Di negara maju, menjadi dokter dan tenaga kesehatan lainnya bukan hanya kebanggaan tapi juga profesi yang menjanjikan. Hal ini dimaksudkan karena cukup banyak orang yang menghargai waktu, usaha, dan pengorbanan mereka yang bekerja sebagai petugas kesehatan, baik dokter maupun paramedis. Namun berbeda dengan mereka yang tinggal dan bekerja di Indonesia. Tahukah Anda bahwa masih banyak petugas kesehatan yang mendapatkan bayaran bahkan lebih kecil dari upah minimum yang sudah ditetapkan. Padahal dalam melakukan tugasnya tidak jarang mereka harus bekerja sepanjang malam, mendahulukan kepentingan pasiennya dibandingkan dengan kepentingan mereka. Namun apa yang mereka dapatkan di ini? Masih banyak orang yang mencela bahwa pelayanan kesehatan di negeri ini tidak sebaik pelayanan yang mereka dapatkan di negara seberang. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?

Mengapa saya katakan waktu, usaha, dan pengorbanan?

Waktu yang dimaksud dalam hal ini termasuk dalam waktu yang dibutuhkan bagi seorang tenaga kesehatan untuk menunaikan tugas belajar maupun pelayanannya. Meskipun hal itu artinya mereka harus mengorbankan waktu istirahat mereka di malam hari jika mereka menjalani shift malam. Sementara pada pagi harinya mereka harus menyelesaikan tugas mereka yang lainnya. Idealnya seorang yang telah menjalani tugas jaga malam, tidak diperkenankan untuk bertugas kembali pada pagi harinya karena kurangnya waktu tidur. Bagi mereka yang baru saja menunaikan tugas jaga malam akan meningkatkan risiko terjadinya kesalahan karena kurangnya konsentrasi akibat kurang tidur. Namun di beberapa tempat, dokter tersebut masih harus bertugas di pagi hari setelah melakukan tugas jaga malam. Selain itu, berbeda dengan pekerja lainnya, seorang dokter bisa dibilang hampir bekerja setiap hari. Mungkin poliklinik hanya dibuka pada hari-hari tertentu saja, namun kami juga harus melakukan visite tiap hari sebagai bentuk dari tanggung jawab kami terhadap pasien. Demikian pula dengan para dokter yang bertugas di daerah terpencil, dapat dikatakan bahwa mereka harus siap 24 jam x 7 hari apabila rumahnya diketuk karena ada warga yang perlu diobati. Tidak hanya itu, tapi terkadang diperlukan usaha yang lebih bagi kami untuk mencapai tempat dimana pasien kami berada. Tidak jarang para dokter yang bertugas di daerah terpencil masih harus melalui gunung dan sungai untuk menolong pasien mereka. Tidak jarang pula kami harus memutar otak bagaimana caranya membantu pasien kami karena adanya keterbatasan alat dan obat ditempat kami. Adapun demi menolong pasien kami seringkali harus mengorbankan kesenangan kami dan waktu kami bersama keluarga. Berada jauh dari keluarga, di tempat dimana kami jauh dari makanan favorit kami, dimana kami harus berusaha menimba air terlebih dahulu untuk minum dan mandi, dimana kami harus berjuang melalui ganasnya alam di daerah tempat kami bekerja, dimana kami harus beradaptasi dengan lingkungan tempat kami ditugaskan, dan masih banyak lagi. Banyak dari teman-teman kami terpaksa melewatkan saat-saat anaknya mulai bertumbuh dan acara keluarga lainya, karena harus bertugas atau ada panggilan gawat darurat.

Lalu apa yang kami dapat?

Bukan kami meminta imbalan atas semua waktu, usaha, dan pengorbanan kami, karena menjadi dokter adalah pilihan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa menjadi dokter itu pengabdian, tapi kami juga manusia, kami juga punya keluarga untuk dihidupi. Kami juga punya hak untuk mendapatkan jaminan keselamatan kerja dan kesejahteraan. Masih banyak di antara teman-teman kami di luar pulau Jawa yang belum terjamin keselamatannya. Seperti yang baru-baru kita dengar tentang pelecehan yang dilakukan terhadap salah seorang dokter internship di daerah Timur Indonesia, serta beberapa teman kami yang harus meregang nyawanya karena bertugas di daerah dengan fasilitas yang minim. Tidak hanya itu, masih ada teman kami yang dipukuli karena kasus vaksin palsu, padahal sebagai dokter kami hanya memberikan instruksi, sementara yang menyediakan bukan kami. Apakah itu menjadi tanggung jawab kami juga? Selama ini masyarakat umum beranggapan bahwa menjadi dokter itu enak, pasti banyak uang. Tapi ternyata masih banyak dokter umum yang harus berjuang keras untuk menghidupi keluarganya.Uang duduk 250 ribu / 24 Jam. Jasa per pasien Rp. 15.000 (dihitung setelah pasien ke 15).“ Tawaran di atas malah mungkin lebih tinggi dari rata-rata klinik di Jakarta. Kalau dilihat, uang duduk Rp. 250.000,- cukup besar bukan? Tapi lihatlah waktu kerjanya, 24 jam. Adupun pada beberapa tempat, uang duduk tersebut akan hilang jika jumlah pasiennya lebih dari 15, artinya jika pasien hanya 15, dokter tersebut hanya mendapatkan Rp 225.000,- untuk dibawa pulang, dan masih dipotong uang untuk makan. Berdasarkan hasil survey PayScale seperti data yang dilansir dalam liputan6, didapatkan penghasilan rata-rata dokter di Indonesia masih tergolong rendah yaitu Rp. 58 juta per tahun. Bila dihitung-hitung, gaji dokter per bulan hanya Rp. 4,8 juta. Bahkan beberapa dokter baru hanya digaji Rp. 2 juta hingga Rp. 3 juta rupiah per bulan. Lebih kecil dibandingkan upah minimum regional yang mencapai 2,4 juta perbulannya. Bahkan seorang tukang ojek online saja bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar, padahal tanggung jawab seorang dokter bertanggung jawab atas nyawa manusia, yang mana merupakan tanggung jawab yang jauh lebih besar. Kami tidak meminta penghargaan yang berlebihan, cukup manusiakanlah kami.