Di bulan Maret ini, GueSehat mengajak kita untuk lebih mengenal salah satu penyakit infeksi dengan tingkat kejadian yang tinggi di Indonesia, yakni tuberkulosis alias TBC. Tuberkulosis adalah penyakit yang menyerang saluran napas, yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular, terutama lewat udara, dengan gejala batuk yang tak kunjung reda dalam kurun waktu dua minggu, batuk berdarah, badan lemas, sesak napas, dan nafsu makan menurun.

 

Sebagai penyakit infeksius, mengonsumsi obat-obatan merupakan penanganan utama TBC. Sebagai seorang apoteker, saya banyak menemui pasien yang mengonsumsi obat TBC. Obat-obatan yang lazim digunakan untuk pengobatan TBC antara lain rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid. Pada beberapa kasus, digunakan juga obat lain, yaitu streptomisin dan antibiotik golongan kuinolon, seperti ofloksasin atau levofloksasin.

 

Baca juga: Ayo Cegah TBC dengan 8 Tips Ini!

 

Tahukah Geng Sehat bahwa ada banyak fakta menarik terkait obat-obatan TBC? Mulai dari cara pakai hingga efek samping yang sering muncul. Apa saja sih fakta-fakta menarik tersebut? Yuk, kita simak!

 

1. Pengobatan TBC dilakukan selama minimal 6 bulan

Bakteri penyebab TBC adalah salah satu bakteri yang ‘bandel’. Jika tidak dimusnahkan secara paripurna, maka besar kemungkinan TBC akan kambuh kembali meskipun gejala sudah mereda. Oleh karena itulah pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, agar bakteri TBC yang ada di dalam tubuh tuntas dilawan dan tidak akan kembali menyerang!

 

Dua bulan pertama pengobatan TBC disebut dengan fase intensif. Pada fase ini, ada empat jenis obat yang digunakan, yakni rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol. Empat bulan berikutnya disebut dengan fase lanjutan, dengan menggunakan dua jenis obat, yakni rifampisin dan isoniazid.

 

2. Rifampisin menyebabkan cairan tubuh berwarna merah dan ini normal!

Salah satu poin penting yang selalu saya sampaikan saat memberikan informasi obat kepada pasien TBC adalah bahwa rifampisin, salah satu obat TBC, dapat menyebabkan cairan tubuh menjadi berwarna merah-oranye. Cairan tubuh yang dimaksud antara lain urine alias air seni, keringat, air mata, dan air liur. Hal tersebut normal dan bukanlah efek samping yang berbahaya. Informasi ini harus selalu diberikan kepada pasien, agar mereka tidak kaget dan tetap melanjutkan terapi saat mengalaminya.

Baca juga: Penderita TBC Wajib Penuhi Nutrisi Ini!

 

3. Rifampisin lebih baik dikonsumsi saat perut kosong

Masih mengenai rifampisin, obat TBC yang satu ini disarankan untuk diminum saat perut kosong, kira-kira 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan penyerapan rifampisin dari saluran cerna ke peredaran darah. Pasalnya, makanan akan mengurangi penyerapan rifampisin, sehingga dapat menurunkan efektivitasnya dalam membunuh bakteri.

 

4. Isoniazid sering dikombinasikan dengan vitamin B6 untuk mengurangi efek samping

Isoniazid, salah satu komponen dalam pengobatan TBC, dapat menimbulkan efek samping neuropati perifer. Biasanya ini ditandai dengan munculnya rasa kesemutan atau sensasi terbakar pada kaki. Piridoksin atau vitamin B6 dengan dosis 1 kali sehari 100 mg dapat dikonsumsi untuk mengatasi efek samping tersebut. Oleh karena itu, obat tablet isoniazid yang beredar di pasaran biasanya sudah dikombinasikan dengan vitamin B6.

 

5. Fungsi organ hati wajib diperiksa secara berkala saat konsumsi obat TBC

Pemantauan fungsi organ hati akan rutin dilakukan oleh dokter selama pasien mengonsumsi obat TBC. Pemantauan yang dilakukan antara lain pemeriksaan kadar serum transaminase atau SGPT dan SGOT, dengan cara darah pasien diambil dan dicek di laboratorium.

 

Jika diduga terjadi efek samping hepatitis imbas obat, maka dokter akan melakukan beberapa opsi, antara lain penyesuaian dosis, penghentian obat sementara, atau penggantian regimen obat. Yang jelas, harus dilakukan pemeriksaan secara mendalam, agar bakteri TBC dapat dieradikasi. Namun di saat yang bersamaan, efek samping juga dapat diminimalisasikan!

 

6. Obat TBC tetap dapat dikonsumsi wanita yang sedang hamil dan menyusui

Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, obat TBC sebaiknya tetap dikonsumsi meskipun wanita yang menderita TBC sedang hamil. Pengecualian adalah untuk obat streptomisin, karena dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada janin.

 

Baca juga: Kenali Gejala dan Penanganan TBC pada Anak

 

Sementara pada wanita yang sedang menyusui, pedoman yang sama juga menganjurkan bahwa obat tetap dilanjutkan penggunaannya. Memang obat-obatan TBC yang dikonsumsi akan memengaruhi ASI, tetapi konsentrasinya sangat kecil. Jadi, tidak akan menimbulkan efek berbahaya bagi bayi yang disusui.

 

7. Obat TBC tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan obat kontrasepsi hormonal

Pasien TBC wanita di usia produktif tidak disarankan untuk menggunakan obat kontrasepsi hormonal pada saat sedang mengonsumsi obat TBC. Hal ini dikarenakan terjadi interaksi obat antara obat TBC dengan obat kontrasepsi hormonal, yang berakibat menurunnya efektivitas obat kontrasepsi dalam mencegah kehamilan. Karenanya, disarankan untuk menggunakan kontrasepsi dengan metode lainnya.

 

Nah Gengs, itu dia 7 fakta di balik obat TBC yang sebaiknya Kamu ketahui. Pengonsumsian obat secara tepat akan sangat membantu dalam memerangi TBC. Jangan sampai kekurangan informasi menyebabkan putusnya pengobatan TBC. Yuk, bersama-sama lawan TBC! (AS)