supaya napasnya lebih enak, enggak berat.” Saya menjelaskan keadaan buah hatinya saat itu.

 

“Maaf Dok, maaf banget, tetapi apakah boleh kalau dokter menghubungi dokter spesialis anak saja untuk terapi yang diberikan?” potong ibu itu dengan wajah yang masih cemas.

 

“Kenapa ya bu?”

 

“Maaf Dok, bukannya tidak percaya dengan dokter, tetapi saya akan lebih nyaman jika semua obat-obatan yang diberikan berasal dari dokter spesialis langganannya si Adik. Kebetulan juga tadi pagi sebenarnya baru kontrol ke beliau.”

 

“Maaf Bu, tetapi saat ini ibu berobat ke IGD dan si Adik adalah pasien saya. Saya memang berencana untuk mengkonsultasikan keadaan si Adik kepada dokter spesialis yang bersangkutan. Namun setelah napas adik lebih baik Bu, untuk menangani keadaan saat ini dahulu.”

 

“Tidak apa Dok kalau saya menunggu. Tunda saja uapnya, yang penting dokter konsultasi dulu.”

 

Akhirnya ibu itu pun menandatangani penolakan uap yang saya tawarkan. Saya melakukan konsultasi dengan dokter spesialis yang bersangkutan, dan ia juga meminta untuk diuap dengan terapi yang sudah saya anjurkan.

 

Baca juga: Hasil Survei BPJS, Peserta Keluhkan Layanan Dokter

 

Artikel ini saya buat untuk menggambarkan berbagai keadaan di rumah sakit. Sebagai dokter yang bekerja di ruang emergensi, saya mengerti berbagai keadaan ibu yang panik karena anaknya muntah-muntah, demam, diare, kejang, dan sebagainya. Menenangkan orang tua merupakan tantangan tersendiri bagi para petugas medis yang bekerja di lapangan. Tidak boleh menganggap gampang suatu gejala anak dan memberikan reassurance yang cukup kepada orang tua.

 

Namun, saya juga ingin memberikan pandangan dari sisi petugas medis yang bekerja di lapangan pada saat itu. Emergensi merupakan sesuatu yang sudah kami pelajari dan latih untuk menilai kondisi pada anak-anak.

 

Memang tidak semua orang tua lebih percaya kepada dokter anak, tetapi tidak jarang saya menemukan orang tua yang hanya mau ditangani oleh dokter tertentu saja. Tidak menyalahkan, memang hubungan yang baik itu adalah hasil hubungan yang telah dibangun selama bertahun-tahun kontrol dan tatap muka.

 

Namun pada keadaan emergensi, para dokter umum tahu apa yang harus dilakukan. Jika sudah melebihi kompetensinya sebagai dokter umum, kami akan melakukan konsultasi kepada dokter yang memiliki kompetensi tersebut. Jadi, seberapa percayakah Kamu dengan dokter umum?

 

Baca juga: Pekerja Medis Tetap Bertugas di Kala Libur