Pikiran bunuh diri dan self harm atau menyakiti diri sendiri merupakan komplikasi depresi berat yang perlu diwaspadai. Pada umumnya, penyebab pikiran bunuh diri muncul ketika penderita depresi sudah putus asa dan merasa mati merupakan solusinya.

 

"Ini harus selalu kita deteksi pada pasien. Begitu dia ada ide atau pikiran untuk mati saja, ini sudah kita kategorikan sebagai depresi berat," jelas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani.

 

Sementara itu self harm berbeda dengan pikiran bunuh diri pada penderita depresi. Pada orang yang memiliki gangguan psikologis, self harm dilakukan bukan untuk tujuan mati, melainkan sebagai dorongan impulsif akibat rasa hampa yang dialami.

 

"Karena kok kayaknya enggak enak ya rasanya kesepian dan kosong. Mereka menyilet itu hanya untuk mengecek, 'oh ternyata ada rasa ya, ternyata sakit ya'." jelas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani. Self harm juga kerap kali terjadi pada gangguan psikologis lainnya, seperti personality disorder atau gangguan kepribadian.

 

Self harm dan pikiran bunuh diri sangatlah berbahaya. Penyebab pikiran bunuh diri khususnya dianggap sebaga komplikasi dari depresi. Jadi, kalau ada orang di sekitar kita yang mengatakan akan bunuh diri tidak boleh diremehkan.

 

"Kalau ada pikiran bunuh diri, jangan pernah diabaikan. Kita tidak akan pernah tahu kapan dia akan mengambil action-nya. Harus dianggap serius," tegas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani. 

 

Menurutnya, banyak juga penderita depresi yang ingin melakukan bunuh diri dan sudah memperlihatkan tanda-tanda sebelumnya. Mereka sudah mengungkapkan niatnya tersebut, namun orang lain tidak memedulikannya, sehingga akhirnya mereka melakukannya.

 

Baca juga: 8 Gejala Depresi yang Tidak Disangka-sangka

 

Pengobatan Tuntas Sangat Penting untuk Penyembuhan Depresi

Penderita depresi membutuhkan pengobatan. Ragam pengobatannya pun beragam, mulai dari obat oral, psikoterapi, dan lainnya. Jenis pengobatan yang diberikan disesuaikan dengan kondisi pasien.

 

"Enggak semua membutuhkan obat oral. Kalau berat dan gejalanya butuh obat, ya kita kasih obat. Tapi kalau enggak, ya konsultasi atau counseling aja," jelas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani. Selain itu, penderita depresi juga perlu diberi pengobatan untuk memperbaiki konsep pikir dan memecahkan masalah.

 

Untuk obat oral, jika diberikan harus dihabiskan dan tidak boleh dihentikan tanpa izin dokter. Pasalnya, hal tersebut bisa malah memperparah kondisinya. "Dokter akan menentukan kapan obat ini dilanjutkan dan kapan dihentikan. Yang jelas jangan menghentikan sendiri karena ada risiko kekambuhan," jelas dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani.

 

Psikoterapi juga menjadi pilihan pengobatan. Psikoterapi bermacam-macam jenisnya. Dokter akan menyesuaikan jika pasien membutuhkan psikoterapi jangka panjang atau hanya jangka pendek.

 

Baca juga: Jangan Salah, Ini Perbedaan Depresi dan Bipolar

 

Pentingnya Peran Orang Tua dan Keluarga Dalam Pencegahan dan Penanganan Depresi

Dalam pencegahan dan penanganan depresi, perang orang tua dan keluarga sangat penting. Melihat kasus depresi umumnya menyerang saat usia remaja, sudah seharusnya orang tua peduli akan kesehatan mental anak. "Kesehatan jiwa pada anak sama penting dengan kesehatan fisiknya," ujar dr. Lahargo Kembaren.

 

Namun sayangnya, karena kesadaran yang rendah, kebanyakan orang tua cenderung tidak mementingkan kesehatan mental anaknya. Hal ini juga yang menyebabkan depresi semakin parah.

 

Contohnya saja adalah cerita dari ketiga penderita depresi yang beberapa waktu lalu diwawancara oleh GueSehat. Anto (34 tahun), hingga saat ini orang tua ataupun keluarganya tidak tahu tentang depresi yang dideritanya. Sejak dahulu, ia memang tidak dekat dengan orang tuanya. Ia semakin enggan bercerita dengan orang tuanya karena kesadaran yang rendah.

 

"Kebanyakan orang Indonesia menganggap penyakit mental itu karena kurang ibadah, kurang bersyukur, atau apalah. Orang tua saya juga begitu. Inilah mengapa saya enggak mau cerita ke mereka, karena saya sudah tahu jawabannya," jelas Anto.

 

Begitu pula dengan Yana (32 tahun) yang menerima komentar negatif ketika mencoba mengatakan apa yang ia alami. "Orang tua dan keluargaku termasuk yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Jadi, ketika aku menyatakan apa yang aku rasakan, mereka bilang aku kemasukan jin, kurang iman, dan lainnya," ungkap Yana. Akibatnya, Yana memendam apa yang ia rasakan, sehingga penyakitnya bertambah parah.

 

Titi (19 tahun) juga mengalami hal yang sama dengan Yana dan Anto. Semenjak lulus SMA, remaja ini enggan cerita kepada orang tuanya karena sudah dituntut untuk bersikap dewasa. "Mereka pernah bilang, 'Kamu itu sudah kuliah, sudah dewasa, jangan apa-apa cerita ke kita, jangan cuma karena hal sepele Kami harus datang ke kost-anmu'," tutur Titi. 

 

Apa yang dialami oleh Anto, Yana, dan Titi juga dialami kebanyakan penderita depresi di Indonesia. Tidak heran jika depresi menjadi sulit dicegah dan semakin bertambah parah seiring dengan bertambahnya usia penderita. Oleh sebab itu, keluarga dan orang tua seharusnya juga mementingkan kesehatan mental anaknya.

 

"Marilah orang tua jangan menganggap bahwa depresi pada anak hanya dibuat-buat atau usaha anak remaja untuk mencari perhatian, tetapi melihatnya sebagai hal yang serius dan segera memberikan pertolongan," ujar dr. Lahargo Kembaren.

 

Pada intinya, masalah depresi dan gangguan psikologis di Indonesia masih belum ditangani secara maksimal. Banyak permasalahan yang mengganggu proses penanggulangan depresi, mulai dari stigma negatif di masyarakat, hingga upaya pemerintah yang masih kurang dalam mengatasi gangguan mental ini.

 

Padahal, depresi bisa diobati. Oleh sebabnya, masyarakat Indonesia dan pemerintah harus bisa bekerja sama untuk mengatasi depresi dan gangguan psikologis yang semakin meningkat. Mulailah dengan hal yang mudah, yaitu dengan sadar akan pentingnya kesehatan mental.

 

Baca juga: Generasi Milenial Rentan Depresi, Begini Cara Atasinya!