Tanggal 22 April kita memperingati Hari Bumi. Beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai disodori fakta bahwa bumi semakin tidak sehat untuk ditinggali. Laut, yang merupakan sumber kehidupan dan pusat ekosistem di planet ini, tercemar limbah plastik berjuta-juta ton setiap tahunnya.

 

Foto penyu berdarah karena tertusuk sedotan plastik, ikan hiu mati dengan ratusan kilogram pastik di perutnya, menjadi viral dan menyadarkan sebagian orang betapa “jahatnya” plastik.

 

Kepala Balai Teknologi Polimer BPPT, Ir. F. M. Erny S. Soekotjo M.Sc saat ditemui di kantornya di kawasan Puspitek, Serpong, Tangerang, mengakui bahwa dalam 5 tahun terakhir, plastik sangat dimusuhi.

 

“Ini akibat edukasi tentang plastik yang masih sangat kurang. Konotasi tentang plastik di masyarakat saat ini adalah sebatas tas plastik atau kantong plastik pembungkus makanan. Padahal, setiap hari kita sangat bergantung pada plastik. Bangun tidur kita sikat gigi menggunakan sikat gigi terbuat dari plastik,” jelas Erny memberikan contoh.

 

Bisa dikatakan, produk plastik dapat ditemukan from basket to rokcet, dari dapur hingga luar angkasa. Salahkah plastik? Mungkinkan kita menemukan pengganti plastik dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan?

 

Baca juga: Penyakit Ini Timbul Akibat Lingkungan Tidak Sehat

 

Kepala Balai Teknologi Polimer BPPT, Ir. F. M Erny S. Soekotjo M.Sc - Guesehat

 

Kepala Balai Teknologi Polimer BPPT, Ir. F. M Erny S. Soekotjo M.Sc- Guesehat

 

 

Plastik, Dimusuhi Namun Dibutuhkan

 

Dijelaskan Erny, plastik ditemukan dan kemudian berkembang pesat, karena memiliki banyak keunggulan. Ringan, tahan lama, anti korosif, murah, dan praktis. Maka dalam waktu singkat plastik menjadi idola baru dan menggantikan logam dan kayu, untuk berbagai kebutuhan.

 

“Plastik atau polimer adalah material yang baru ditemukan, lebih muda dibandingkan logam. Dan sampai sekarang, secara material, plastik masih bisa berkembang. Masih sangat terbuka untuk mengembangkan produk baru yang cuztomize sesuai kebutuhan,” ujar Erny.

 

Satu-satunya kelemahan plastik adalah tidak mudah diuraikan oleh bakteri atau mikroorganisme sehingga mencemari lingkungan. Dipaparkan Erny, polimer memiliki berat molekul sangat besar karena merupakan gabungan dari monomer-monomer yang lebih kecil dalam proses yang disebut polimerisasi.

 

Semakin banyak monomer yang digabung, maka plastik yang dihasilkan akan semakin kuat dan padat. Sebagai gambaran, agar kuat sebagai wadah, proses polimerisasi harus diulang sampai 10.000 kali. “Inilah yang menjadikan berat molekulnya besar sekali dan sulit dimakan bakteri,” tambah Erny.

 

Di balik sorotan terhadap sampah plastik yang mencemari bumi, sebenarnya industri plastik adalah industri yang paling rendah energi. Pengolahan plastik sangat rendah energi, hanya sekitar 3,1 KWH dibandingkan pengolahan industri logam (13,9 KWH), kaca, gelas, bahkan kertas. Inilah mengapa plastik disukai dan diproduksi besar-besaran oleh industri.

 

“Masalah terkait penggunaan plastik sebenarnya bukan pada material, namun cara memperlakukan plastik hingga ia berakhir di laut,” jelas Erny.

 

Baca juga: Yuk, Jaga Lingkungan dengan Beralih ke Produk Rumah Tangga Ramah Lingkungan 

 

Cara Mengelola Sampah Plastik

Ketua Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Ir. Sri Bebassari, M.Si mengatakan budaya membuang sampah di Indonesia masih memprihatinkan. “Kita baru memiliki undang-undang pengelolaan sampah tahun 2008, bandingkan dengan Jepang yang sudah memilikinya sejak 100 tahun lalu, dan Singapura 40 tahun lalu,” jelas Sri.

