Di antara berbagai jenis kanker, kanker paru adalah salah satu yang memiliki angka kematian tinggi. Saat ini kanker paru bukan hanya menduduki peringkat atas dalam daftar penyebab kematian akibat kanker, tapi juga semakin banyak menyerang usia muda. Sayangnya, sebagian besar kasus baru terdeteksi saat sudah memasuki stadium lanjut.
Dijelaskan oleh dokter spesialis paru subspesialis onkologi dari MRCCC Siloam Hospital, dr. Linda Masniari SpP(K), bahwa Saat ini kanker paru di Indonesia menempati peringkat kedua, dan di dunia menjadi penyebab kematian nomor satu.
Data dari Global Cancer Statistic tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 2,2 juta penderita kanker paru, sebanyak 1,8 juta di antaranya meninggal dunia. Penderita kanker ini laki-laki jumlahnya dua kali lebih banyak ketimbang perempuan.
Kebanyakan pasien yang datang berobat sudah stadium lanjut atau stadium 4 atau di tahap akhir, karena memang kebanyakan pasien tidak merasakan gejala kanker paru.
“Padahal, kanker paru yang dideteksi secara dini bisa memperpanjang usia pasien hingga 5 tahun ke depan. Skrining untuk deteksi kanker paru perlu dilakukan untuk orang-orang yang memiliki risiko tinggi,” jelas dr. Linda dalam acara the 5th Siloam Oncology Summit di Jakarta, Minggu 18 Mei 2025.
Deteksi Dini dengan Low Dose CT Scan Thorax Lebih Akurat dan Terjangkau
Skrining penyakit dan deteksi dini dilakukan bukan hanya karena mengalami gejala, tetapi karena memiliki faktor risiko. Ada dua jenis faktor risiko. Faktor risiko yang tidak bisa dikontrol adalah seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga penderita kanker yang bukan hanya orangtua melainkan juga kerabat dekat.
Sedangkan faktor risiko yang bisa dihindari adalah paparan asap rokok atau tembakau, asap knalpot atau polusi, rumah dengan asbes, radiasi, pembakaran di rumah tangga. Lokasi pekerjaan pasien dekat pabrik tambang atau pabrik semen.
Bagaimana skrining dilakukan? Menurut dr. Linda, foto thoraks biasa atau orang awam mengenal dengan rontxen dada tidak bisa mendeteksi kanker paru di tahap awal, karena kenker hanya bisa terlihat dari foto dada jika nodul atau benjolan berukuran lebih dari 3 cm.
Oleh karena itu sekarang dianjurkan untuk skrining yang lebih akurat dan bisa mendeteksi tumor berukuran lebih kecil atau di stadium dini, yaitu dengan metode Low dose CT Scan Thorax.
“Meskipun seringkali tidak bergejala, patut diwaspadai ketika mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh. Tanda kanker paru pada stadium awal mirip dengan TB paru. Setelah penanganan TB paru selama enam bulan tidak kunjung sembuh, harus dilakukan pemeriksaan lanjutan. Misalnya, pasien melakukan Low Dose CTscan dan biopsi, untuk didiagnosa penyakitnya,” tegas dr. Linda.
Deteksi dini dengan Low Dose CT Scan Thorax bisa menurunkan angka tingkat kematian hingga 24 persen. Deteksi lebih awal, keberhasilan terapi lebih tinggi, tingkat hidup lebih dari 5 tahun.
Apakah kamu berisiko kanker paru? Cek dengan Naru
Kalau kamu ingin tahu apakah memiliki risiko kanker paru, bisa dicek secara mandiri melalui program skrining mandiri kanker paru “Naru” atau ‘Kenali Paru’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Kamu hanya perlu scan barcode berikut dan isi kuesionernya. Nanti hasilnya adalah risiko ringan, sedang, berat.
Saat ini, sudah ada 11.785 orang yang sudah mengisi form tersebut dan sebanyak 76 persen di antaranya memiliki faktor risiko ringan sehingga dirujuk ke dokter paru, risiko sedang dan berat dirujuk ke dokter onkologi.
Penanganan Kanker Paru di Indonesia Sudah Lengkap
dr. Sita Laksmi Andarini SpP(K), PhD menjelaskan, jika kanker paru terdeteksi sejak awal, pengobatan bisa dilakukan melalui operasi. Namun jika sudah masuk stadium lanjut, pengobatan tergantung pada jenis kanker dan hasil pemeriksaan molekuler seperti mutasi EGFR, ALK, dan PD-L1. Pengobatannya bisa berupa tablet (targeted therapy), kemoterapi, imunoterapi, atau kombinasi semuanya.
"Seluruh jenis pengobatan kanker paru saat ini sudah tersedia di Indonesia," tegas dr. Sita.
Selain kanker paru, Siloam Oncology Summit ke-5 yang berlangsung di Jakarta, 16-18 Mei 2025 juga menghadirkan simposium dari berbagai jenis kanker, seperti kanker payudara, kanker ginekologi, kanker hametologi, pencernaan, hingga perawatan paliatif. Acara ini diikuti oleh 700 partisipan yang terdiri dari dokter subspesialis, dokter spesilias, dokter umum, radiologis, perawat, perwakilan rumah sakit, dan lain-lain yang terkait dengan manajemen kanker.
dr. Edy Gunawan, MARS, Executive Director MRCCC Siloam Hospitals Semanggi menjelaskan, Siloam Oncolgy Summit ke-5 melibatkan 100 pembicara, terdiri dari 11 pembicara dari luar nageri, dan 89 pembicara dari Indonesia, di antaranya 24 dokter subspesilias di bidang onkologi.
“Acara ini bagian dari rangkaian kegiatan MRCCC Siloam yang lebih besar. Kami selalu memposisikan diri tidak hanya sebagai rumah sakit tapi berperan menanggulangi besarnya beban kanker di Indonesia. Data kanker 60-70% terdiagosis dalam stadium lanjut inilah yang membuat berat beban pembiayaan. Pengobatan lebih kompleks, outputnya tidak sebaik jika deteksi dan penanganan sejak dini,” jelas dr. Edy.