Di penghujung tahun 2017 ini, Kementerian Kesehatan mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan. Dilansir melalui Kompas.com, tercatat sejak Januari 2017 hingga November 2017 di Indonesia, penyakit difteri sudah mencapai 593 kasus dan 32 kematian. Karenanya, Kementerian Kesehatan menstatuskan kondisi ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

 

Mohamad Subuh selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa kasus difteri berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun ini, infeksi tidak memandang usia dan musim. Meski sasaran terbanyak yang menderita penyakit ini adalah anak usia 5-9 tahun, usia termuda yang terkena penyakit ini adalah 3,5 tahun dan yang tertua adalah 45 tahun. Kasus difteri pun tidak hanya terjadi pada musim tertentu.

 

Terkadang Tidak Menunjukkan Gejala Apapun

Difteri merupakan infeksi serius yang menyerang selaput lendir bagian hidung dan tenggorokan. Penyakit ini umumnya akan menyebabkan penderitanya mengalami sakit tenggorokan, demam, kelenjar pada bagian leher membengkak, dan merasa lesu setelah 2-5 hari terinfeksi bakteri Corynebacterium diphtheria.

 

Ada pula gejala lain dari difteri, antara lain:

  • Terdapat selaput tebal berwarna kelabu yang melapisi bagian tenggorokan dan amandel.
  • Kesulitan bernapas.
  • Hidung tersumbat.

 

Ada tipe lain dari infeksi difteri yang umumnya menyerang kulit. Penderita akan mengalami rasa sakit, ruam, dan pembengkakan pada area kulit. Area tersebut juga akan tertutup oleh selaput kelabu. Pada sebagian orang, difteri hanya menimbulkan gejala yang ringan, bahkan tidak menunjukkan gejala sama sekali. Mereka tidak menyadari kalau mereka sakit dan dikenal dengan sebutan pembawa difteri (carriers of diphtheria). Mereka pun akan menyebarkan infeksi kepada orang lain tanpa mengetahuinya.

Baca juga: Musim Hujan Si Pembawa Sakit

 

Infeksi yang Sangat Menular

Difteri termasuk ke dalam penyakit yang mudah menular. Dilansir melalui Mayoclinic, penularan infeksi dapat melalui 3 cara, yaitu:

  1. Cairan yang menyebar di udara. Ketika penderita difteri bersin atau batuk, bakteri dapat mengontaminasi orang-orang di sekitar penderita. Ini adalah cara penyebaran difteri yang paling efektif, terutama di keramaian.
  2. Menggunakan benda pribadi penderita. Jika difteri menyerang kulit, maka infeksi dapat ditularkan dari tisu, gelas, dan alat pribadi lain yang sebelumnya sudah digunakan oleh penderita.
  3. Menyebar pada benda-benda di rumah. Pada kasus tertentu, difteri juga dapat ditularkan melalui perabot, handuk, atau mainan di rumah yang sudah terpapar bakteri.

 

Menyebabkan Komplikasi yang Cukup Fatal

Jika tidak segera ditangani, difteri dapat menyebabkan masalah kesehatan yang cukup fatal, antara lain:

 

Masalah pernapasan

Difteri yang disebabkan oleh bakteri dapat memproduksi racun. Racun ini akan merusak jaringan di area yang terkena infeksi, seperti di bagian hidung dan tenggorokan. Pada area tersebut, infeksi juga akan memproduksi selaput berwarna kelabu yang keras. Selaput ini tersusun dari sel-sel yang sudah mati, bakteri, dan zat lain, yang tentunya akan menghalangi jalur pernapasan.

 

Gagal jantung

Racun difteri dapat menyebar ke aliran darah dan merusak jaringan pada tubuh, salah satunya otot jantung. Ini dapat menyebabkan komplikasi, yaitu peradangan pada otot jantung (miokarditis). Kejadian terparah jika mengalami miokarditis adalah gagal jantung dan kematian mendadak.

Baca juga: Dibandingkan Pria, Wanita yang Merokok Lebih Rentan Terkena Serangan Jantung!

 

Kerusakan saraf

Racun dari difteri juga dapat menyebabkan kerusakan saraf. Target yang mengalami kerusakan umumnya adalah saraf pada tenggorokan, sehingga menyebabkan penderita sulit menelan. Saraf pada tangan dan kaki pun bisa mengalami peradangan, dan berakibat melemahnya otot. Apabila kerusakan saraf pada tenggorokan cukup parah, otot di area tersebut akan lumpuh. Penderita tidak akan bisa bernapas tanpa alat bantu napas.

 

Bisa Dicegah dengan Imunisasi

Sebelum adanya antibiotik, difteri merupakan penyakit yang umum terjadi pada anak-anak. Namun sekarang difteri tidak hanya bisa diobati, melainkan juga dapat dicegah dengan vaksinasi. Sayangnya, Subuh menjelaskan bahwa 66 persen kasus difteri di Indonesia terjadi karena pasien tidak diimunisasi. Sedangkan 31 persen pasien lainnya sudah diimunisasi, tetapi tidak sampai selesai. Dan sekitar 3 persen lainnya sudah mendapatkan imunisasi secara lengkap.

 

Untuk menekan angka penderita difteri agar tidak semakin membengkak, Kemenkes sepakat melakukan pemberian imunisasi atau ORI (Outbreak Response Immunization) bersama 3 kepala Dinas Kesehatan Provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, yang akan dimulai pada akhir tahun 2017.

 

Ini merupakan langkah awal, karena ketiga provinsi tersebut memiliki potensi transmisi penyakit menular yang cukup tinggi, yang disebabkan oleh padatnya jumlah penduduk serta tingginya mobilisasi. Dikutip melalui situs Depkes.go.id, angka kasus difteri juga paling banyak dilaporkan dari ketiga provinsi tersebut, yaitu DKI Jakarta 22 kasus, Jawa Barat 123 kasus dengan 13 kematian, dan Banten 63 kasus dengan 9 kematian. Jawa Timur temasuk dalam provinsi dengan kasus difteri tertinggi, namun sudah melaksanakan ORI lebih dulu.

 

Kemenkes akan melakukan ORI dalam 3 putaran. Jarak pemberian putaran pertama dengan kedua adalah 1 bulan, dan putaran kedua dengan ketiga adalah 6 bulan. Putaran pertama akan dilakukan pada 11 Desember 2017, kemudian dilanjutkan pada 11 Januari 2018 dan 11 Juli 2018. Imunisasi akan diberikan untuk usia 1-19 tahun.

Baca juga: Cegah 3 Penyakit Mematikan Ini dengan Imunisasi DPT!

 

Subuh mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melindungi diri sendiri dan anggota keluarga dengan mengecek status imunisasi lengkap, agar terhindar dari penularan difteri. Selain itu, Geng Sehat juga bisa menggunakan masker ketika berada di keramaian, mengonsumsi makanan yang bergizi, serta berolahraga secara teratur supaya tidak mudah terkena penyakit. Selalu jaga kesehatan ya, Gengs! (AS/OCH)