Membeli obat sudah menjadi kebiasaan orang-orang, khususnya orang tua dan ibu-ibu. Membeli obat yang bersifat over the counter memang bukan masalah. Namun, ada beberapa orang yang tidak mengerti dan tetap membeli obat yang memerlukan resep dokter secara bebas.

 

Memang sekarang ini, sistem penjualan obat-obatan di apotek-apotek besar sudah lebih teratur dan ketat. Beberapa jenis obat, bahkan bukan antibiotik, diawasi penggunaannya dan membutuhkan resep dokter. Namun, masih banyak apotek yang menjual obat-obatan tersebut dengan mudah.

 

Saya pernah merasakan bekerja di dua jenis rumah sakit yang cukup berbeda. Pada saat saya bekerja di rumah sakit institusi pemerintah di sebuah kota di pulau Jawa, pembelian obat-obatan secara luas masih banyak terjadi. Obat-obatan yang dibeli antara lain antibiotik dan berbagai obat lain yang membutuhkan resep.

Baca juga: Obat Kontrasepsi Oral Bikin Gendut? Cek Fakta-faktanya di Sini!

 

Bahkan, penggunaan antibiotik hanya dilakukan 1-2 kali saja. Saat gejala hilang, tidak ada inisiatif dari mereka untuk meneruskan pengonsumsian antibiotik sampai habis. Mereka sering kali melakukan ini karena tidak adanya pengetahuan maupun edukasi dari penjual obat.

 

Lain halnya saat saya bekerja di suatu rumah sakit swasta di Jakarta. Pasien saat ini lebih kritis dan hati-hati untuk menggunakan berbagai macam obat, khususnya obat untuk anak-anak mereka. Mereka kerap kali menanyakan secara detail tentang obat, terutama antibiotik, tentang dosis dan berapa lama obat ini dikonsumsi. Mereka lebih mengerti dan teredukasi tentang bahaya penggunaan beberapa jenis obat secara bebas.

 

Saya mengerti bahwa kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pendidikan, sosial, dan ekonomi. Penggunaan obat-obatan secara bebas tentu dapat menghemat biaya yang mereka keluarkan untuk berkonsultasi ke dokter.

Baca juga: Selain Albothyl, Obat-obatan Ini Juga Pernah Dilarang Beredar oleh BPOM

 

Selain itu, pengaruh sosial, yaitu adanya dorongan dari anggota keluarga, tetangga, dan orang lain yang sudah menggunakan obat-obatan tertentu, menjadi faktor yang kuat untuk membeli obat sendiri. Seberapa sering sih kita membeli obat dengan alasan, “Kata dia obatnya bagus!” Dan yang paling penting, edukasi tentang adanya bahaya konsumsi obat secara bebas belum merata di berbagai lapisan masyarakat.

 

Saya sendiri tidak menyetujui adanya sistem pembelian obat secara bebas (selain obat over the counter yang memang boleh dijual bebas). Berbagai obat memiliki cara penggunaan yang berbeda dan efek samping. Obat A perlu dikonsumsi setelah makan, obat B perlu dikonsumsi 15 menit sebelum makan, obat C memiliki obat samping berupa mual, dan obat D dapat menyebabkan urine menjadi merah.

 

Bahkan, beberapa obat dapat memberikan beberapa interaksi jika digunakan bersama obat lain. Misalnya setelah mengonsumsi 2 obat secara bebas tanpa mengetahui hubungan keduanya, dapat terjadi efek samping. Alhasil, muncul masalah baru dan harus ke dokter juga, bukan?

 

Apalagi jika membeli obat untuk anak-anak, seperti yang saya sudah pernah bahas di artikel sebelumnya, pemberian obat kepada anak-anak berdasarkan umur tidaklah tepat, lebih baik menggunakan berat badan. Hal ini dikarenakan status gizi di Indonesia belum merata.

Baca juga: Ayo, Cermati Iklan Obat Tradisional!

 

Dengan berbagai kemudahan teknologi di Indonesia, khususnya di berbagai kota besar, membeli obat merupakan hal yang mudah untuk dicapai. Berbagai jenis aplikasi menawarkan berbagai kemudahan untuk membeli obat secara online. Kita tinggal menunggu obat tersebut sampai ke rumah.

 

Namun dalam penggunaannya, ada berbagai hal yang perlu diingat, yaitu mengenali obat apa yang dapat dibeli secara bebas dan yang mana yang membutuhkan petunjuk dokter. Pastikan bahwa Geng Sehat tetap mendapatkan edukasi dari apoteker yang bersangkutan, sebelum mengonsumsi obat tersebut. Yuk, saling mengingatkan teman-teman di sekitar Kamu tentang penggunaan obat secara bebas! (AS)

 

Tanda Alergi Obat - GueSehat