Beberapa hari belakangan, masyarakat dihebohkan dengan isu keamanan salah satu merek obat yang jadi andalan untuk mengobati sariawan, yaitu Albothyl. Albothyl sendiri adalah suatu merek dagang, yang berisi policresulen.

 

Albothyl adalah obat bebas terbatas dalam bentuk cairan obat luar, yang mengandung policresulen konsentrat. Penggunaan sesuai indikasi adalah untuk hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi, dan vaginal (ginekologi).

 

Albothyl sudah beredar cukup lama di Indonesia dan digunakan untuk indikasi-indikasi tersebut. Karena statusnya sebagai obat bebas yang dapat dibeli tanpa resep dokter, masyarakat pun heboh dan bertanya-tanya ketika mendengar berita obat ini dilarang beredar. Sebagian malah melebih-lebihkan informasi, sehingga membuat suasana semakin panas. Alhasil, masyarakat bertambah resah.

 

Sebagai seorang apoteker, saya memperhatikan ada beberapa opini masyarakat yang timbul akibat naiknya isu ini. Namun dari beberapa pendapat tersebut, saya menangkap beberapa salah kaprah, alias pemahaman yang salah dalam masyarakat mengenai isu penarikan obat ini. Inilah beberapa salah kaprah yang beredar:

 

“BPOM ke mana saja?”

Berita mengenai obat Albothyl menjadi viral bersamaan dengan beredarnya sebuah surat kajian keamanan dari BPOM. Yang perlu dipahami di sini, sebenarnya BPOM justru melakukan tugasnya dengan baik, yaitu melakukan kajian keamanan terhadap obat yang telah beredar.

 

Suatu molekul obat yang hendak dipasarkan harus memiliki izin edar terlebih dahulu. Jika tidak ada izin edar, maka dapat dipastikan bahwa obat tersebut ilegal. Untuk mendapatkan izin edar itu sendiri, suatu obat harus melalui tahapan uji pre-klinis dan uji klinis, untuk memastikan keamanan dan manfaatnya.

Baca juga: 4 Berita Hoax Seputar Makanan yang Telah Diklarifikasi BPOM

 

Namun, pengawasan tidak berhenti sampai obat tersebut mendapatkan izin edarnya. Saat sudah beredar, obat juga wajib dipantau keamanan dan manfaatnya. Mengapa? Karena uji klinis yang dilakukan pada saat obat belum beredar hanya dilakukan pada sebagian populasi, atau lazim disebut dengan sampel. Dilakukannya juga dalam rentang waktu tertentu saja.

 

Oleh karena itu, setelah beredar dan digunakan oleh banyak orang serta dalam jangka waktu yang lebih lama, akan ada kemungkinan timbul efek yang tidak diharapkan. Sebab, bisa saja efek tersebut tidak terdeteksi di uji klinis sebelum pemasaran.

 

BPOM dengan rutin telah melakukan pengawasan terhadap keamanan obat yang beredar di Indonesia melalui sistem farmakovigilans. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap obat yang beredar tetap memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu.

 

Itulah sebabnya ada kajian dari BPOM mengenai policresulen. Benar bahwa obat tersebut manjur pada banyak orang. Namun dalam 2 tahun terakhir, BPOM menerima 38 laporan dari tenaga kesehatan profesional tentang pasien dengan keluhan efek samping dari obat tersebut, untuk pengobatan sariawan. Efek samping serius yang dilaporkan adalah sariawan membesar dan berlubang, hingga menyebabkan infeksi (noma like lession).

 

“Berarti puluhan tahun obat ini enggak aman, dong?”

Sejarah dunia kesehatan mencatat lebih dari 400 jenis obat yang ditarik setelah diedarkan. Rentang waktunya ada yang mencapai puluhan tahun. Beberapa contoh obat tersebut antara lain cerivastatin, sebuah obat kolesterol yang setelah tiga tahun dipasarkan diketahui menimbulkan efek rhabdomyolisis pada penggunanya.

 

Contoh lain adalah propoxyphene, yaitu analgesik alias obat penahan rasa sakit yang bahkan sudah beredar di pasaran selama 55 tahun. Pada tahun 2010, obat ini dilarang beredar karena bersifat toksik untuk jantung.

 

Dalam kasus obat sariawan Albothyl, BPOM bersama para ahli farmakologi dari berbagai universitas serta klinisi dari asosiasi profesi terkait, telah melakukan kajian mengenai aspek keamanan obat yang mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat.

Baca juga: Selain Albothyl, Obat-obatan Ini Juga Pernah Dilarang Beredar oleh BPOM

 

Pada akhirnya, kajian menyatakan bahwa policresulen dalam bentuk sediaan obat luar konsentrat tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta digunakan pada kulit (dermatologi), telinga, hidung, dan tenggorokan (THT); sariawan (stomatitis aftosa); dan gigi (odontologi). Kalau jeli, kita pasti bisa membedakan bahwa untuk penggunaan vaginal masih diperbolehkan.

 

"Obatnya tidak boleh beredar lagi, ya?"

BPOM telah membekukan izin edar seluruh produk policresulen dalam bentuk cairan obat luar konsentrat. Dibekukan lho, bukan dibatalkan. Dibekukan hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui. Jadi obatnya ditarik satu bulan sejak Pembekuan Izin Edar dikeluarkan, tetapi dapat kembali beredar dengan indikasi yang disetujui. Dalam hal ini, untuk sariawan tidak disarankan, tetapi untuk indikasi lain dapat dipertimbangkan.

 

"Wah, tidak ada obat untuk menyembuhkan sariawan!"

Dengan ditariknya Albothyl, masyarakat yang kebingungan untuk mengatasi sariawan yang dialami tidak perlu khawatir. BPOM telah menyarankan penggunaan obat pilihan lain untuk mengatasi sariawan, antara lain yang mengandung benzydamine HCl, povidone iodine 1 persen, atau kombinasi dequalinium chloride dan vitamin C. Jadi tidak usah khawatir, policresulen hanya salah satu dari banyak obat, kok.

Baca juga: Sariawan Karena Kurang Vitamin C? Salah!

 

Nah, itulah dia beberapa salah kaprah yang beredar di masyarakat terkait penarikan obat policresulen dengan merek dagang Albothyl. Alih-alih menjadi sebuah ‘kegagalan’ bagi BPOM di negara kita, penarikan tersebut justru menjadi bukti nyata bahwa BPOM melindungi masyarakat Indonesia. Salam sehat! (AS)