Maraknya pemberitaan beberapa waktu lalu terkait penarikan dua merek suplemen, yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), akibat adanya kandungan DNA babi masih berlanjut. Salah satu dari suplemen tersebut adalah Viostin DS, produk dari PT. Pharos Indonesia. Produk ini bernomor izin edar (NIE) SD.051523771 dan nomor bets BN C6K994H. Sedangkan suplemen lainnya adalah Enzyplex, yang diproduksi oleh PT. Mediafarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 dan nomor bets 16185101.

 

Masalah berawal ketika tim BPOM mendeteksi adanya ketidakkonsistenan antara informasi data pre-market yang diberikan dengan hasil pengawasan post-market yang dilakukan oleh BPOM setelah kedua suplemen itu beredar di pasar.

 

Padahal, saat proses pengawasan sebelum Viostin DS dan Enzyplex diedarkan, hasil uji bahan baku yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menyatakan kedua suplemen itu tidak mengandung DNA babi.

 

Namun setelah suplemen-suplemen itu beredar, ternyata pihak BPOM positif menemukan kandungan DNA babi saat melakukan pemeriksaan uji sampel produk Viostin DS dan Enzyplex pada akhir November 2017 lalu. Dikarenakan produk ini sudah terlanjur beredar di masyarakat, BPOM RI menginstruksikan pada PT. Pharos Indonesia dan PT. Mediafarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan distribusi kedua produk suplemen tersebut.

 

Setelah izin produksinya dicabut, seluruh produk Viostin DS dan Enzylex yang masih beredar di pasaran pun ditarik pada akhir Januari 2018. Bagaimana kondisi simpang siur ini bisa terjadi? Simak informasinya lebih detail untuk mendengar tanggapan dari pihak-pihak terkait.

Baca juga: Mums, Ini Pentingnya Suplemen Zat Besi bagi Balita!

 

Tanggapan dari PT. Pharos Indonesia dan PT. Mediafarma Laboratories

PT. Pharos Indonesia sempat menyangkal adanya kandungan DNA babi saat dimintai tanggapan pada 5 Februari 2018. Menurut mereka, selama ini Viostin DS dibuat dengan menggunakan bahan baku dari sapi dan sama sekali tidak mengandung babi.

 

Bahan baku tersebut dipasok dari Spanyol, yang telah memiliki sertifikat halal dari Halal Certification Services. Lembaga sertifikasi halal internasional yang berpusat di Swiss ini, telah diakui oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Meskipun awalnya menyangkal, akhirnya belakangan PT. Pharos Indonesia mengakui tentang adanya kandungan zat nonhalal dalam produk Viostin DS. Pihak perusahaan berjanji akan memperbaiki kualitas suplemen yang diproduksi oleh PT. Pharos Indonesia.

 

Selain itu, beredar pula surat pernyataan klarifikasi dari PT. Mediafarma Laboratories terkait adanya DNA babi yang ditemukan oleh pihak BPOM dalam salah satu produk mereka. Dilansir dari bertuahpos.com, PT. Mediafarma Laboratories mengatakan pihaknya tidak lagi memproduksi Enzyplex botol sejak tahun 2013.

 

Saat ini, produk yang beredar adalah suplemen Enzyplex kemasan plastik. “Bahan baku produk yang saat ini diedarkan telah melalui tahapan pengujian dari laboratorium LPPOM MUI dengan hasil negatif porcine DNA (negatif kandungan DNA babi)," demikian isi surat pernyataan yang diterbitkan oleh PT. Mediafarma Laboratories.

 

Dalam surat tersebut, juga dituliskan bahwa sistem produksi yang diterapkan oleh perusahaan senantiasa menggunakan standar BPOM dan standar Internasional Good Manufacturing Practices, termasuk uji laboratorium oleh LPPOM MUI. Meskipun demikian, PT. Mediafarma Laboratories tetap menyampaikan permohonan maaf pada seluruh masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kondisi yang terjadi.

Baca juga: Manfaat Suplemen Minyak Ikan untuk Anak 

 

Penjelasan dari BPOM RI

Apapun pengakuan dan sanggahan yang ditunjukkan oleh PT. Pharos Indonesia dan PT. Mediafarma Laboratories, pihak BPOM memiliki dasar pertimbangan sendiri. BPOM mengeluarkan siaran pers untuk seluruh media di Indonesia pada bulan Februari ini, setelah memastikan seluruh stok Viostin DS dan Enzyplex tidak beredar lagi di pasaran.

