Orang tua pasti akan cemas dan khawatir ketika bayi menunjukkan reaksi alergi. Pipi akan memerah dan si Kecil menjadi rewel karena merasa gatal dan tidak nyaman. Lain hari, ia batuk, hidungnya terus berair, dan bersin-bersin.

 

Mums mungkin mengira gejala-gejala tadi adalah infeksi, sehingga diobati dengan obat untuk infeksi kulit atau obat batuk pilek. Belum semua orang tua paham bahwa gejala-gejala tadi adalah wujud dari alergi. 

 

Untuk meningkatkan kesadaran akan penyakit alergi dan dalam rangka mendukung World Allergy Week 2019, Sari Husada mengadakan diskusi tentang alergi di Jakarta pada 10 April 2019 lalu.

 

Bagaimana sih menangani alergi pada anak? Ternyata Mums hanya perlu melakukan 3K, yaitu Kenali, Konsultasikan, dan Kendalikan. Simak penjelasan dari pakar alergi berikut ini!

 

Baca juga: Makan Kacang saat Hamil Dapat Menurunkan Risiko Alergi pada Anak 

 

Jenis dan Penyebab Alergi

Dipaparkan oleh Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan, spesialis anak konsultan alergi dan imunologi anak, menurut WHO, 30-40% penduduk dunia mengalami alergi atau setara dengan 550 juta orang. 

 

"Ada 4 penyakit alergi yang utama, yaitu asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, dan alergi makanan. Salah satu bentuk alergi makanan adalah alergi susu sapi. Diduga, sekitar 7,5% anak mengalami alergi susu sapi,'' ujar guru besar dari Universitas Padjajaran Bandung ini.

 

Alergi protein susu sapi berada di urutan kedua terbesar kasus alergi makanan, setelah alergi telur. Laporan dari RSCM tahun 2012 menunjukkan, kasus alergi telur sebesar 31% sedangkan alergi susu sapi 23,8%. Data ini serupa dengan data di Asia.  

 

Bagaimana mengatasi alergi susu sapi? Sebelumnya, ketahui dulu yuk apa itu alergi dan bagaimana mengenali gejalanya!

 

Baca juga: Kamu Terkena Batuk Alergi atau Batuk Pilek Biasa?

 

Apa itu alergi?

Alergi adalah respons sistem imun, di mana sistem imun tubuh tidak mengenali bahan-bahan yang sebenarnya tidak berbahaya bagi orang lain. Misalnya udang atau telur, keduanya adalah makanan bergizi. "Tetapi pada anak tertentu, udang bukannya bermanfaat malah menimbulkan gejala alergi," jelas Prof. Budi.

 

Udang adalah salah satu pencetus gejala alergi atau disebut alergen. Alergen bisa berupa makanan atau sesuatu yang terhirup, misalnya tungau, serbuk sari, serpihan kulit binatang, atau kapang jamur.

 

Menurut Prof. Budi, "Banyak di antara orang tua yang tidak mengenali gejala alergi. Ketika anak makan ayam, kulitnya menjadi merah, atau makan telur kulitnya jadi gatal. Akhirnya dianggap alergi, sehingga anak tidak boleh makan apapun. Padahal penyebabnya ternyata tungau debu di rumah." Jadi, langkah pertama mengatasi alergi adalah dengan mengenali gejala, faktor risiko, dan mengenali pencetusnya. 

 

Baca juga: Cara Mengatasi Alergi Telur pada si Kecil

 

Faktor risiko alergi pada anak

Ada beberapa risiko alergi pada anak, yaitu:

 

1. Riwayat alergi kedua orang tua

Faktor risiko utama seorang anak memiliki alergi adalah riwayat alergi pada keluarga. Apabila kedua orang tua alergi, risiko anak alergi adalah 40-60%.  Namun, bisa meningkat menjadi 80% jika kedua orang tua memiliki jenis alergi yang sama. 


