Belum hilang di ingatan tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri pada Desember 2017 lalu, yang terjadi di beberapa daerah, termasuk di ibu kota Jakarta. Tercatat terjadi 939 kasus di 30 provinsi di Indonesia, dengan angka kematian 44 kasus dan case fatality rate 4,7%. Daerah dengan jumlah kasus terbanyak adalah Jawa Timur dan Jawa Barat.

 

Sungguh sangat disayangkan karena penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi difteri. Dan lagi, imunisasi difteri dinyatakan sebagai satunya-satunya cara yang paling efektif untuk menangkal infeksi bakteri berbahaya ini. 

 

Berkenalan dengan Imunisasi Difteri

Tak lengkap rasanya membahas tentang imunisasi difteri sebelum tahu tentang difteri itu sendiri. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae, yang menyerang saluran pernapasan. Khusus pada KLB, selain difteri faring, tonsil, dan laring, dilaporkan terjadi juga difteri hidung dan difteri kulit.

 

Dengan alasan itu, penyakit difteri tergolong penyakit yang sangat menular dengan media udara melalui kontak droplet (air liur) saat penderita batuk, bersin, atau berbicara. Selain itu, bakteri dapat tersebar melalui kontak langsung dari cairan yang keluar dari saluran pernapasan dan pengelupasan luka kulit. Benda-benda yang terkontaminasi bakteri juga berpotensi menularkan penyakit.

 

Difteri menimbulkan gejala dan tanda yang awalnya tak terlihat berbahaya, yaitu demam tidak begitu tinggi sekitar 38ºC, sakit waktu menelan, serta lemas dan pusing (malaise). Kemudian, muncul pseudomembran atau selaput di tenggorokan berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, serta kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengkakan jaringan lunak leher yang disebutbullneck. Gejala-gejala tersebut sering kali juga disertai sesak napas dan atau suara mengorok.

 

Gejala biasanya muncul 2-4 hari setelah penderita terinfeksi. Jika tidak segera ditangani, seseorang yang terinfeksi difteri akan menjadi pembawa bakteri (karier) dan berlanjut menularkan penyakit ini ke orang lain. Semua proses ini berlangsung kurang lebih selama 4 minggu. Seorang karier bisa pula menyebarkan penyakit ini tanpa harus menunjukkan gejala-gejala telah terjangkit difteri.

 

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pencegahan utama difteri adalah dengan imunisasi difteri. Terlebih lagi, difteri dapat menyerang seseorang yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, yang tak lain adalah anak-anak.

 

Berbeda dengan imunisasi penyakit lain, seperti imunisasi hepatitis B, imunisasi difteri diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi, yaitu mengandung sejumlah antigen penyakit yang diberikan dalam 1 kali suntikan. Imunisasi difteri dikombinasikan untuk pencegahan penyakit lain, yatu tetanus dan/atau pertusis (batuk rejan).

 

Baca juga: Indonesia Siaga Penyakit Difteri!

 

Ragam Imunisasi Difteri

Kenapa imunisasi difteri dikombinasikan dengan antigen penyakit lain? Hal ini didasarkan pada bertambahnya jumlah vaksin baru dalam jadwal imunisasi, untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

 

PD3I terdiri atas vaksin BCG, hepatitis B, DPT, polio, Hib, PCV, dan campak, dengan jumlah total 16 kali suntikan (terdiri dari imunisasi pertama dan ulangan), Nah, pencegahan PD3I ini harus dilakukan sedini mungkin, yakni periode usia terbaik untuk mendapatkan semua vaksin itu adalah 0-12 bulan.

 

Dengan terbatasnya waktu dan banyaknya target imunisasi yang harus dipenuhi, muncul risiko tidak tercapainya cakupan imunisasi wajib serta besarnya biaya kunjungan yang harus dikeluarkan.

 

Maka berdasarkan pertimbangan tersebut, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyetujui penggunaan vaksin kombinasi, yang sudah didukung oleh bukti-bukti klinis bahwa vaksin kombinasi, seperti imunisasi difteri, tidak mengurangi potensi dan keamanan vaksin.

