Tanggal 24 Oktober merupakan hari dokter nasional, momen ini digunakan untuk merefleksi situasi praktik kedokteran di Indonesia. Tahun ini, beberapa dokter menggunakan momen ini untuk melakukan aksi damai atas keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan program Dokter Layanan Primer (DLP). DLP merupakan kewajiban yang harus ditempuh oleh dokter umum selama dua tahun lagi, setelah selesai masa pendidikan profesi dokternya, agar dinilai ‘cukup ‘ oleh pemerintah untuk memberikan layanan primer. Dengan kata lain,pemerintah belum menilai kompetensi kami cukup.

Program DLP Masih Belum Ada Kejelasan

Spesialis dokter umum, begitulah mudahnya untuk menyebut program DLP ini. Program ini pun masih simpang siur kejelasannya, persyaratannya, dan lama sekolahnya. Kabar terakhir, program ini bukanlah suatu kewajiban bagi semua orang. Singkat cerita, jika kami mau menempuh pendidikan spesialis, kami tidak perlu mengikuti program DLP ini. “Kalau begitu kamu sekolah spesialis saja.” Kata mereka. Tanpa mengetahui susahnya masuk ke pendidikan spesialis walaupun isi otak sudah penuh dengan segala penyakit dan obat-obatannya itu, pintarnya bukan main. Setengah kuota saja kabarnya sudah diberikan ke ‘anak titipan’, sisanya? berlombalah dengan sejuta dokter dari seluruh Indonesia, adu isi otak dan berdoa. Namun apakah yang menjadi tolak ukur seorang dokter umum harus mengambil program DLP ini? Semua masihlah kabar burung belaka. Permasalahannya adalah apakah perjuangan kami selama ini tidak berarti apa-apa? Apakah pengorbanan kami selama 6 tahun terakhir menjadikan kami tidak dianggap kompeten?

Baca Juga : Perjuangan Menjadi Dokter, “Never Ending Study”

Apakah Pengorbanan Seorang Dokter Umum Sia-sia?

Kami seringkali menasihati para pasien untuk tidak terlambat makan, di saat asam lambung di perut sudah meronta dan mengamuk, belum ada asupan gizi untuknya hari ini. Kami seringkali menghabiskan malam kami dengan menjaga tangisan anak yang sakit, menjaga para orang tua yang lemah, dan melayani saudara yang membutuhkan, tanpa menghiraukan kami meninggalkan keluarga kami di rumah. Kami sendiri memeberikan nasihat untuk hidup sehat, di saat kami meracuni tubuh kami dengan asupan kafein berlimpah, makanan fastfood agar waktu kami dapat digunakan untuk melayani. Kami bukannya ingin memperlihatkan perjuangan kami, tapi pada saat ini kami tidak merasa diperjuangkan, bahkan oleh pemerintah kami sendiri. Kompeten atau tidaknya seorang dokter tentu kembali ke pribadi dan kemauan orang masing-masing, tanpa bisa digeneralisasikan.

Sebaiknya Dananya Untuk Hal yang Lebih Berguna

Mungkin lebih baik jika uang negara tersebut digunakan untuk fasilitas kedokteran yang lebih baik. Saya sedang berpraktik di RS pemerintah di daerah Sukabumi. Pemeriksaan laboratorium sangat terbatas dan harus menebang di rumah sakit lain, yang berarti dapat memperpanjang mulainya suatu pengobatan tertentu. Memang hal itu hanyalah pemeriksaan penunjang, bukan hal yang utama dalam mendiagnosis dan merawat suatu pasien. Namun untuk mencapai praktik kedokteran yang lebih baik, hal itu tentunya perlu. Kami tidak akan berargumen, jika memang program pemerintah baik adanya. Kami jugasebagai dokter umum mau belajar, toh dengan belajar kami akan lebih mengerti, mengumpulkan puing-puing pengalaman kami. Namun kali ini, mohon ditinjau kembali.