 

Bagaimanapun, plastik masih memiliki nilai jual tinggi. Andai saja, limbah plastik dikelola dengan benar, mereka tidak akan sampai ke laut. Hasilnya, produk daur ulang bernilai tinggi, mulai dari ember dan peralatan dapur hingga serat pakaian poliester.

 

Berikut ini tips dari Sri tentang cara mengelola sampah plastik, dimulai dari diri sendiri:

 

1. Mulailah Mempercantik Tempat Sampah.

Jangan hanya ruang tamu dan taman yang dipercantik, tetapi percantik juga tempat sampah di dapur. Cuci setiap hari tempat sampah seperti halnya mencuci perabotan yang lain.

 

2. Belajar Memilah Sampah dengan Benar.

Pemilahan sampah yang benar bukan “organik” dan “non organik” tetapi dibedakan berdasarkan materialnya, yaitu sampah plastik, sampah organik, sampah kertas, sampah kaca dan sampah logam.

 

3. Belajar Mendaur Ulang Sampah

Tidak ada salahnya belajar membuat biopori, yaitu membuat kompos sendiri di halaman rumah yang berasal dari sampah organik. Dengan begitu, hanya sampah plastik dan non organik yang akan sampai di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Jika sampah organik ini berkurang, akan jauh mengurangi beban TPA. Menurut data, sampah di TPA Bantar Gebang ternyata didominasi sampah rumah tangga yang organik, mencapai 48%. Hanya 15% sampah plastik.

 

Baca juga: Berapa Ton Sampah Plastik Dibuang ke Laut, Penyebab Kematian Paus?

 

 Apakah Perlu Pengganti Plastik?

Permasalahan sampah plastik yang kompleks, membuat akhirnya muncul kampanye untuk mulai mengurangi penggunaan plastik. Mungkinkah? 

 

“Apakah kita harus mundur lagi ke belakang dengan kembali menggunakan logam, kayu, atau kertas? Ingat, kertas juga tidak ramah lingkungan karena sama saja menebang banyak pohon. Yang harus kita lakukan adalah bijak menggunakan plastik dengan menerapkan apa yang sudah kita hapalkan bersama, yaitu reduce, reuse dan recycle,” jelas Erny.

 

Keunggulan plastik bagaimanapun sulit tergantikan, setidaknya sampai ada material yang bisa menggantikannya. Memang ada beberapa peneliti muda tanah air yang mencoba menemukan alternatif pengganti plastik. Sayangnya, menurut Erny, produk-produk alternatif pengganti plastik belum diserap industri dalam skala besar. “Sebagian bahkan menimbulkan isu baru yaitu mikroplastik, yaitu komponen plastik yang mudah terurai dan mencemari tanah,” jelasnya.

 

Baca juga: Selain Ramah Lingkungan, Sedotan Stainless Steel Juga Punya Banyak Manfaat!

 

Kevin Kumala, pendiri Avani Eco, salah satu produsen plastik biodegradable, sependapat. Menurutnya, produk pengganti plastik tidak akan menyelesaikan masalah. Selain pasar terbatas, harga plastik biodegradable ini jauh lebih mahal dari plastik pada umumnya.

 

“Makanya diperlukan kolaborasi massal untuk menyelesaikan masalah plastik ini. Kami hanya berusaha mencari solusi yaitu menambahkan slogan reduce, reuse, dan recycle dengan replace. Replace akan menjadi amunisi baru untuk dapat menyelesaikan limbah plastik,” jelas Kevin.

 

Menurut Kevin, sekecil apapun upaya yang dilakukan, bisa memberikan kontribusi dan diharapkan akan menjadi suatu gerakan besar. “Small action does create big impact. Kita bisa meminimalisir limbah plastik mulai dengan refuse. Contoh, jika kita pergi ke kafe, kita bisa memulai gerakan diet plastik dengan mengatakan no untuk sedotan plastik. Jika ini terus diterapkan, saya yakin akan memiliki dampak besar. Dari situ kita berharap dapat mengurangi penggunaan plastik sehari-hari dan membantu negara menjadi lebih bersih dan hijau.” (AY)

 

Baca juga: Penggunaan Plastik Terus Meningkat, Ini Cara Meminimalkannya!