 

Melalui surat tersebut, BPOM menjelaskan bahwa ada dua bentuk pengawasan obat dan suplemen makanan yang dilakukan secara komprehensif di Indonesia, yaitu:

  • Pengawasan produk sebelum produk tersebut beredar di pasar (pre-market). Pengawasan pre-market merupakan evaluasi terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk sebelum produk tersebut memperoleh nomor izin edar (NIE).
  • Pengawasan produk setelah beredar di pasar (post-market). Pengawasan post-market bertujuan untuk melihat konsistensi mutu, keamanan, dan khasiat produk yang bersangkutan. Pemeriksaan ini dilakukan  dengan mengecek sampel produk yang beredar, pemeriksaan sarana produksi juga distribusi, pemantauan farmakovigilan, pengawasan label, dan iklan.

 

Lalu, apa pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Pharos Indonesia dan PT. Mediafarma Laboratories terhadapan peraturan yang ditetapkan oleh BPOM? Menurut BPOM, ada peraturan yang dilanggar oleh dua perusahaan tersebut.

  1. BPOM menetapkan bahwa produk dengan kandungan bahan tertentu yang berasal dari babi maupun bersinggungan dengan bahan bersumber babi dalam proses pembuatannya, wajib mencantumkan informasi tersebut pada label kemasan produk.
  2. BPOM tetap harus melakukan uji laboratoriun terhadap sampel produk yang telah diberikan nomor izin edar (NIE). Ini berguna untuk mengetahui apakah obat dan suplemen makanan tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah disetujui pada saat evaluasi pre-market.

 

Inilah akar permasalahan yang memicu BPOM untuk menarik Viostin DS dan Enzyplex. Kedua perusahaan produsen suplemen makanan ini, tidak mencantumkan adanya kandungan zat yang bersinggungan dengan DNA babi, baik pada saat proses uji pengawasan pre-market maupun pada label kemasan suplemen.

 

Padahal, BPOM menemukan kandungan babi dalam produk keduanya saat dilakukan uji laboratorium untuk sesi pengawasan post-market. Menurut data yang diserahkan  pada BPOM saat tahapan pendaftaran produk, pihak produsen luput menuliskan informasi tersebut.

 

Alih-alih menuliskan bahan baku sebenarnya, pihak perusahaan justru mencantumkan bahwa bahan baku suplemen ini murni terbuat dari sapi. Dengan adanya ketidakkonsistenan fakta yang ditemukan oleh BPOM setelah Viostin DS dan Enzyplex beredar di pasaran, BPOM memberikan 3 sanksi keras, yaitu menarik kedua produk tersebut dari peredaran, menghentikan proses produksinya, dan mencabut izin edarnya.

 

Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito, menegaskan, dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia, BOPM tidak ragu untuk memberikan konsekuensi berat terhadap industri farmasi yang terbukti melakukan pelanggaran. “Badan POM RI akan melakukan perbaikan sistem dan terus meningkatkan kinerjanya dalam melakukan pengawasan obat juga makanan. Ini untuk memastikan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat telah memenuhi persayaratan keamanan, khasiat, dan kualitas mutu,“ ungkap Penny.

 

Beliau mengimbau kepada masyarakat untuk melaporkan pada BPOM jika masih menemukan produk Viostin DS dan Enzyplex beredar di pasaran. Penny juga menambahkan, kasus penarikan Viostin DS dan Enzyplex menunjukkan perlunya penguatan dasar hukum Pengawasan Obat dan Makanan melalui pengesahan Undang-undang Pengawasan Obat dan Makanan.

 

Kejadian ini menjadi pelajaran pada seluruh pihak. terkait mempertahankan bahan baku yang halal. Jika kualitas sebuah produk dapat dipertahankan bersumber pada bahan baku halal, pengawasan izin produksi serta pengajuan label halal umumnya tidak akan menemukan kendala.

 

Khusus untuk pengajuan label halal, ada hal penting yang harus dipahami oleh industri farmasi dan makanan. Proses pencantuman label halal pada makanan kemasan dalam negeri memang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

 

Akan tetapi, standar kehalalannya harus selalu diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI). Selama ini, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui ataupun kurang menghiraukan hal tersebut. Masih banyak pihak yang berpikir, bahwa urusan perizinan halal hanya terpusat di LPPOM MUI.

 

Alhasil, setelah mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI, beberapa produsen obat dan makanan akan langsung memasang logo halal, tanpa merasa perlu melaporkan izin halal ini pada BPOM RI. (TA/AS)

Baca juga: Pro dan Kontra Suplemen Zat Besi untuk Bayi ASI