Halo. Sudah lama saya tidak menulis artikel lagi semenjak anak kedua lahir. Maklumlah, saya tinggal di luar kota yang jauh dari orang tua, no asisten rumah tangga (ART), dan no nanny. Semua saya urus sendiri bersama suami.

 

Kali ini saya mau sharing tentang pemilihan dokter anak atau lebih tepat disebut DSA. Sebelumnya saya pernah berbagi tentang pemilihan dokter kandungan waktu hamil kemarin. Sekarang ini sama kasusnya, hanya saja ada beberapa yang berbeda yaitu pemilihan dokter anak yang bertujuan untuk mengobati anak.

 

Jadi, ceritanya kemarin anak saya yang kedua sakit batuk dan pilek sudah hampir 2 minggu. Awalnya, saya berpikir hanya batuk pilek biasa, karena di daerah saya sering turun hujan. Sampai pada suatu hari, batuknya si Titi (anak saya yang kedua) tidak berhenti, mungkin sampai 10 menit.

 

Sampai akhirnya ia muntah, barulah ia agak lega. Namun, badannya langsung terlihat lemas banget. Otomatis, saya menelepon suami untuk memintanya cepat pulang, agar kami bisa membawa si Kecil ke dokter anak dekat rumah.

 

Saya sudah searching perihal dokter anak yang bagus di daerah tempat saya tinggal sekarang ini. Saya melahirkan si Titi di kampung halaman. Ketika usia si Titi 3 bulan, barulah saya pindah menyusul suami kerja. Karenanya, dokter anaknya berbeda.

Baca juga: Bayi Demam, Apakah Harus Langsung Dibawa ke Dokter?

 

Saya lanjutkan lagi, ya. Jadi pas suami saya pulang, saya mau ke dokter anak A, sedangkan suami bilang semua dokter tuh sama aja. Oke lah, karena saya juga tidak bisa ngotot macem-macem juga. Habisnya kondisi anak saya sudah lemas.

 

Akhirnya, pergilah kami ke rumah sakit di depan perumahan tempat tinggal saya. Antreannya tidak lama, padahal tuh rumah sakitnya selalu ramai meskipun kecil. Rumah sakit ini juga rumah sakit yang sama waktu saya cek kehamilan yang kedua.

 

Hasil pemeriksaan si Titi waktu itu ampun, deh. Asli saya dibuat syok dan menangis. Mereka bilang anak saya terkena tuberculosis (TB). Awalnya, saya tidak mengerti maksud dokter tuh apa. Ia cuma mengecek pakai stetoskop lalu melihat bagian dalam mulutnya si Titi saja. Kemudian ia langsung berkata kalau anak saya terkena TB.

 

Ia bilang kalau ini penyakit langka. Jika dalam 2 hari napas anak saya lebih dari 60 kali per menit, ia harus dibawa ke rumah sakit untuk dirawat inap, karena bisa membahayakan. Sontak saya sebagai orang awam kagetnya bukan main. Saya tanya itu penyakit apa? Maksudnya TB itu penyakit yang kayak gimana? Kok ia bisa terkena TB? Bagaimana cara menyembuhkannya?

 

Geng Sehat tahu tidak kira-kira jawaban dokter apa? Duh, menyakitkan banget. Dokter malah tanya balik kepada saya, "Ibu tahu flek?" Saya pun kembali bertanya flek itu kayak apa? Ia membalas, "Flek ya flek. Emang ibu kerjanya apa?"

 

Saya jawab, "Dulu saya kerja di perbankan."

 

Dan ini jawaban dari dokter yang membuat saya tidak akan mungkin lagi berkonsultasi ke dia, "Nah, ibu saja kerjanya di perbankan, bukan dokter kan? Bagaimana saya mau jelaskan? Kalau mau tahu, mesti belajar dulu satu bulan di fakultas kedokteran, baru ibu mengerti anak ibu sakit apa."

