Punya pacar dokter? Siapa sih yang enggak mau? Dokter sering kali dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sangat wah. Tapi memang sih, mendapatkan gelar seorang dokter itu butuh banyak pengorbanan, sehingga saya sangat senang jika profesi dokter saya benar-benar dihargai.

 

Tidak sedikit pula orang yang menganggap memiliki pacar dokter itu sangat menjanjikan. Apalagi jika sudah menyangkut orang tua, mereka akan sangat senang jika anaknya memiliki calon pasangan dokter.

 

Saya teringat seorang teman baik saya yang berasal dari keluarga dokter, memberi tahu kepada saya bahwa ia tidak ingin memiliki pasangan seorang dokter juga, kalau bisa. Pada saat itu saya heran mendengarnya, bukan kah memiliki pasangan dokter adalah sesuatu yang membanggakan? Mungkin karena latar belakang teman saya ini dari keluarga dokter, ia mengetahui seluk-beluk kehidupan kedua orangtuanya yang pada awalnya tidaklah mudah.

 

Sebenarnya, menjanjikan enggak sih?

Saya sendiri adalah seorang dokter yang memiliki pasangan dokter juga. Usia kami sama, yang berarti kami berada di tingkatan kedokteran yang sama. Pada awalnya memiliki pasangan dokter di tingkat kuliah kedokteran bukanlah hal yang memberikan dampak besar. Mungkin pada saat itu, saya belum memiliki gambaran seperti apa kehidupan dokter ke depannya. Jadi, saya tidak mempermasalahkan apakah pasangannya saya dokter atau bukan.

 

The good thing is, selama kuliah kami bisa belajar bersama (yep, we took exam every two weeks). Memiliki seseorang dengan latar belakang kedokteran tentu akan lebih mudah untuk mengobrol, jika dibandingkan dengan harus menjelaskan apa itu berbagai macam istilah kedokteran kepada orang non-medis.

Baca juga: Diary Seorang Dokter Umum

 

Pasangan saya sangat mengerti apabila saya memerlukan waktu istirahat setelah jaga malam, sehingga saya bisa menghabiskan hari dengan tidur. Saya pun akan mengerti apabila ia membutuhkan waktu untuk belajar menghadapi ujiannya dan tidak mengabari saya.

 

Namun, perlu diingat bahwa setelah lulus ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Sebagian besar orang ingin menempuh pendidikan spesialis, begitu juga dengan saya dan pasangan. Sebagian besar universitas akan meminta pengalaman kerja selama 1 tahun, dan diutamakan untuk mereka yang bekerja di luar Jawa.

 

Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk melayani di daerah  terpencil di Indonesia. PIlihan yang mungkin dijalani adalah long distance relationship atau ikut melayani dengan pasangan kita di daerah tertentu. Rela kah kita untuk pindah atau ditinggalkan untuk sementara waktu?

 

Belum lagi, menjalani pendidikan spesialis bukanlah hal yang mudah. Sistem pendidikan spesialis di Indonesia masih memiliki aspek ‘senioritas’, sehingga dalam tahun pertama waktu kita akan dihabiskan di rumah sakit. Baru sekitar tahun ke-4 atau ke-5, jadwal kita akan sedikit lebih santai.

Baca juga: Curahan Hati Seorang Dokter di Daerah

 

Suami teman saya sendiri sedang menempuh pendidikan spesialis tahun pertama dan sibuknya bukan main. Komunikasi lewat telepon hanya bisa dilakukan seminggu sekali. Kadang-kadang teman saya juga membantu suaminya untuk mengecek laporan atau tugas yang dikirimkan via WhatsApp. Berarti, kita harus siap untuk memberikan dukungan kepada pasangan saat mereka sedang menempuh pendidikan.

 

Untuk mengenyam pendidikan spesialis, banyak yang berkata bahwa keduanya jarang sekali untuk bisa bersekolah pada waktu yang sama. Itu artinya, salah satu dari kita harus mengalah. Mungkin jika pasangan kita sudah berada di tahun ke-3 atau ke-4 pendidikannya, kita baru bisa mendaftarkan diri untuk mengikuti sekolah spesialis. Nah, selama pendidikan ini biasanya kita tidak memiliki pemasukan apa-apa.

 

Perlu diingat juga bahwa profesi dokter adalah profesi jangka panjang. Semua yang kita tempuh bukanlah hal yang instan. Oleh karena itu, memiliki pasangan seorang dokter adalah perjuangan yang harus dijalani bersama.

Baca juga: Dokter Kok Bisa Sakit?