Halo, Mums. Lama ya saya tidak menulis lagi di sini. Maklum ya, saya hampir tidak ada waktu lagi untuk menulis artikel di GueSehat karena mesti mengurusi kedua anak saya. Yang satu fasenya sedang trouble two, sedangkan yang satunya lagi sedang fase MPASI. Seperti yang sudah sering saya bilang sebelumnya, saya mengerjakan semuanya sendirian tanpa bantuan pengasuh sama sekali. Capek? Pastinya. Namun ya dibawa enjoy saja.

 

Sebenarnya banyak banget yang kepingin saya share ke Mums di luar sana. Namun, untuk buka laptop saja mesti menunggu suami pulang dulu. Hehehe. Iya, saya pinjam laptop dia soalnya. Kalau nulis lewat handphone kurang sreg, karena takut salah menulis. Apalagi takutnya diganggu pula sama anak-anak. 

 

Oke, lah. Hari ini saya mau share tentang pengalaman saya selama berumah tangga. Kalau bisa dibilang sih, pengalaman saya ini masih sedikit jika dibandingkan dengan Mums yang mungkin sudah merayakan anniversary ke sekian tahun. Pernikahan saya baru seumur jagung, yaitu baru 3 tahun. Meski begitu, sudah banyak suka dan duka yang saya dan pasangan lewati semenjak masa pacaran. 

 

Baca juga: 6 Hal yang Harus Diperhatikan ketika Menikah dengan Seseorang yang Pernah Bercerai

 

Masa pacaran dulu dengan suami juga tidak bisa dikatakan indah dan mulus-mulus saja, walaupun sudah berpacaran selama 6 tahun. Saya dan mantan pacar, yang sekarang sudah menjadi suami, sering mengalami yang namanya hubungan putus nyambung hanya karena masalah sepele. Sampai sekarang pun masih suka bertengkar meski sudah berumah tangga.

 

Sekarang status kita sudah berubah menjadi orang tua. Banyak hal yang pastinya berubah selain dari segi statusnya. Terkadang, yang suka sekali menjadi kendala tuh ketika suami tidak mengerti apa yang istri kerjakan. Apalagi kalau kita sebagai istri atau ibu yang tidak bekerja alias cuma sebagai ibu rumah tangga saja.

 

Kenapa saya bisa bicara seperti ini? Ya karena hal sepele saja bisa berakibat fatal. Saya hanya sekadar sharing lho ya, bukan bermaksud menjelekkan suami atau siapapun juga di artikel ini.

 

 

Dari awal saya menikah, hubungan saya dan suami tidak disetujui oleh pihak keluarga suami karena kita sering putus-nyambung. Apalagi status keluarganya yang bisa dianggap penting di kalangan sosial. Keluarga suami saya bukanlah keluarga yang kaya raya juga, tetapi sangat dihormati karena status pekerjaan kakaknya.

 

Ibu mertua saya tuh sampai terpaksa lho menyetujui pernikahan saya dan suami karena takut kita berbuat dosa. Namun waktu di hari pernikahan, hampir seluruh keluarga inti dari suami tidak datang. Bayangkan saja sakit hatinya bagaimana rasanya menjadi menantu yang ditolak.

 

Baca juga: Lelah Tidak Mengurus Anak saat Hamil?

 

Tidak cukup sampai di situ, baru tiga bulan pernikahan saya dan suami, kata cerai sudah terlontar dari mulut saya akibat perdebatan hebat di antara kita berdua. Itu pun karena masalah sepele. Kita menikah kebanyakan menggunakan uang dari keluarga saya. Saat itu, suami saya belum bekerja karena partner kerja dia yang sebelumnya tidak membayar hasil jerih payahnya. Padahal, keuntungan dari usaha yang ia jalani dulu sudah terbilang cukup untuk kita menikah dan membeli rumah. Namun ya apa boleh buat, semua memang sudah menjadi rencana yang di atas, kan?

 

Jadi setelah menikah, saya dan suami tinggal di kost-kostan kecil di kota saya dulu. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan, tetapi gajinya sama sekali tidak mencukupi kebutuhan kita sehari-hari. Untungnya, saat itu saya masih bekerja dan penghasilan saya lebih besar dari dia.

 

Karena merasa tidak sanggup lagi membayar kost dan masih harus menanggung biaya hidup yang lain, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk pindah ke rumah mama saya. Mama saya sendiri yang menyuruh kita pindah daripada uang yang kita miliki habis dengan percuma setiap bulannya, sampai-sampai kita tidak bisa menabung. Yup, saat itu kendalanya hanyalah masalah finansial alias uang atau duit.

