Isu yang menyatakan bahwa air dari kemasan plastik isi ulang (galon) berbahaya karena terpapar bisphenol A (BPA), sebenarnya menyesatkan. Hal itu dikatakan Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB).

 

“Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan. Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng, dan hanya sedikit dari kemasan air minum,” jelas Prof. Sulaeman pada diskusi bersama media, Kamis, 17 November 2022.

 

Seperti kita tahu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah mengkaji pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon. Hal ini akhirnya menuai kontroversi di kalangan akademisi.

 

“Bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” jelas Prof. Sulaeman. Tak hanya tidak berdasarkan bukti ilmiah, pelabelan ini juga mengenyampingkan kepentingan publik lainnya yakni, kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat.

 

Baca juga: Air Minum Selama Kehamilan Fungsinya Tidak Hanya Menghilangkan Haus, Lho
 

Masyarakat Andalkan Air Minum Galon sebagai Air Minum

Menurut data UNICEF, hampir 70% sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses. Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.

 

Karena itu, kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari Air Minum dalam Kemasan (AMDK), yang mencapau 29 miliar liter per tahun.

 

“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya. Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” ujar Prof. Sulaeman.

 

Baca juga: Kenali Ciri-ciri Air Minum Bersih, Supaya Terhindar dari Penyakit!

 

Dengan isu BPA ini, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi ada risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA.

 

Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, pada kesempatan yang sama mengkritik narasi yang dibangun tersebut. Ia menyampaikan kebijakan ini cenderung diskriminatif.

 

Menurut Akhmad Zainal, kalau mau menyatakan BPA berbahaya, maka harus mempertimbangkan tiga faktor lainnya yaitu konsentrasinya, populasinya, dan lama kontak. “Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.” ujar Zainal.

 

Ia menambahkan juga bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah. “Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” terang Ir. Akhmad Zainal.

 

Ia melanjutkan, kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat diketahui sudah digunakan lebih dari 38 tahun di Indonesia. Sampai hari ini, para ahli seperti Prof. Sulaeman maupun Ir. Akhmad Zainal sepakat, belum pernah mendengar ada orang yang meninggal atau sakit akibat keracunan air minum dari galon polikarbonat.

 

“Polikarbonat itu adalah plastik yang aman, dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan,” terang Ir. Akhmad Zainal.

 

So, Geng Sehat, lebih cerdas sebagai konsumen ya! Jangan mudah termakan isu yang tidak benar.

 

Baca juga: Belum ada Bukti Air Minum Galon Guna Ulang Sebabkan Kanker dan Gangguan Hormon