Data menunjukkan, selama pandemi COVID-19 di tahun 2020, jumlah kunjungan pasien glaukoma di JEC Eye Hospitals and Clinics, menurun hingga 20%. Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan. Glaukoma adalah salah satu kondisi pada mata yang harus dipantau secara berkala untuk mencegah kebutaan permanen.

 

Glaukoma menjadi penyebab utama kebutaan di seluruh dunia; tertinggi kedua setelah katarak. Glaukoma bersifat kronis dan memberi dampak sangat besar terhadap kualitas hidup penyandangnya. Tak hanya itu, secara psikologis, penyakit mata ini bisa menimbulkan perasaan cemas sampai depresi karena adanya risiko kebutaan. Apalagi pada pasien yang aktivitas sehari-harinya terganggu akibat mengalami keterbatasan lapang pandang.

 

Bagaimana agar pasien glaukoma bisa terkendali penyakitnya dan kebutaan bisa dicegah?

 

Baca juga: 6 Gangguan Mata yang Umum Dialami Orang Lanjut Usia

 

 

Deteksi Dini Glaukoma dan Pemeriksaan Berkala

Glaukoma merupakan penyakit mata yang disebabkan tekanan cairan dalam bola mata menjadi terlalu tinggi, sehingga dapat merusak serabut saraf mata pembawa sinyal penglihatan dari mata ke otak. Situasi glaukoma di Indonesia masih memprihatinkan lantaran penderita seringkali baru mencari pengobatan ketika sudah pada stadium lanjut.

 

Padahal penatalaksanaan glaukoma sedini mungkin melalui pemeriksaan berkelanjutan dan pengawasan dokter ahli secara konstan sangatlah penting. Tak terkecuali, saat pandemi COVID-19. Tujuannya, agar progresivitas penyakit ini dapat dikontrol dan kerusakan saraf mata bisa diperlambat sehingga kebutaan pun tercegah,” jelas dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K), Dokter Subspesialis Glaukoma JEC dalam acara webinar memperingati World Glaucoma Week 2021 (7-13 Maret 2021), Rabu (17/3).

 

Penderita glaukoma membutuhkan penanganan berkesinambungan secara disiplin. Bila tidak, glaukoma berpotensi menyempitkan lapang pandang mata sehingga penderitanya hanya bisa melihat objek seolah dari lubang kunci. Bahkan, sampai buta total, tanpa bisa disembuhkan.

 

Di tengah pandemi COVID-19, kebutuhan pemeriksaan berkala tersebut tentunya menjadi tantangan bagi penderita glaukoma. Prof. DR. dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K), selaku Ketua Layanan Glaukoma JEC Eye Hospitals & Clinics menambahkan, “Penanganan glaukoma tanpa pemeriksaan teratur pada dasarnya berbahaya. Kami mengkhawatirkan pasien yang belum bisa melanjutkan pemeriksaan, terutama mereka yang kondisi glaukomanya tergolong progresif,” ujarnya.

 

Menurut Prof. Widya, sebelum pandemi, pada pasienyang berkunjung rutin pun masih didapati adanya peningkatan tekanan bola mata atau kerusakan saraf optik. Mengingat glaukoma bisa asimtomatik, sangat mungkin penderita tidak menyadari terjadinya penurunan fungsi penglihatan mereka.

 

Artinya, menunda-nunda pemeriksaan berkala dalam jangka waktu yang panjang bisa memperburuk glaukoma mereka. Ingat, kerusakan saraf mata karena glaukoma tidak dapat disembuhkan, dan kebutaan akibat penyakit ini berlangsung permanen,” papar Prof. Widya.

 

Data terakhir Kementerian Kesehatan RI dalam “Situasi Glaukoma di Indonesia” (2019) menunjukkan, prevalensi glaukoma di Indonesia sebesar 0,46% (atau setiap 4 sampai 5 orang per 1.000 penduduk).

 

JEC sendiri hingga 2020 kemarin telah menangani lebih dari 51.810 pasien glaukoma selama sebelas tahun terakhir. Khusus pada 2020, ketika pandemi COVID-19 mulai berlangsung, JEC mengalami penurunan jumlah kunjungan pasien glaukoma sebesar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

 

Untuk mempermudah pasien berkonsultasi, JEC juga menghadirkan JEC @ Cloud di mana pasien berkonsultasi kesehatan mata secara daring dan mendapatkan pertolongan pertama saat pandemi COVID-19. Melalui layanan ini, kondisi glaukoma pasien bisa terus terpantau. Dengan demikian, dokter juga bisa segera memberikan rekomendasi tindakan lebih lanjut apabila kondisi glaukoma pasien memburuk.

 

Pemeriksaan glaukoma sendiri biasanya terdiri dari pemeriksaan tekanan bola mata, evaluasi struktur saraf mata, pemeriksaan luas lapang pandang, pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioscopy), hingga pemeriksaan optic disc dan retina mata.

 

Jika pasien glaukoma memerlukan tindakan lebih lanjut, ada beberapa pilihan terapi untuk pasien glukoma, mulai obat-obatan hingga operasi.

 

 

Baca juga: Dokter FKUI Kembangkan Implan Glaukoma dengan Harga Terjangkau

 

Siapa Berisiko Glaukoma? 

Glaukoma dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:

  • Faktor risiko utama: tekanan bola mata tinggi

  • Berusia 40 tahun ke atas

  • Memiliki riwayat keluarga yang menderita glaukoma (9 kali lebih berpotensi)

  • Penderita miopia/mata minus dan plus/hipermetropia tinggi

  • Pengidap penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, dan kelainan kardiovaskular

  • Pernah terkena cedera mata

  • Pengguna steroid dalam jangka panjang

  • Multifaktorial, banyak yang belum diketahui

 

Jika Geng Sehat memiliki salah satu atau lebih faktor risiko tersebut, jangan tunda untuk melakukan pemeriksaan ke dokter mata.

 

 

Baca juga: Menggunakan Obat Mata? Perhatikan Hal-hal Ini!