Isu keamanan pangan khususnya pada kemasan, akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan. Terlebih, setelah adanya kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan kematian ratusan anak Indonesia. Kasus gagal ginjal akut diduga disebabkan oleh cemaran zat kimia berbahaya dalam obat sirup. Masyarakat kemudian menyoroti peran BPOM sebagai otoritas tertinggi pengawasan obat dan makanan yang dinilai luput mengenai kasus ini.

 

BPOM malah dinilai lebih fokus mengurusi kebijakan pelabelan “Berpotensi mengandung BPA” pada galon guna ulang (GGU) berbahan polikarbonat (PC). Menurut BPOM, zat BPA (Bisphenol A) pada kemasan dapat bermigrasi dan membahayakan. Benarkah demikian?

 

Baca juga: Pakar: Cemaran BPA di Kemasan Kaleng Jauh Lebih Tinggi, Galon Guna Ulang Aman!

 

BPA pada Kemasan Makanan Kaleng 

Ternyata tidak benar. Faktanya BPA pada kemasan kaleng malah lebih harus diperhatikan. BPA sendiri adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai bahan penguat polikarbonat sehingga tahan lama dan membuat botol plastik atau bahan plastik kemasan terlihat lebih jernih. Adapun penggunaan BPA pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) maupun Galon Guna Ulang (GGU) bahan PC sudah diatur sehingga penggunaannya jelas tidak akan membahayakan.


Dosen sekaligus pakar polimer dari ITB, Prof. Ir Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D. mengatakan, memang BPA pada galon PC itu ada. Namun hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah karena kandungan dari BPA pada GGU masih sangat jauh di bawah ambang batas aman. Sedangkan BPA pada makanan kaleng lebih berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan di kemudian hari.

 

Hal ini dikarenakan makanan kaleng memiliki kelemahan yakni mudah berkorosi atau berkarat dan dapat membuat makanan tercemar bahkan  bisa menyebabkan keracunan. Kemasan kaleng  juga diberi pelapis atau epoksi agar makanan tidak langsung mengalami kontak dengan kaleng, dan epoksi inilah yang mengandung BPA.


“Makanan dalam kemasan kaleng itu punya kelebihan antara lain tahan banting karena packagingnya lebih kuat, dan masa simpannya lebih tahan lama. Cuma ada kelemahannya yaitu potensi korosi atau bisa berkarat kalau kontak dengan minuman, cairan, atau makanan. Nah untuk mencegah itu maka dilberi pelapisan,” ujar Akhmad Zainal Abidin.

 

Baca juga: Belum ada Bukti Air Minum Galon Guna Ulang Sebabkan Kanker dan Gangguan Hormon


Kasus makanan kaleng pun lebih berpotensi memberikan cemaran BPA karena pada kemasan kaleng lebih rentan pula mengalami kerusakan pada kemasannya. Meski tahan banting dan sulit untuk pecah, namun, kareakteristik kaleng sendiri lebih mudah penyok dan penyokan itu lah yang menyebabkan adanya patahan di dalam yang berpotensi menyebakan korosi karena berkurangnya lapisan eksposi kalengnya tersebut. Maka itu akan lebih berbahaya.

 

Ini seharusnya lebih menjadi perhatian BPOM. Apalagi, di tengah krisis kepercayaan akibat pengawasan obat sirup yang diduga menyebabkan kematian ratusan anak Indonesia seharusnya BPOM dapat lebih fokus dalam menyusun prioritasnya.


Sejatinya, isu migrasi kemasan pangan itu menjadi isu umum yang akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Karena migrasi zat kimia dari bahan kemasan itu pasti terjadi. Namun yang membedakan adalah dari faktor besar dan banyaknya kandungan, faktor zat kimia, dan bahan yang dijadikan kemasan hingga cara penyimpanan.

 

Isu ini tidak akan berhenti bergulir karena bagaimanappun penggunaan kemasan pada pangan olahan sudah melekat pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, msayarakat sebaiknya dibekali dengan literasi mengenai keamanan kemasan pangan dengan benar. Kewaspadaan pada zat kimia pada kemasan pangan harus ditingkatkan di tingkat keluarga sehingga apapun masalah dan isu yang berkembang, keluarga dapat bijak dalam memilih produk pangan dengan kemasan pangannya.

 

Baca juga: Sayangi Bumi, Bijak Menggunakan Plastik!