khir-akhir ini, media massa ramai dengan pemberitaan mengenai pembekuan izin edar obat berisi policresulen berkonsentrasi pekat, yang dipasarkan dengan merek dagang Albothyl, oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

 

Karena dibekukan izin edarnya, maka obat tersebut ditarik dan dilarang beredar di pasaran. Dalam siaran persnya, izin edar Albothyl dibekukan karena adanya 38 laporan dalam 2 tahun terakhir yang diterima oleh BPOM. Obat ini menyebabkan efek samping serius pada penggunaan untuk indikasi sariawan, berupa sariawan yang membesar dan berlubang, hingga menyebabkan infeksi.

 

Entah karena pemberitaan yang simpang siur ataupun kurangnya informasi yang disampaikan, banyak masyarakat yang heboh dengan penarikan obat ini. Padahal kenyataannya, Albothyl bukanlah obat pertama yang ditarik atau dibekukan izin edarnya oleh BPOM. Ada beberapa obat lain yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini dibekukan atau ditarik izin edarnya oleh BPOM karena berbagai alasan.

 

1. Obat-obatan mengandung sibutramin

Obat lain yang pernah ditarik dari peredaran oleh BPOM adalah sibutramin. Sibutramin adalah suatu senyawa obat yang digunakan dalam terapi penurunan kelebihan berat badan (overweight dan obesitas), bersamaan dengan diet dan olahraga.

 

Setipe dengan policresulen dalam Albothyl, sibutramin yang sudah beredar bertahun-tahun di pasaran akhirnya ditarik karena adanya laporan efek samping pada penggunanya, yakni kardiotoksik atau toksik bagi jantung.

 

Sibutramin pertama kali beredar di pasaran pada tahun 1997, setelah mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA) untuk indikasi seperti yang disebutkan di atas. Namun sepanjang pemasarannya, dilaporkan beberapa kasus efek samping terhadap sistem kardiovaskular selama penggunaan sibutramin.

Baca juga: Albothyl Dilarang Digunakan, Lalu Bagaimana Cara Mengobati Sariawan?

 

Efek samping kardiovaskular yang muncul antara lain kardiomiopati (kematian otot yang ada di jantung), infark (sumbatan) di otot jantung, atrial fibrillation (gangguan irama jantung), dan penurunan tekanan darah. Untuk menyelidiki hal ini, dilakukanlah suatu studi berjudul SCOUT terhadap 9.000 pasien obesitas dengan risiko penyakit kardiovaskular.

 

Temuan dari studi ini menunjukkan adanya peningkatan risiko kejadian kadiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, selama mengonsumsi sibutramin. Oleh karena itu, pada tahun 2010 BPOM melakukan pembatalan izin edar dan penarikan produk obat yang mengandung sibutramin.

 

2. Obat-obatan mengandung carisoprodol

Carisoprodol mulai naik daun di tahun 2017 silam, karena insiden penyalahgunaan tablet PCC di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ini menyebabkan sejumlah remaja mengalami halusinasi, bahkan mengalami kematian. Carisoprodol adalah salah satu komponen dalam tablet PCC. Komponen lainnya adalah parasetamol dan kafein.

 

Carisoprodol awalnya diizinkan beredar untuk indikasi muscle relaxant, alias pelemas otot pada keadaan nyeri sendi. Dosis carisoprodol yang dianjurkan untuk indikasi pelemas otot adalah 250-350 mg per pemberian, dengan frekuensi maksimal tiga kali sehari.

Baca juga: PCC dan Dumolid, Mengapa Disalahgunakan?

 

Efek dari carisoprodol yang dapat menimbulkan halusinasi, membuatnya banyak dilirik sebagai target penyalahgunaan obat. Karena tingkat penyalahgunaannya yang tinggi, pada tahun 2013 BPOM Republik Indonesia membatalkan izin edar semua obat yang mengandung carisprodol di Indonesia. Kurang lebih ada sepuluh merek dagang obat mengandung carisoprodol yang dibatalkan izin edarnya oleh BPOM pada masa tersebut.

 

Dan ternyata, pembatalan izin edar obat mengandung carisoprodol tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Pada tahun 2007, European Medicines Agency atau EMEA juga mengeluarkan pembatalan izin edar dan pelarangan peredaran obat mengandung carisoprodol di negara-negara Eropa. Alasannya sama, yakni tingginya angka penyalahgunaan, serta efek samping serius yang ditimbulkan dari penggunaan carisoprodol, antara lain gangguan psikomotoris.

 

3. Obat-obatan mengandung dextromethorphan sediaan tunggal

Masih di tahun 2013, BPOM juga mengeluarkan surat pembatalan izin edar terhadap obat lain, yakni dextromethorphan sediaan tunggal. Dextrometorphan adalah suatu molekul obat yang bersifat antitusif atau meredakan batuk. Dextrometorphan sendiri sudah sejak lama digunakan, yaitu sejak sekitar 1960-an.

 

Alasan pembatalan izin edar dari semua obat dextromethorphan sediaan tunggal adalah rentannya angka penyalahgunaan obat ini. Jika diminum pada dosis 5-10 kali dosis normal, dapat muncul efek sedatif-disosiatif, dengan manifestasi berupa halusinasi, perasaan linglung, dreamy state, hingga psikosis atau keinginan untuk melukai diri.

 

Adapun yang dibatalkan izin edarnya oleh BPOM hanyalah dextromethorphan sediaan tunggal, yakni semua obat, baik dalam bentuk sirup maupun tablet, yang hanya mengandung dextromethorphan saja di dalamnya. Sedangkan obat yang mengandung dextromethorphan dengan kombinasi zat aktif lainnya, tetap diizinkan beredar di Indonesia. Hal ini karena sediaan tunggal lebih mudah untuk disalahgunakan.

Baca juga: Tora Sudiro Terpaksa Mengonsumsi Dumolid Akibat Sindrom Tourette

 

Gengs, itulah dia tiga obat yang pernah dibekukan atau ditarik izin edarnya oleh BPOM Republik Indonesia. Ada yang ditarik karena rentan penyalahgunaan, ada pula yang seperti halnya Albothyl, ditarik karena efek samping yang dilaporkan selama obat tersebut dipakai.

 

Di sini, dapat kita lihat bahwa pengawasan post marketing merupakan hal yang wajib dilakukan dalam pemantauan keamanan dan khasiat obat. Bukan mustahil suatu obat yang sudah lama beredar dapat ditarik izin edarnya, karena satu dan lain hal terkait keamanan dan khasiatnya, yang terpantau lewat pengawasan post marketing ini. Salam sehat! (AS)