Ada 2 jenis kanker yang menjadi sumber kecemasan wanita, yaitu kanker serviks dan kanker payudara. Kedua kanker ini mewakili jati diri wanita. Lalu bagaimana jika seorang wanita divonis menderita kanker payudara pada masa kehamilan? Ikuti kisah seorang ibu bernama Tintin Nur’aeni, seorang survivor kanker payudara.

 

Perjuangan melawan kanker payudara stadium 2B ini ia lewati saat hamil di usia 41 tahun. Tahun 2003, 2 hal tidak terduga terjadi sekaligus padanya, yaitu dinyatakan hamil anak ke-4 serta didiagnosis kanker payudara saat kandungan menginjak usia 6,5 bulan.

 

 

Awal Terdiagnosis Kanker Payudara

Dalam kondisi kaget mencerna hasil diagnosis tersebut, Bu Tintin sempat mempertanyakan apakah operasi kanker payudara aman bagi bayinya yang saat itu baru akan lahir sekitar 2,5 bulan lagi. Tim dokter pun memastikan agar tak perlu khawatir. Seluruh pihak akan berusaha semaksimal mungkin untuk keselamatan ibu dan bayi, salah satunya dengan cara pemberian suntikan penguat janin.

 

Dokter kandungan justru cemas jika penyakit ini dibiarkan, karena hanya akan berdampak buruk pada ibu dan janin. Benjolan pada payudara berpotensi untuk menjalar ke area tubuh lain, terlebih pada saat kehamilan. Dokter bedah mendiagnosis bahwa kanker ini sudah bersembunyi di dalam tubuh sejak 2 tahun lalu.

 

Namun, sel kanker secara tidak sengaja distimulasi oleh hormon kehamilan. Hormon kehamilan membuat virus kanker tumbuh pesat hingga benjolan tersebut mudah membesar dalam waktu singkat. Ibu hamil yang tidak mengidap kanker saja sering mendapati payudaranya tampak lebih padat.

 

Apalagi, ibu hamil sering diberikan resep vitamin untuk kesehatan tumbuh-kembang janin. Jadi vitamin yang semestinya diserap oleh bayi, justru direbut oleh virus kanker ini. Setelah mendengar penjelasan dokter, Bu Tintin pun baru paham mengapa perutnya tidak sebesar kehamilan 3 anak sebelumnya. Padahal, ini merupakan kehamilan anak ke-4. Umumnya, rahim dan otot perut wanita yang sudah beberapa kali melahirkan akan semakin elastis dan rentan melebar pada kehamilan berikutnya.

 

Dokter lalu menyuruh agar benjolan tersebut dibuang secepatnya, sebelum menjalar ke payudara sebelah kanan. Meskipun mencemaskan keselamatan bayi, dokter bersikukuh operasi mesti dilakukan secepat mungkin. Benjolan tersebut pasti akan semakin tumbuh subur dalam waktu 2,5 bulan jika operasi dilakukan setelah bayi lahir.

 

Penyakit kanker tidak bisa disepelekan, apalagi ditunda untuk ditangani. Dua setengah bulan adalah waktu yang cukup bagi sel-sel kanker untuk berkembang pesat. Terlebih dengan melihat fakta yang terjadi. Dalam waktu kehamilan 6,5 bulan saja, benjolan payudara tersebut sudah berkembang cukup besar.

 

Kabar baiknya, kanker yang hinggap dalam tubuh Bu Tintin bukanlah tipe kanker ganas. Jadi, semakin besar pula kesempatan untuk sembuh jika ditangani segera. Tidak sampai 2 hari, Bu Tintin pun memutuskan untuk melakukan pembedahan kanker payudara. "Setelah dokter mendiagnosis benjolan tersebut sebagai kanker payudara, saya jadi semakin tersugesti bahwa penyakit parah ini harus segera ditangani. Apalagi kalau terasa nyeri di dada sebelah kiri,” ungkapnya.

Baca juga: Yuk, Kenali Tanda-tanda Kanker Payudara

 

Kondisi Kritis Pascaoperasi

Dugaan dokter benar. Melalui pemeriksaan lebih lanjut, diketahui bahwa benjolan tersebut bersembunyi di dalam payudara. Ukuran aslinya mencapai sebesar telapak tangan orang dewasa. Dikarenakan ukuran benjolan cukup besar, dokter tidak bisa mengambil tindakan lumpektomi untuk menyingkirkan kankernya saja.

 

Dokter mesti mengambil tindakan mastektomi, yaitu operasi pengangkatan payudara. Tentunya, pilihan ini bukanlah hal yang mudah bagi wanita manapun. Namun Bu Tintin menerima dan menjalani satu-satunya opsi yang ditawarkan oleh dokter dengan ikhlas dan yakin. “Saya hanya ingin sehat untuk suami dan anak-anak,” paparnya saat menceritakan target dan motivasi yang ia fokuskan kala menghadapi pilihan tersebut.

 

Setelah menjalani operasi pengangkatan payudara yang dijadwalkan pada hari Jumat siang, kondisi Bu Tintin berjalan stabil dan normal. Begitupun dengan bayinya. Detak jantung bayi masih terdengar hingga menjelang sore. Namun sangat disayangkan, tetap ada situasi darurat yang terjadi pascaoperasi.

 

Umumnya, pasien yang baru saja menjalani operasi pengangkatan payudara harus menjalani prosedur pembuangan darah kotor. Saat menjalani prosedur tersebut, Bu Tintin sempat kehilangan banyak darah. Ia dilarikan ke ruangan ICU dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 7 kantong, akibat kehilangan darah 2000 cc dan hemoglobin yang menurun drastis hingga mencapai Hb 4.

