Normalnya, bayi dikatakan cukup bulan untuk dilahirkan sejak usia 37 minggu kehamilan. Namun, persalinan ideal memang pada umumnya dilakukan di minggu ke-39 atau minggu ke-40 dari masa kehamilan. Pada usia kandungan ini, sistem kerja otak dan organ tubuh bayi telah berkembang sempurna di dalam rahim. Namun bagaimana tumbuh kembang janin yang proses kelahirannya terjadi lebih cepat atau prematur?

 

Ada beberapa risiko kesehatan yang harus diwaspadai bayi prematur, seperti masalah gangguan kebutaan dan penurunan daya pendengaran. Data WHO menyebutkan, penyebab kebutaan terbesar pada bayi prematur di seluruh dunia adalah ROP (Retinopathy of Prematurity). Kenali lebih jauh yuk, fakta seputar ROP berdasarkan hasil wawancara GueSehat dengan dokter spesialis mata anak dan strabismus dari JEC (Jakarta Eye Center). Simak pula kisah Rachel Putri Aurelya Siloam, sosok tunanetra zaman modern yang tetap semangat menjalani hidup meskipun divonis buta akibat ROP.

Baca juga: Cek Kesehatan Mata agar Tetap Selalu Sehat

 

Apa itu ROP?

Menurut dr.Devina Nur Annisa, Sp.M, Retinopathy of Prematurity (ROP) merupakan kondisi patologis kelainan yang terjadi pada retina mata anak dengan riwayat kelahiran prematur. Gangguan ini biasanya terjadi pada kedua mata. Semakin kecil usia bayi saat dilahirkan, semakin besar kemungkinan terjadi gangguan ROP. Berdasarkan konsesus, bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 30 minggu dengan berat badan kurang dari 2.000 gram, wajib diberikan pemeriksaan mata secara menyeluruh. Tindakan screening retina mata ini bertujuan untuk mengecek apakah ada potensi terjadinya ROP pada anak.

Baca juga: Glaukoma Penyebab Kebutaan Kedua setelah Katarak 

 

Apa pemicu terjadinya ROP pada bayi prematur?

Kebutaan akibat ROP tidak terjadi pada semua bayi. Hanya bayi prematur dengan kondisi tertentu yang berisiko mengalami ROP, di antaranya:

  • Kondisi retina mata yang belum terbentuk sempurna saat bayi prematur dilahirkan.
  • Pertumbuhan pembuluh darah retina yang berlangsung abnormal, sehingga menyebabkan adanya perlukaan dan terlepasnya retina mata (ablasi retina).
  • Berat badan bayi kurang dari 2 kg saat dilahirkan pada usia kandungan sebelum 30 minggu.

 

Dokter Devina menjelaskan, bila ada situasi kehamilan yang membuat bayi harus segera dilahirkan, di saat retina matanya masih menjalani proses pembentukan, tentu saja hal ini akan mengganggu perkembangan pembuluh darah pada retina mata. Inilah permasalahan yang menjadi pencetus ROP. Seiring pertambahan usianya, gangguan ROP pada bayi yang terlahir prematur, mungkin saja berkembang menjadi strabismus (juling), glaukoma, katarak, dan kelainan refraksi (rabun jauh), hingga kondisi kebutaan.

 

Penanganan terhadap ROP

Kunci penanganan utama untuk penderita ROP adalah deteksi dini. Bayi prematur harus diberikan tindakan screening retina mata saat masih dirawat di NICU. Standar ketentuan ini ditetapkan oleh dokter anak dan dokter mata untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan pada bayi prematur. Bila tanda-tanda kerusakan retina mata akibat ROP berhasil dideteksi seawal mungkin, sejumlah perawatan dan pengobatan masih bisa dilakukan untuk mencegah terjadi kerusakan mata yang semakin memburuk, contohnya terapi laser (cryotheraphy), sclera buckling, atau bedah vitrectomy. Rangkaian perawatan ini diharapkan dapat mempertahankan penglihatan pada bayi prematur. Namun bila bayi prematur terlanjur divonis buta akibat kerusakan retina yang telat dideteksi, maka tidak ada teknologi kedokteran mata yang dapat mengembalikan penglihatan penderita ROP.

 

Kisah Inspiratif Ibunda dari Penderita Tunanetra 

“Pada 2002, Rachel terlahir prematur, dengan berat badan hanya 9 ons, panjang badan 29 cm, saat usia kandungan baru menginjak 7 bulan,” Sri Handayani Mukti, ,ibu dari Rachel, mengawali cerita. Wanita yang biasa dipanggil Cici itu sama sekali tidak menduga, dampak kelahiran prematur pada kehamilan kedua ini mengantarkannya pada pengalaman yang sangat berbeda sebagai ibu. Meskipun bayi di dalam rahim sempat terlilit tali pusat, situasi itu dapat diatasi. Persalinan Cici berjalan lancar. Ia melahirkan bayi cantik yang dinamai Rachel Putri Aurelya Siloam.

 

Awalnya, semua berjalan baik untuk Rachel. Semua pemeriksaan telah dilakukan. Dokter tidak menemukan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Untuk standar kesehatan bayi prematur, seluruh organ vital Rachel dinilai baik dan sehat. Bola matanya menunjukkan respons saat dihadapkan dengan cahaya.

