Penderita diabetes yang terus bertambah, dan tidak bisa diimbangi dengan terbatasnya tenaga kesehatan. Banyak orang dengan diabetes di negara berkembang seperti Indonesia, belum mendapatkan akses pengobatan yang layak. Karena itu alternatif pengobatan jarak jauh atau telemedicine diharapkan bisa menjadi solusi.

 

Dalam diskusi publik "Layanan Tatalaksana Penyakit Kronis Terintegrasi dan Inovatif" yang diselenggarakan oleh Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pertengahan Desember 2021, Ketua Pengurus Besar IDI, dr. Daeng M. Faqih, SH, MH menyatakan, ada dua hal yang perlu digarisbawahi terkait pelayanan penyakit kronis.

 

Pertama, rata-rata penyakit kronis lebih banyak menghabiskan pembiayaan di BPJS dan lebih rumit pelayanannya. Apalagi penyakit kronis yang tidak rutin diobati akan menjadi lebih berat, menyerap banyak pembiayaan di BPJS serta pelayanannya lebih kompleks.

 

Kedua, penyakit kronis mempercepat timbulnya penyakit berikutnya yang masuk ke keranjang penyakit degeneratif. Kalau kondisi kronis sudah masuk ke penyakit yang bersifat degeneratif, akan menurunkan kondisi sel-sel tubuh dan menurunkan fungsi sel tubuh tersebut yang menyebabkan produktivitas penyandang jauh menurun.

 

Baca juga: Riskesdas 2018: Penyakit Tidak Menular Meningkat. Sanggupkah BPJS?


Biaya Penanganan Diabetes Meroket di BPJS, Telemedicine Menjadi Solusi

Diabetes adalah salah satu penyakit kronis yang terus meningkat dan berkontribusi terhadap peningkatan pembiayaan BPJS. Dilansir dari sehatnegeriku, total biaya penyakit katastropik pada rentang waktu 2014—2016 mencapai Rp 36,3 triliun atau 28% dari total biaya pelayanan kesehatan rujukan. Peringkat biaya teratas diduduki oleh hipertensi dengan jumlah biaya Rp 12,1 triliun, disusul dengan diabetes melitus sebesar Rp 9,2 triliun.

 

BPJS Kesehatan telah mengeluarkan Rp 20 triliun untuk membayar pelayanan dan obat-obatan penyakit katastropik, salah satunya Diabetes Melitus (DM). Padahal, faktor kunci dalam pengelolaan penyakit kronis adalah kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

 

Dr. Daeng mengatakan bahwa pemanfaatan teknologi digital perlu didorong untuk pelayanan manajemen penyakit kronis yang terintegrasi agar tercipta kesinambungan. Mengapa? "Karena untuk mengendalikan diabetes, hipertensi, dan penyakit kronis lain, tidak cukup hanya datang sekali, diobati kemudian sembuh. Pengobatan harus terus menerus dan dipantau oleh dokter.  Manfaatnya sangat besar jika teknologi digital dalam layanan tatalaksana penyakit kronis dilakukan dengan baik,” ujar dr. Daeng.



Beberapa penyedia layanan teknologi kesehatan digital pun mencoba mengambangkan pelayanan telemedicine ini, salah satunya Good Doctor Technology Indonesia (GDTI) yang mengambil inisiatif untuk merintis studi percontohan penggunaan telemedicine dalam pengobatan diabetes.



Head of Medical Good Doctor Technology Indonesia (GDTI), dr. Adhiatma Gunawan, menyatakan, hasil penelitian fase 1 menunjukkan bahwa monitoring diabetes yang dilakukan lewat aplikasi Good Doctor mendapat penerimaan positif dari responden. Platform tersebut punya potensi untuk mendukung pengamatan keadaan pasien diabetes, terutama self-care monitoring pada perkembangan kondisi kesehatannya.



Sedangkan hasil penelitian fase 2 menunjukkan kelompok yang menggunakan aplikasi Good Doctor secara penuh mengalami penurunan kadar gula darah hingga akhir tiga bulan pemantauan. Sedangkan kelompok dengan intensitas keterlibatan tidak penuh, kondisi gula darahnya relatif tidak berubah. Rata-rata kadar gula darah kelompok kontrol atau yang tidak menginstal aplikasi Good Doctor lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menginstal aplikasi ini.

 

Baca juga:  Banyak Penderita Diabetes “Melupakan” Kondisi Jantungnya

 

Pemantauan Gula Darah Mandiri dengan Aplikasi Teman Diabetes

Sebelumnya juga pernah dilakukan penelitian serupa, menggunakan aplikasi Teman Diabetes, yakni aplikasi pengendalian diabetes secara digital. Penelitian ilmiah pertama mengenai pemanfaatan aplikasi bagi diabetesi dilakukan oleh Teman Diabetes dan Magister Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada (MFK UGM) pada Januari hingga Mei 2020.

 

Penelitian tersebut bertujuan untuk menilai efektivitas penggunaan aplikasi Teman Diabetes dalam menaikkan pengetahuan diabetes, aktivitas perawatan diri dan perbaikan nilai klinis penyandang diabetes tipe 2.

 

Setelah 3 bulan, hasil klinis menunjukkan terdapat penurunan nilai rata-rata HbA1c yang lebih signifikan  pada grup yang menggunakan aplikasi Teman Diabetes dibandingkan kelompok yang tidak menggunakan aplikasi Teman Diabetes.

 

Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan skoring pengetahuan tentang diabetes pada grup yang menggunakan aplikasi Teman Diabetes. Skor lebih tinggi  dibandingkan grup yang tidak menggunakan aplikasi tersebut. Adapun komponen pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan umum, pengetahuan mengenai gaya hidup dan kepatuhan pengobatan, serta pengelolaan nilai glikemik.

 

Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt menyatakan bahwa penelitian ini juga menyimpulkan bahwa aplikasi Teman Diabetes merupakan platform yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan terkait diabetes dan perawatannya. "Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan aplikasi Teman Diabetes untuk membantu perawatan diabetes mandiri dapat memberikan efek perbaikan nilai klinis yang ditandai dengan penurunan angka HbA1c," kata Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt dalam kesempatan terpisah.

 

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) mendukung pelayanan berbasis telemedicine. “Karena diabetes merupakan penyakit kronis yang sifatnya tidak berubah setiap saat, bukan harian, maka tepat sekali untuk menerapkan pelayanan telemedicine pada pasien-pasien DM. Saya yakin bahwa telemedicine juga memperbaiki sekaligus mempercepat akses layanan kesehatan, terutama bagi mereka dengan berbagai kendala,” ujarnya.

 

 

Baca juga: Ayo Lakukan Pemantauan Kadar Gula Darah Mandiri!