 

Kondisinya sangat kritis, namun dapat diatasi. Setelah diteliti lebih lanjut, suntikan penguat janinlah yang memicunya kehilangan banyak darah. Staf dokter bedah dan dokter kandungan pun sepakat untuk menghentikan pemberian cairan penguat janin demi keselamatannya. 

 

Dengan adanya kondisi kritis yang mengancam nyawanya tersebut, dokter pun menyampaikan bahwa cairan penguat janin tidak dapat diberikan lagi. Seluruh pihak pun pasrah terhadap nasib calon bayi mungil tersebut. Meskipun dokter tetap berupaya untuk mempertahankan bayi dalam kandungan, namun pilihan untuk menyelamatkan nyawa sang Ibu menjadi fokus utama tim dokter. Terlebih jika mengingat suami dan ketiga anaknya yang telah beranjak dewasa. Mereka masih sangat membutuhkan figur istri dan sosok ibu.

 

Prediksi dokter memang tepat. Janin dalam rahim ternyata tidak dapat bertahan lama. Meski begitu, mereka memuji bayi perempuan itu yang berjuang kuat untuk tidak menyusahkan sang Ibu saat ia harus pergi. Bu Tintin yang belum tuntas pulih dari operasi mastektomi, tidak perlu mendapat tindakan kuret atau bedah Caesar.

 

Tim dokter mengupayakan agar bayinya bisa dilahirkan melalui metode pemasangan balon caterer (Foley Catherer). Cara penggunaannya adalah dengan memasukkan balon kateter secara perlahan-lahan ke dalam serviks ibu dengan menggunakan forceps DTT atau klem panjang (venster klem). Balon katerer didiamkan selama 12 jam sambil diobservasi hingga timbul kontraksi uterus.

 

Tidak ada ibu yang tidak terluka saat dinyatakan harus merelakan anaknya, sekalipun kondisi kesehatan sang Ibu tengah mengancam nyawa. Bayi Bu Tintin lahir dalam waktu kurang dari 12 jam melalui metode pemasangan balon katerer. Sebagai ibu, ia tidak sanggup melihat bayinya yang telah membiru. “Sampai sekarang pun saya selalu mendoakan bayi itu. Maafkan Mama ya, Dek,” kenangnya. Hanya pihak keluarga yang sempat melihat paras si Bayi saat menguruskan pemakaman.

Baca juga: Apakah Risiko Kanker Bisa Diturunkan?

 

Pemulihan dan Pola Hidup Sehat

Pulih dari operasi, Bu Tintin menjalani terapi dengan teknologi laser sebanyak 35 kali untuk mematikan potensi hidup sel kanker. Setelah ditelusuri, tim dokter menemukan penyebab kanker dalam tubuhnya. Sel kanker ini muncul akibat efek samping penggunaan alat kontrasepsi KB kimiawi, dalam jangka waktu lama.

 

Berbeda dengan IUD, alat kontrasepsi KB kimiawi (seperti pil, implan, dan suntik KB), memang langsung memengaruhi sistem metabolisme tubuh wanita. Waspadai bila pil, implan, ataupun suntik KB yang Kamu konsumsi membuat pola haidmu tidak teratur.

 

Segera konsultasikan kepada dokter, jangan sampai dibiarkan. Penggunaan alat kontrasepsi kimiawi, yang memberi efek samping perubahan siklus haid secara berkala, dalam jangka waktu lama dapat mencetus sel kanker. Jika siklus pengeluaran darah kotor selalu berjalan tidak teratur, lama-kelamaan bisa menjadi kanker.

 

Hasil laboratorium juga menunjukkan kanker yang diderita oleh Bu Tintin memiliki 3 akar yang menjalar ke area ketiak kiri. Jika saja tim dokter menunda operasi pengangkatan payudara setelah bayi lahir, maka besar kemungkinan kanker tersebut telah menjalar ke punggung dan payudara kanan.

 

Dengan berbagai pertimbangan, dokter pun menganjurkan Bu Tintin untuk tidak hamil lagi, mengingat adanya kondisi bahaya sel kanker dalam tubuh yang rentan tumbuh kembali. Tindakan steril (Tubektomi) pun ditempuh setelah ia merasakan kalau IUD tidak cocok untuknya.

 

Pola hidup yang semakin sehat secara fisik, mental, dan pikiran rutin dijalani oleh Bu Tintin. Ia bersyukur masih diberikan kesempatan untuk hidup. Kehidupan pascavonis kanker, ia sikapi dengan ceria tanpa stres. Bu Tintin yang sejak muda memang tidak membiasakan diri untuk mengonsumsi MSG, menerapkan pola makan yang semakin sehat.

 

Konsumsi bumbu dapur dan makanan yang berbau menyengat, seperti lada, nangka, serta durian, juga dibatasi. Kebijakan itu dilakukan karena makanan-makanan tersebut memang sudah harus dikurangi asupannya bagi siapapun yang telah menginjak usia 40 tahun.

 

Rutin mengikuti tes CA setahun sekali sebagai survivor, ia pun dinyatakan sembuh total dari kanker payudara. Saat ini, Bu Tintin hidup bahagia bersama anak dan cucu. Sel kanker tidak pernah lagi hadir di kehidupannya, dan semoga ini berjalan selamanya. Sehat-sehat selalu, Ibu! (TA/AS)

Baca juga: Deteksi Dini Kanker Payudara dengan SADARI