Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, angka stunting pada usia balita di Indonesia masih tinggi yaitu 30,8% atau masih di atas ambang batas WHO 20%. Bahkan di 18 provinsi masih memiliki angka stunting sebesar 30-40%

 

Apa dampak stunting yang paling ditakutkan? “Bukan sekadar perawakannya pendek, tetapi risiko kerusakan otak permanen dan membuat anak-anak yang mengalami stunting berat ini berisiko retardasi mental,” ujar Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik FKUI/RSCM, dalam acara MilkVersation Hari Gizi Nasional - Investasi Pangan Hewani, Stunting, dan Upaya Selamatkan Generasi Mendatang. Acara ini diselenggarakan Frisian Flag Indonesia, di Jakarta, 23 Januari 2019.

 

Apakah stunting bisa dicegah dan bagaimana caranya? Simak penjelasan dr. Damayanti berikut ini!

 

Baca juga: Jangan Anggap Sepele Jika Anak Bertubuh Pendek!

 

Stunting Diawali dari Berat Badan Turun saat Bayi

Bila diartikan, stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka panjang (kronis). Bisa karena asupan nutrisinya tidak cukup, atau karena kebutuhannya meningkat namun tidak terpenuhi misalnya karena anak sakit.

 

Menurut dr. Damayanti, stunting bukan sekadar persoalan perawakan pendek. Indikator stunting yang paling mudah adalah dimulai dari penurunan berat badan atau weight faltering akibat asupan nutrisi yang kurang. Ketika berat badan bayi di usia 3 bulan turun, maka sebenarnya sudah mulai terjadi penurunan fungsi otaknya. Pada bayi dengan berat badan kurang dari 10 kilogram, sebanyak 50-60% energi dipakai untuk perkembangan otak. Bila asupan nutrisinya kurang, maka otak yang akan dikorbankan terlebih dulu.

 

“Jadi saat berat badan mulai turun, anak tidak langsung jadi pendek, namun terjadi penurunan fungsi kognitif dulu, dan bila dibiarkan saja maka pada akhirnya pertumbuhan fisiknya tidak maksimal alias menjadi pendek,” papar dr. Damayanti.

 

Baca juga: Tidak Hanya Tubuh, Otak Anak Stunting Juga Lebih Kecil

 

Mengenal Stunting - Guesehat

 

Bagaimana Mencegahnya?

Otak dan sinaps-sinapsnya berkembang pesat selama 1000 hari pertama kehidupan atau hingga anak berusia 2 tahun. “Sampai usia dua tahun, anak tidak boleh kekurangan nutrisi sama sekali, karena dampaknya irreversible,” tegas dr. Damayanti.

 

Bagaimana memastikan kebutuhan gizi anak terpenuhi? Menurut dr. Damayanti, proporsi kebutuhan nutrisi anak berbeda dengan dewasa. Akhir-akhir ini banyak digaungkan mengenai piring makan sehat, di mana ½ piring berisi sayur dan buah. “Itu untuk orang dewasa, bukan untuk anak. Untuk anak, kebutuhannya berbeda,” ujarnya.

 

Selewat masa ASI eksklusif 6 bulan, selain pemberian ASI, bayi harus dikenalkan dengan PASI. Komposisi MPASI idealnya juga menyerupai komposisi ASI, yaitu harus mengandung karbohidrat, lemak, dan protein. Sejak awal MPASI hingga usia 2 tahun, ketiga makronutrisi ini harus tercukupi, untuk mendukung pertumbuhan otaknya.

 

Baca juga: Kenapa Bayi Bisa Gagal Tumbuh?

 

Dahulukan Protein Hewani

Di 2 tahun pertama, zat gizi yang harus tercukupi adalah protein, karbohidrat dan lemak. Sebaiknya berikan protein hewani, karena dalam ASI, komposisi protein hewani lebih banyak. “Kandungan asam amino pada protein hewani sangat lengkap. Sedangkan protein nabati, asam aminonya kurang lengkap. Protein hewani boleh digabung dengan protein nabati, asal selengkap asam amino esensial pada ASI.” jelas dr. Damayanti.

 

Susu dan telur adalah sumber protein hewani yang paling baik. Diikuti dengan produk susu, unggas, ikan, hati, dan daging. Jadi, sumber hewani tidak harus mahal. Anak bisa diberi telur, hati ayam, dan berbagai jenis ikan lokal yang harganya relatif terjangkau.

 

Nah, Mums mulai sekarang perhatikan MPASI si Kecil ya! Selain karbohidrat sertakan selalu protein hewani dalam menu si Kecil demi perkembangan otak dan juga fisiknya. selain itu, Jangan takut memberikan lemak pada si kecil, karena zat ini sangat penting bagi otaknya. (AY)

 

Baca juga: Ini Tanda Tubuh Kamu Kekurangan Protein!