 

Imunisasi difteri sudah masuk ke dalam program imunisasi dasar selama lebih dari 5 dasawarsa dan terbagi ke dalam 3 jenis, yaitu DPT-HB-Hib, DT, dan Td. Penjelasan dan pembagian usianya sebagai berikut:

  1. Tiga dosis imunisasi dasar DPT-HB-Hib (Difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan haemofilusinfluenza tipe B) di usia 2, 3, dan 4 bulan. Walau begitu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memberikan lampu hijau jika imunisasi DPT pertama diberikan paling cepat saat si Kecil berusia 6 minggu.
  2. Satu dosis imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib di usia 18 bulan.
  3. Satu dosis imunisasi lanjutan DT (Difteri tetanus) bagi anak kelas 1 SD atau sederajat.
  4. Satu dosis imunisasi lanjutan Td (Tetanus difteri) bagi anak kelas 2 SD atau sederajat.
  5. Satu dosis imunisasi lanjutan Td bagi anak kelas 5 SD atau sederajat.

 

Keberhasilan pencegahan difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu terpenuhi minimal 95%. Vaksin difteri sendiri merupakan vaksin mati. Jadi agar kadar antibodi bisa bertahan dan mampu mencegah penyakit secara optimal, sangat diperlukan kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan. Itulah kenapa imunisasi difteri harus diberikan sesuai jadwal dan sudah didapatkan semua sebelum anak berumur 6 tahun.

 

Setelah imunisasi difteri, kadang-kadang timbul demam, bengkak, dan nyeri di area kulit bekas disuntik. Hal tersebut merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari. Bila si Kecil mengalami demam atau bengkak di tempat suntikan, boleh saja memberikan obat penurun panas parasetamol secara oral sebanyak 4 kali per hari dengan dosis sesuai umur.

 

Selain itu, perbanyak asupan cairan berupa air putih, jus buah, atau susu, serta pakaikan baju tipis. Sedangkan efek samping serius seperti reaksi anafilaksis (reaksi alergi parah yang berpotensi mengancam jiwa) jarang terjadi.

 

Baca juga: 5 Imunisasi Wajib untuk Anak

 

Pencegahan dan Cara Menyikapi Penyakit Selain dengan Imunisasi Difteri

Imunisasi difteri memang merupakan langkah pencegahan yang paling efektif agar tidak terjangkit penyakit ini. Selain itu, ada pula yang bisa dilakukan untuk mencegah terinfeksi difteri ataupun sebagai langkah pencegahan awal. Langkah tersebut adalah:

  1. Mengenali gejala awal difteri.
  2. Menghindari berada di kerumunan banyak orang dan menggunakan masker untuk mengurangi kemungkinan penularan di tempat umum. Ingat, seseorang pembawa bakteri difteri tidak bisa dibedakan secara kasat mata dengan seseorang yang sehat.
  3. Jika si Kecil sakit, periksa rongga mulutnya. Jika terlihat lapisan atau bercak putih, jangan tunda untuk memeriksakan dirinya ke dokter. Semua penyakit difteri selalu ditandai dengan bercak putih, walau tidak semua bercak putih pasti difteri.
  4. Segera ke rumah sakit atau puskesmas jika si Kecil mengeluh nyeri tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok, terutama jika si Kecil masih berusia kurang dari 15 tahun.
  5. Pastikan imunisasi si Kecil sudah lengkap. Periksa data imunisasi anak secara berkala. Jika ada imunisasi yang terlambat, tetaplah diberikan.

 

IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) merekomendasikan beberapa langkah untuk memutuskan rantai penularan difteri jika salah satu anggota keluarga  atau orang terdekat didiagnosis positif menderita difteri. Hal yang harus dilakukan adalah:

  1. Seluruh anggota keluarga serumah harus segera diperiksa oleh dokter apakah juga menderita atau menjadi pembawa bakteri difteri. Setelah itu, semuanya perlu mendapatkan pengobatan.
  2. Jika anggota keluarga dinyatakan sehat, segera lakukan imunisasi difteri dengan pembagian kondisi sebagai berikut:
  • Apabila belum pernah mendapat imunisasi DPT, diberikan imunisasi primer DPT 3 kali dengan interval masing-masing 4 minggu.
  • Apabila imunisasi belum lengkap, segeralah lengkapi. Lanjutkan imunisasi yang belum didapatkan dan tidak perlu diulang kembali.
  • Apabila imunisasi primer telah lengkap (< 1 tahun), perlu ditambah imunisasi DPT ulangan 1 kali. (AS)

 

Baca juga: Saya Perlu Vaksin Difteri Tidak, Ya?

 

 

Sumber

IDAI. Kejadian Luar Biasa Difteri.

Depkes. Imunisasi Eefektif Cegah Difteri.

NFID. Facts about diphteria.