Kalau hanya satu orang tua yang memiliki alergi, maka risiko anak alergi hanya 20-40%. Jika ada saudara kandung yang alergi, risiko anak memiliki alergi adalah 25-30%. Dan jika orang tua tidak punya alergi, maka risikonya hanya 5-10%.

 

2. Kelahiran caesar

Penelitian menunjukkan, risiko alergi lebih tinggi pada anak yang dilahirkan melalui operasi caesar. "Hal ini karena anak tidak terpapar bakteri di vagina ibunya saat dilahirkan. Akibatnya, perkembangan bakteri baik di tubuh menjadi tidak maksimal, sehingga meningkatkan risiko alergi di kemudian hari," jelas Prof. Budi.

 

3. Faktor lingkungan yang buruk, seperti paparan asap rokok juga dapat memicu alergi.

 

Membedakan Alargi dengan Infeksi

Jika si Kecil menunjukkan gejala kemerahan dan gatal di kulit atau dermatitis, gejala di saluran pernapasan berupa hidung berair dan bersin, atau gejala di saluran pencernaan, seperti muntah, kolik, diare, dan sebagainya, Mums mungkin bingung apakah itu tanda infeksi atau alergi. 

 

Untuk membedakan gejala alergi dan infeksi, Mums bisa mengecek 3 hal berikut:

- Apakah si Kecil mengalami demam? Demam adalah gejala infeksi. Jika si Kecil tidak demam, maka ia kemungkinan alergi.

- Apakah gejala terjadi sepanjang hari atau memburuk di malam hari? Jika hanya di malam hari, kemungkinan adalah alergi.

- Apakah dahaknya kental dan hijau? Jika iya, kemungkinan infeksi bakteri. Namun jika ingus encer dan bening, maka itu adalah gejala alergi.

 

Jika gejala alergi tidak ditangani, maka dapat mengganggu tumbuh kembang si Kecil. Dalam jangka panjang, anak berisiko memiliki penyakit hipertensi, jantung, dan penyakit kronis lainnya. Alergi juga berdampak pada kondisi ekonomi dan psikologis.

 

Baca juga: Makan Kacang saat Hamil Dapat Menurunkan Risiko Alergi pada Anak

 

Mengatasi Alergi Susu Sapi

Alergi susu sapi sebenarnya adalah alergi protein dalam susu sapi, yaitu kasein dan whey. Kejadian alergi susu sapi sekitar 0,5-7,5% dan umumnya akan berkurang seiring pertambahan usia. Menurut prof. Budi, manisfetasi paling sering dari alergi susu sapi adalah dermatitis atopik.

 

Pencegahan alergi terbaik sudah dimulai sejak kehamilan. Ibu hamil boleh makan apa saja, selama tidak memiliki alergi. Setelah bayi lahir, langsung mendapatkan ASI eksklusif sampai 6 bulan, kemudian dilanjutkan MPASI.

 

Di periode ini, si Kecil boleh dikenalkan berbagai jenis makanan. Jika anak terbukti sudah alergi susu sapi, maka gejala alerginya perlu diobati dan dilakukan pencegahan dengan menghindari pencetusnya.

 

"Pemberian ASI eksklusif dapat mencegah alergi pada anak yang memiliki risiko tinggi alergi. Jika ibu tidak bisa memberikan ASI, maka diganti dengan susu terhidrolisat baik yang parsial, ekstensif, maupun asam amino," tambah prof. Budi.

 

Jika ada kendala pemberian susu khusus alergi karena rasa tidak enak atau mahal, bisa juga diganti dengan susu soya. Menurut prof. Budi, sudah dibuktikan melalui penelitian bahwa pemberian susu soya tidak memengaruhi tumbuh kembang anak. Lagipula, tidak terbukti bahwa anak laki-laki akan menjadi seperti perempuan karena susu kedelai. (AY/AS)

Baca juga: Alergi Bisa Hilangkan Keceriaan Anak