Beberapa waktu lalu, Kementerian Kesehatan memutuskan ada beberapa obat kanker yang tidak lagi ditanggung BPJS. Namun sebagian kalangan terutama dari dokter dan pasien keberatan karena masih banyak pasien membutuhkan.

 

Rapat antara Kemenkes dengan DPR pun diputuskan agar pancabutan itu ditunda. Namun sampai sekarang nasib kasus ini menggantung karena Kemenkes tak kunjung mengeluarkan surat penundaan. Alhasil sebagian pasien kanker kolorektal tidak bisa mendapatkan obatnya. 

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes menyayangkan Kementerian Kesehatan yang belum melakukan langkah konkret dalam penundaan keputusan pencabutan beberapa obat terapi target kanker.

 

Padahal menurut Hamid penundaan itu dijanjikan langsung oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR pada 11 Maret lalu. Belum adanya surat sebagai tindak lanjut RDPU itu membuat pasien kanker tak bisa mendapatkan obat yang menjadi haknya.

 

“Kami para ahli bedah digestif yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan pasien kanker kolorektal merasa terpanggil melihat pasien tidak mendapatkan haknya atas obat dari BPJS Kesehatan karena belum ada edaran dari Kementerian Kesehatan untuk membatalkan keputusannya mencabut beberapa obat targeted therapy untuk kanker, termasuk kanker kolorektal,” terang Hamid dalam siaran pers yang diterima Guesehat.

 

Baca juga: Kanker Kolorektal, Salah Satu Penyebab Kematian Tertinggi
 

Obat Kanker yang Tidak Lagi Ditanggung BPJS

Dr. Hamid menjelaskan bahwa ada beberapa obat terapi target yang tidak lagi ditanggung BPJS, diantaranya bevacizumab dan cetuximab . Obat ini diberikan pada pasien kanker kolorektal stadium lanjut yang memenuhi kriteria. Jadi tidak semua pasien cocok diberikan obat ini.

 

“Bu Menteri mengatakan bahwa pasien akan tetap dilayani dengan kondisi seperti sebelum adanya surat pencabutan itu, namun kenyataanya berdasarkan informasi di lapangan, dari 30 rumah sakit yang menangani pasien kanker kolorektal hingga minggu ini ada sekitar 75 pasien yang tidak terpenuhi haknya untuk dilayani dengan semestinya,” beber dr. Hamid.

 

Ketidakjelasan komunikasi mengenai penundaan pencabutan ini membuat pasien kesulitan untuk mendapatkan obatnya. Salah satu pasien kanker kolorektal, Aisyah kesulitan mendapatkan haknya terhadap obat yang tidak jadi dicabut oleh Kementerian Kesehatan.

 

“Begitu sampai ke farmasi Rumah Sakit Dharmais, saya diinformasikan bahwa obat kanker kolorektal tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan. Infonya dari farmasi bahwa ada pencabutan dari Menteri Kesehatan,” terang Aisyah.

 

Aisyah menjelaskan bahwa dokter yang menanganinya keheranan karena harusnya obat itu tetap ditanggung karena pencabutannya ditangguhkan.

 

“Pihak farmasi mengatakan tidak bisa menerima resep obat tersebut karena tidak ada surat dari Kementerian Kesehatan mengenai penundaan pencabutan tersebut. Pihak farmasi dan BPJS Kesehatan di RS Dharmais menjelaskan bahwa mereka telah menerima surat pencabutan obat, namun tidak menerima surat pembatalan pencabutan tanggungan,” papar Aisyah.

 

Baca juga: BPJS Berencana Stop Sebagian Obat Kanker, Ini Kata Pasien

 

Nasib Pasien Tidak Pasti

Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli menyatakan kekecewaan yang sama terhadap Kementerian Kesehatan. Menurutnya kondisi pasien kanker yang tidak mendapatkan obat yang menjadi haknya ini akibat tidak adanya langkah cepat dari Kementerian Kesehatan dalam melakukan sosialisasi ke rumah sakit dan BPJS Kesehatan.

 

“Saya yakin rumah sakit dan juga BPJS Kesehatan sudah mendapatkan informasi bahwa pada RDPU dengan Komisi IX DPR Menteri Kesehatan menyatakan melakukan pembatalan pencabutan obat target terapi kanker, beritanya ada di berbagai media cetak, online maupun televisi. Namun kan kita semua juga tahu agar rumah sakit dan BPJS Kesehatan bisa memberikan obat yang sudah diresepkan dokter, harus ada sosialisasi dari Kementerian Kesehatan yang dalam bentuk surat juga yang akan menjadi pegangan,” jelas Yanthi.

 

Yanthi menjelaskan bahwa tidak adanya surat tersebut sama saja melakukan pembiaran atas kondisi yang tidak menguntungkan bagi pasien untuk mendapatkan obatnya.

 

Menurut Yanthi yang juga merupakan penyintas kanker ini, organisasi hak pasien sangat menyayangkan kondisi yang sangat merugikan pasien ini. Seharusnya Kementerian Kesehatan mengutamakan hak pasien yang sudah dijanjikannya dalam RDPU dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

 

“Dalam pengalaman kami selama ini menyuarakan hak pasien, seharusnya keluarnya surat penundaan pencabutan ini bisa keluar dalam waktu singkat. Kami jadi bertanya-tanya kenapa surat yang menguatkan pernyataan Ibu Menteri di DPR ini lama sekali keluarnya hingga pasien tidak bisa mendapatkan haknya atas obat yang layak,” tutup Yanthi.

 

Baca juga: Waspadai Keluhan-keluhan Buang Air Besar Ini!

 

Apa Solusinya?

Anggota DPR Komisi IX yang membidangi sektor kesehatan Irma Suryani Chaniago mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan perlu menyesuaikan obat-obatan dengan kebutuhan masyarakat. Jangan kemudian Kementerian mengambil tindakan sepihak dengan pencabutan obat terutama obat kanker.

 

“Kami tidak setuju kalau kemudian obat itu (obat kanker) ditarik, obat itu harus tetap ada, tapi disesuaikan saja penggunaannya sesuai stadium penyakit kankernya. Lucu juga kalau ditarik, karena untuk beberapa stadium kalau tidak dikasih obatnya kan jadi tidak benar,” jelas Irma.

 

Mengenai beberapa rumah sakit yang masih enggan menerima resep yang dikeluarkan dokter terhadap beberapa obat kanker yang sempat dihapus penjaminannya oleh Kementerian Kesehatan, Irma mengatakan bahwa mengenai pembatalan pencabutan itu harus dikomunikasikan kembali oleh Kementerian Kesehatan ke jajaran di bawahnya.

 

“Kementerian Kesehatan juga harus menjalankan peran edukasi masyarakat. Jadi antara pemerintah sebagai regulator, BPJS Kesehatan sebagai operator dan masyarakat terjadi komunikasi yang baik sehingga sama-sama membutuhkan dan bertanggung jawab,” tutur Irma. (AY)

 

Baca juga: Riskesdas 2018: Penyakit Tidak Menular Meningkat. Sanggupkah BPJS?
 

 

 

 

Referensi:

Ekonomi.Kompas.com. Ini Penyebab BPJS Kesehatan Hentikan Penjaminan Obat Kanker Trastuzumab

CNNIndonesia. Timbulkan Polemik, Penghapusan Obat Kanker BPJS Dikaji Ulang