 

Awalnya, suami saya sempat merasa tidak enak karena harus tinggal di rumah mertua. Namun, apa boleh buat? Kan, tidak mungkin tinggal di rumah ibunya. Soalnya saat itu saya masih kurang diterima. Ketika pindah ke rumah mama, saya baru tahu kalau saya sudah hamil 5 minggu. Tambah stres lah suami saya saat itu. Beban pun bertambah berat karena harus memikirkan biaya check up setiap bulan. Belum biaya obat-obatan dan persalinan. Alhasil, suami saya pun menjadi perokok berat dan sering tidak pulang karena harus banting tulang cari tambahan ke sana-sini.

 

Di tambah lagi, saya berhenti bekerja ketika memasuki usia kandungan 5 bulan. Waktu itu, perusahaan tempat saya bekerja collapse. Boro-boro dapat pesangon, semua fasilitas saya malah diambil diam-diam. Namun, untungnya bos saya masih membayar gaji para karyawannya. Suami pun tambah pusing. Ia akhirnya memutuskan untuk berhenti kerja dan mencoba bekerja di tempat lain. Namun, gajinya sama saja dengan kantornya sebelumnya. Maklum lah, suami saya cuma lulusan SMA.

 

Baca juga: Waspada Munculnya Kejenuhan Dalam Pernikahan

 

Di tempat bekerjanya yang dulu, ia menjadi orang kepercayaan bosnya. Ia pernah diperintahkan bekerja di luar kota untuk memimpin kantor, tetapi ia tolak. Suami bilang alasan ia menolak kesempatan kerja itu adalah karena ia memikirkan saya yang tengah hamil tua. Kalau harus pindah, nanti bakalan susah untuk minta izin pulang. Apalagi penghasilan yang didapat tidak sebanding untuk tinggal di sana dan diberikan kepada saya. Pasalnya, fasilitas yang didapat hanya mobil dinas. Jadi, biaya untuk tempat tinggal disuruh tanggung sendiri. Itulah mengapa suami saya berhenti kerja dan mencoba bekerja di tempat lain.

 

Eh, memang ya Tuhan itu baik. Sejak suami saya pindah kerja, urusan finansial pun jadi membaik. Meski gajinya kurang lebih sama dari kantor sebelumnya, dalam hitungan waktu enam bulan saja suami saya sudah mendapatkan promosi jabatan. Bahkan tidak sampai satu tahun, suami saya sudah dipromosikan lagi. Sampai sekarang, untuk urusan finansial sudah bisa dikatakan kita berkecukupan lah.

 

Tidak hanya sampai di situ, bisa dikatakan derajat saya dan suami sedikit terangkat karena ibu mertua saya dan keluarga suami sudah mulai sedikit respect dengan kita berdua. Apalagi sejak saya melahirkan anak pertama, ibu mertua saya jadi baik banget. Beliau sampai menemani saya di ruang persalinan ketika melahirkan si Koko. Beberapa saudara dari suami saya pun setiap mau datang ke sini pasti rada sungkan karena mau meminjam mobil.

 

Jujur ya, saya cerita begini bukan karena mau pamer ataupun sombong. Namun, saya merasa bersyukur banget tangan Tuhan bekerja dalam keluarga kita. Kalau bisa dibilang, saya dan suami tuh dulu tidak dianggap sama sekali. Tidak hanya di kalangan keluarga saja, melainkan juga di komunitas. Bahkan setiap berkunjung di hari raya, kita cuma dianggap angin lalu saja. 

 

Kehidupan saya dan suami saat memulai berumah tangga memang tidak seperti seperti feed Instagram pasangan-pasangan di luaran sana, yang selalu mengunggah hal-hal yang indah terus. Ini saya sharing begini sekalian flashback. Saya bersyukur banget, meski suami masih merokok walau tidak separah dulu. Pertengkaran pun masih tetap ada, tetapi bukan lagi masalah uang. Sekarang masalahnya adalah waktu dan cara kita mendidik anak. Hahaha.

 

Nanti kalau ada waktu kosong lagi saya akan share tentang perbedaan pendapat antara saya dan suami dalam hal mendidik anak. Untuk sekarang, itu dulu hal yang saya bisa bagi. 

 

Kalau mungkin di antara kalian ada yang belum berumah tangga tetapi hendak merencanakan pernikahan dan mengalami kendala, saya cuma mau berpesan: menikah itu ibadah. Lagipula yang menikah itu Kamu dan pasangan, bukan Kamu dengan ibu, ayah, atau saudara pasanganmu. Yang menjalankan kehidupan berumah tangga itu juga Kamu dan pasanganmu. Kalian susah, orang lain tuh tidak mau tahu. Ingat, ya, rezeki itu Tuhan yang atur. Jangan takut menikah karena tidak ada modal atau takut dengan orang lain. Tidak ada hubungannya. Semoga bermanfaat, ya.

 

Baca juga: Jika Pernikahan di Ujung Perceraian, Ingat 6 Hal Berikut!

 

Tips Menjaga Kesehatan Jelang Pernikahan - GueSehat