Proses perjalanan untuk menemukan sebuah obat tidaklah mudah. Mungkin Geng Sehat pernah mendengar bagaimana proses menemukan suatu obat baru. Banyak uji dan penelitian yang harus dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja obat, menguji manfaat dan efektivitasnya serta menjamin bahwa obat tersebut aman untuk dikonsumsi. Waktu yang dibutuhkan juga tidak singkat namun butuh waktu bertahun-tahun untuk suatu obat dapat beredar di pasaran. 

 

Dokter dari Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), dr. Riani Hapsari, M.Si (Herb.) menjelaskan bahwa proses yang sama tidak hanya berlaku untuk obat-obat yang mengandung bahan aktif sintetis tetapi juga untuk obat herbal. Di Indonesia, obat herbal terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka.

 

KIra-kira apa ya perbedaannya?

 

Baca juga: Beberapa Interaksi Antara Obat dan Jamu yang Perlu Kamu Tahu!

 

Perbedaan Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka

 

Jamu adalah obat bahan alam yang sediaannya masih berupa bentuk aslinya (daun, rimpang, batang, dan lainnya). Khasiat dan keamanan jamu baru berdasarkan pengalaman turun temurun (minimal 3 generasi).

 

Setelah lolos uji Pra Klinik, jamu naik kelas menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT). Tingkat paling tinggi disebut sebagai Fitofarmaka di mana kemanan dan khasiat obat bahan alam sudah lolos uji Pra Klinik dan Uji Klinik serta bahan baku dan produk jadinya sudah terstandarisasi.

 

Negara kita Indonesia kaya akan bahan alam yang sebagian besar sudah digunakan secara turun-temurun untuk mengobati penyakit. Namun sayangnya, penggunaan bahan-bahan alam tersebut belum terstandarisasi; dalam arti dosis yang digunakan bisa berbeda-beda tiap orang karena ukuran dosis masih menggunakan sejumput, lembar, atau segenggam.

 

Pemakaian bahan-bahan alam secara bersamaan juga mungkin menimbulkan interaksi obat yang tidak diketahui. Interaksi obat yang dimaksud adalah dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung. Karena itu diperlukan penelitian guna mendapatkan data-data yang dapat dibuktikan secara ilmiah (evidence-based) terutama tentang keamanan dan khasiat bahan alam tersebut sebagai obat.

 

Baca juga: Mengenal Fitofarmaka, Bukan “Jamu” Biasa

 

 

 

Perjalanan Bahan Alam Menjadi Obat Herbal

Yuk Geng Sehat kita lihat bagaimana perjalanan suatu bahan alam menjadi obat herbal. 

 

1. Pemilihan Bahan

Perjalanan berawal dari pemilihan bahan alam yang akan digunakan (Tahap Seleksi). Tahap seleksi dilakukan dengan mempelajari kandidat bahan aktif dari segi kimia, biologi bahkan pada tingkat molekuler yang berpotensi untuk produk yang akan dikembangkan.

 

2. Uji Pra Klinik

Dari Tahap Seleksi, perjalanan dilanjutkan ke Uji Pra Klinik. Uji Pra Klinik dilakukan secara in vitro (menggunakan sel hidup, bakteri atau kultur jaringan) dan in vivo (menggunakan hewan coba). Tujuan uji Pra Klinik adalah untuk mengetahui karakteristik farmakologi (seperti mekanisme kerja, interaksi bahan uji) serta menguji keamanan obat melalui uji toksisitas dan uji teratogenik.

 

Uji toksisitas bertujuan untuk mendeteksi adanya zat toksik, sedangkan uji teratogenik bertujuan untuk mengetahui apakah suatu obat berpotensi menimbulkan kelainan atau cacat pada janin. 

 

Bahan obat yang akan dikonsumsi oleh manusia harus lolos dari pengujian di laboratorium (in vitro) dan dilanjutkan dengan penelitian pada hewan coba (in vivo) untuk mengetahui kelayakan dan keamanannya. Hewan coba diperlukan karena dianggap mimiliki kemiripan dan dapat mewakili sistem biologis di manusia. Penggunaan hewan coba tidak boleh dilakukan secara sembarangan, melainkan harus tunduk kepada kode etik yang menjamin kesejahteraan hewan.

 

Baca juga: 7 Tanaman Herbal untuk Meningkatkan Gairah Seksual

 

3. Standarisasi dan Penentuan Bentuk Sediaan

Bahan obat yang sudah lolos Uji Pra Klinik kemudian dilakukan standarisasi dan penentuan bentuk sediaan (Tahap Standarisasi). Tahap Standarisasi diperlukan agar target obat mencapai sasaran.

 

Di tahap ini termasuk penentuan dosis, penentuan bentuk sediaan (seperti bentuk tablet, sirup, dll.) dan juga untuk mengetahui stabilitas obat (berkaitan dengan expired date). Obat yang sudah lolos di tahap ini dapat didaftarkan untuk menjadi produk obat herbal kategori Obat Herbal Terstandar.

 

4. Uji Klinik pada Manusia untuk Fitofarmaka

Perjalanan suatu penelitian tidak sampai di situ saja. Tingkat tertinggi suatu produk herbal adalah menjadi Fitofarmaka. Untuk dapat menjadi Fitofarmaka, obat herbal dapat dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui Uji Klnik. Uji Klinik dilakukan pada manusia dan harus memenuhi prinsip etika uji klinik.

 

Waktu yang diperlukan untuk uji klinik pun tidaklah singkat karena harus melewati beberapa tahap uji lagi. Bahkan setelah obat tersebut dipasarkan, penggunaan obat di masyarakat masih terus diamati guna mengetahui efektivitas maupun efek samping jangka panjang.

 

Nah Geng Sehat, perjalanan suatu obat herbal ternyata membutuhkan waktu yang tidak singkat. Karenanya, diperlukan komitmen dan kerjasama dari industri dan Pemerintah dalam pengembangan produk obat herbal Indonesia.

 

Banyak keuntungan yang bisa didapat jika Indonesia bisa memiliki Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka sendiri, salah satunya mengurangi ketergantungan bahan-bahan obat yang diimpor yang harganya semakin meningkat.

 

Yuk, Geng Sehat, kita galakkan cinta produk obat herbal Indonesia dengan mau menggunakan dan mengenalkannya ke lebih banyak orang lagi.

 

Baca juga: Jenis Tanaman Obat yang Bisa Ditanam di Rumah!

 

 

 

REFERENSI:  

  1. Keputusan Kepala BPOM RI No HK. 00.05.4.2411. 2004. Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Indonesia. 

  1. Katzung B.G. Basic and Clinical Pharmacology. 2018. McGraw-Hill Education. Edition XIV. 

  1. Guide for the Care and Use of Laboratory Animals. 2011. 8th Edition. p1-10. 

  1. Keputusan Kepala BPOM RI No 02002/SK/BPOM. 2001. Tata Laksana Uji Klinik Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 

  1. Rahmatini. 2010. Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah Kedokteran Indonesia. p31-38.