 

Namun, kita tidak bisa mencegah hal-hal yang tidak sanggup diprediksi. Mungkin demikian perasaan Cici, saat  putrinya menunjukkan gelagat aneh jelang usia 4 bulan. Mata Rachel tampak selalu mencari-cari setiap diajak bicara. Rachel tiba-tiba tidak bisa merespons arah datangnya suara. Setelah diperiksakan kembali ke dokter, Cici hanya bisa menelan kesedihan luar biasa saat mendengar diagnosis mengejutkan tentang kondisi kesehatan putrinya. Rachel dinyatakan buta total akibat ROP pada usia 6 bulan.

 

Respons pertama Cici terhadap vonis ini, adalah mencari opsi kedua. Tetapi, keterangan dari dokter-dokter lain, hanya semakin membingungkannya. Ada dokter yang menjelaskan, kalaupun dilakukan operasi laser, kesempatan Rachel untuk melihat cahaya lagi, hanya tersisa 50%. Jika gagal, kondisi matanya yang buta, hanya akan semakin rusak.

 

Di titik inilah, ketegaran Cici sebagai seorang ibu, tampak begitu kuat. Ia mantap memutuskan untuk menolak opsi operasi. “Saya enggak mau. Mata Rachel sudah indah. Semakin saya mengejar pendapat dokter yang berbeda-beda, semakin membingungkan saya. Saya ikhlas. Dan menurut saya, Rachel sudah cantik, matanya sudah indah. Jadi, tidak ada yang perlu diperbaiki lagi,” ungkapnya menguatkan hati.

 

Cici memilih untuk ikhlas merawat anak istimewa ini.  Ia teringat sebuah nasehat lama yang mengatakan bahwa orang tua yang dititipkan seorang anak berkebutuhan khusus oleh Yang Maha Kuasa, adalah orang tua yang spesial pula. Maka ia berterima kasih, mencoba mensyukuri amanat-Nya dan memohon petunjuk agar bisa membesarkan Rachel sebaik mungkin.

 

Seiring berjalannya waktu, Cici akhirnya bisa menebak apa kira-kira pencetus utama yang menyebabkan Rachel tiba-tiba terlahir prematur hingga mengalami kebutaan ROP. Saat mengandung Rachel, Cici mengalami kondisi gigi berlubang. Ia sudah diingatkan oleh dokter kandungan untuk memeriksakan hal ini ke dokter gigi. Karena tidak ada nyeri yang dirasakan, Cici kerap menyikapinya dengan tenang. Gigi bolong itu, tidak pernah ia periksakan. Itu penyesalan terbesarnya sebagai ibu. Hingga kini, ia masih terisak jika mengingat kembali kealpaannya kala itu.

 

Tidak ada yang pernah memberi tahu, bahwa ibu hamil memang tidak boleh membiarkan gigi berlubang semasa kehamilan. Gigi ibu hamil harus dirawat dengan baik demi kesehatan janin. Plak-plak pada gigi ibu hamil pun harus dibersihkan di trimester pertama. Hal ini karena, udara, bakteri, serta kuman yang masuk melalui celah gigi berlubang, tidak hanya berpeluang menghambat pertumbuhan organ tubuh janin, melainkan juga memicu bayi keluar lebih awal dari dalam rahim.

 

Keikhlasan Cici membesarkan Rachel, membuahkan hasil. Kini Rachel tumbuh menjadi potret penyandang disabilitas berusia 15 tahun dengan profil yang taat dan keren. Geng Sehat harus dengar fasihnya lisan Rachel melantunkan ayat suci Al-Qur’an dalam huruf Braille. Ketekunan ini sudah ia latih sejak usia 4 tahun. Rachel juga terbiasa menunaikan sholat 5 waktu, tanpa dibantu. Menyapu lantai dan merapikan kamar juga salah satu kegiatan kesehariannya.

 

Kemajuan teknologi zaman modern, rupanya menjadi berkah yang bermanfaat dan memudahkan Rachel. Tahu enggak, Rachel yang bercita-cita menjadi psikolog ini, sehari-harinya mahir memaksimalkan berbagai fitur di smartphone seperti kita semua, lho. Keren banget, kan? Tidak hanya terbiasa menggunakan aplikasi pesan singkat, Rachel juga pintar memanfaatkan fungsi e-book dan mengetik unggahan panjang di akun media sosialnya. Skill tersebut memungkinkan baginya, berkat layanan fitur voice command di smartphone yang menjadi andalan navigasi untuk membantu Rachel mengetik dari satu huruf ke huruf yang lain.

 

Buku-buku pelajaran Rachel juga diberikan dalam format audio book, untuk semakin memudahkan kegiatan belajar siswi salah satu SMP Negeri di Jakarta Timur ini. Rachel juga pernah sempat tinggal beberapa lama di asrama yayasan pembinaan tunanetra. Semua pola didikan itu dilakukan, demi bekal kemandirian yang bermanfaat untuk masa depannya.

 

Semoga ke depannya semakin banyak pakar medis yang termotivasi untuk mempelajari spesialisasi gangguan kebutaan akibat ROP pada bayi prematur. Jadikan juga kisah ini sebagai pelajaran berharga bagi seluruh ibu hamil untuk lebih berhati-hati menjaga kesehatan selama 9 bulan masa kehamilan agar terhindar dari risiko kelahiran prematur. Untuk para Mums di luar sana, semoga cerita perjalanan ibu dan anak ini semakin menguatkan langkah selama membesarkan Si Kecil, ya. Sukses dan sehat selalu untuk Rachel, calon psikolog muda Indonesia! (TA/OCH)

Baca juga: 3 Penyebab Kebutaan Utama di Indonesia