Anak dengan kanker tidak hanya perlu didukung agar sembuh dari penyakitnya, tetapi memiliki masa depan yang cerah. Mungkin Mums dan Dads yang pernah mendapatkan cobaan di mana si Kecil terdiagnosis kanker, akan overthinking bagaimana dengan masa depannya. Tidak perlu khawatir Mums, mengupayakan anak sembuh terlebih dahulu adalah usaha terbaik yang bisa orang tua lakukan. 

 

Prof. dr. Djajadiman Gatot SpA, konsultan hematologi onkologi anak dalam webinar yang diselenggarakan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), Sabtu, 17 September 2022, menjelaskan, survivor mengacu pada orang yang bisa terlepas dari penyakit yang berat. Salah satunya kanker.

 

Kanker adalah penyakit yang membutuhkan perawatan khusus, karena jika tidak maka angka kesintasannya rendah. Penderita kanker anak maupun dewasa, kerap mengalami trauma, bahkan juga orang tuanya.

 

“Trauma sudah dimulai sejak awal, sejak ditemukan penyakitnya. Tidak mudah menerima penjelasan dokter mengenai diagnosis, stadium, dan perencanaan pengobatan yang panjang,” jelas Prof. Djaja.

 

Keputusasaan orang tua penderita kanker bisanya dinyatakan dengan pertanyaan mengenai kemungkinan kesembuhan, yang menurut Prof. Djaja, harus dijelaskan dengan hati-hati oleh dokter agar tidak menambah ketakutan pasien.

 

Baca juga: Tips Menjaga Imunitas Anak dengan Kanker Selama Pandemi

 

Pengobatan Lama dan Menyakitkan, Menjadi Trauma Jangka Panjang

Pengobatan kanker terdiri dari operasi, kemoterapi dan radioterapi, serta yang terbaru imunoterapi dan terapi target. Terapi yang membuat trauma adalah kemoterapi. Kemoterapi adalah obat untuk membunuh sel-sel kanker, namun sayangnya berdampak pada sel yang sehat.

 

Menurut Prof. Djaja, kemoterapi adalah pengobatan yang tidak sederhana karena menuntut kesiapan fisik dan mental, sehingga kerap ditunda jika pasien mengalami penurunan kondisi. Akibatnya terapi menjadi lebih lama, bisa membutuhkan waktu 1-2 tahun.

 

Selain itu, efek samping kemoterapi sangat berat menimpa semua organ. Misalnya efek samping pada sistem endokrin atau produksi hormon yang memengaruhi pertumbuhan seorang anak. “Bisa-bisa, setelah kemoterapi, pasien malah menjadi cacat karena efek samping kemoterapi, ini yang harus kita antisipasi,” jelas Prof. Djaja.

 

Oleh karena itu, tambahnya, perlu diupayakan agar semua efek samping pengobatan ini bisa diminimalisasi, sehingga setelah dewasa, para survivor--pasien yang sudah dinyatakan sembuh--bisa membangun masa depannya sama seperti orang normal tanpa kanker.

 

Baca juga: Waspadai 5 Jenis Kanker Anak yang Paling Umum

 

Tetap Yakin dan Semangat  

Motivator Ali Zainal Abidin, Chief of Organizational Hapiness dari Insight Out, menambahkan, survivor kanker anak, sudah melewati banyak hal sampai berhasil sembuh, Namun perlu diupayakan bagaimana agar mereka kembali menemukan hidup dan masa depannya.

 

Masa depan yang cerah, diawali dari keyakinan diri sendiri.  “Oleh karena itu, pendamping atau keluarga survivor perlu menanamkan keyakinan pada survivor tentang potensi yang dimiliki untuk melanjutkan hidup dan menemukan masa depannya,” ujarnya.

 

Semangat dan yakin ini juga menjadi modal Nimas Mita, penyintas kanker tulang (osteosarkoma) melanjutkan hidup setelah melalui penderitaan panjang.

 

Menurut Nimas, Setelah menyelesaikan pengobatan, banyak hal yang harus dilakukan seorang survivor. Ia sendiri mengalami fase naik turun, secara fisik maupun mental, selama menjalani pengobatan yang panjang.

 

NImas didiagnosis kanker tulang saat usia 12 tahun (kelas 1 SMP). Ia harus menjalani kemoterapi selama 6 siklus selama 1 tahun, dan menjalani 2 operasi besar dan 3 operasi skala sedang.

 

“Pengobatan panjang sangat melelahkan,” ujar Nimas. Ia terpaksa berhenti sekolah selama 1 tahun dan menghabiskan sebagian 7 bulan dirawat di rumah sakit. Agar bisa bangkit dan terbebas dari rasa sedih, marah, bosan, Nimas mempercayakan masalahnya pada orang tua dan dokter.

 

Menurut iImas, berbagi dengan orang yang dipercaya sangat penting, termasuk dengan sesama pasien dan penyintas, dan Nimas mendapatkannya di Cancer Bust Community (komunitas survivor kanker anak) di bawah Yayasan Onkologi Anak Indonesia.

 

NImas berbagi kiat kepada para pasian kanker anak, untuk mencoba melakukan hobi di sela-sela terapi, agar bisa mengalihkan perhatian dari sakitnya pengobatan dan kebosanan kehidupan rumah sakit. Misalnya menulis buku, menciptakan lagu, dan sebagainya.

 

Perjalanan panjang seorang penyintas kanker tidak berhenti setelah keluar dari rumah sakit dan kembali ke sekolah, tetapi sampai mencari pekerjaan hingga menemukan pasangan hidup. Diskriminasi dan stigma tentang kaker masih kuat di maayarakat, apalagi jika kanker membawa dampak pada kondisi fisik, seperti kecacatan.

 

“Semangat dan yakin pada diri sendiri adalah kunci mendapatkan kembali masa depan bagi survivor kanker,” pungkas ibu satu orang anak yang berhasil menamatkan pendidikan sebagai ahli gizi dan kini bekerja sebagai editor di platform kesehatan.

 

Baca juga: Ada Benjolan di Leher si Kecil, Sebagian Besar Tidak Bahaya Mums!