 

Ih, asli ya saya tuh langsung ilfeel (hilang feeling) dengan dokter itu. Sombong banget menghadapi pasiennya. Bukannya orang tuanya dibuat tenang dulu, malah di buat emosi jiwa dan bikin tambah panik.

 

Saking muaknya, saya cuma pasang muka jengkel ke dokter itu. Ia meresepkan obat batuk, obat pilek, dan antibiotik. What? Antibiotik??? Setahu saya anak saya tuh tidak demam, buat apa konsumsi antibiotik. Oke lah, toh resepnya tetap saja saya ambil.

 

Dengan jengkel dan sedih, saya keluar dari ruang praktik dokter yang sombong itu, lalu menghampiri suami yang sedang menemani anak pertama makan. Saya sampaikan semuanya ke suami, terus saya bilang mau cek ke dokter lain.

 

Suami sempat tanya si Titi sakit apa. Saya bilang kalau ia kena TB kata dokternya. Setelah keluar dari ruang praktik, saya langsung mencari tahu tentang TB. Saya langsung syok lah. Suami pun setuju untuk pindah ke dokter di salah satu rumah sakit ternama. Entah dokter yang direkomendasikan sama teman-temanku ada atau tidak, kami tetap datang.

 

Kebetulan dokter yang saya cari tidak ada, jadi konsultasi dengan dokter yang ada aja. Daripada tidak sama sekali. Antreannya sih tidak panjang, karena kalo cek di rumah sakit tersebut harus buat janji terlebih dahulu. Kalo tidak, mesti tunggu keesokan harinya. Duh, sempat down juga, tetapi karena darurat akhirnya dibantu sama pihak rumah sakit. Untungnya bisa.

 

Menunggunya lama. Ibaratnya, saya tuh bisa jalan-jalan dulu ke mal, makan, baru balik ke dokter. Untungnya di situ ada playground, jadi anak pertama saya sibuk bermain sampai antreannya selesai. Pas masuk ke ruang praktik, dokternya berbeda banget dengan dokter sebelumnya. Dokter yang sekarang lebih ramah, bersahabat, bahkan tidak pelit ilmu.

 

Meladeni saya yang cerewet saja sabar banget, no time limit lah buat orang tua yang mau tanya-tanya. Asli, saya puas banget sama pelayanan dokter ini. Saat pertama datang saja, si Titi disapa. Terus ditanya yang sakit yang mana.

Baca juga: Alasan Kenapa Kamu Sebaiknya Pergi ke Dokter

 

Sebelum diperiksa, ditanya dulu keluhannya dan sudah berapa lama? Saya bilang si Titi batuk pilek hampir 2 minggu tidak sembuh-sembuh. Terus dokternya menggali informasi lagi dari saya dan suami. Setelah dapat informasi tentang kondisi anak, dokter menanyakan lagi kepada kita, apakah ada riwayat alergi atau tidak?

 

Terakhir, saya ditanya mengonsumsi makanan apa? Apakah mengonsumsi cokelat, rawon, kacang hijau tidak minggu kemarin? Dan hasilnya tepat banget, kebetulan kemarin lusa saya masak rawon dan makan banyak cokelat. Jadi anak saya dideteksi mengalami alergi, bukan TB seperti yang dokter sebelumnya katakan.

 

Lalu, si Titi diresepkan obat batuk pilek dan obat antialergi. Saya tanya, "Perlu antibiotik kah, Dok?" Ia hanya menjawab jika anak saya demam, berarti ada yang luka di dalam badannya. Kalau begitu, baru ia membutuhkan antibiotik. Namun untuk seumuran si Titi yang baru 3,5 bulan, tidak ada penurunan berat badan juga. Jadi, tidak perlu antibiotik. Cukup ASI saja, karena itu merupakan antibiotik yang paling bagus.

 

Aahhh, rasanya saya lega banget mendengarnya. Dan hasilnya sekarang anak saya batuknya sudah mulai berkurang, lendirnya juga berkurang, dan tidur jauh lebih enak. Meski badan masih rada lemas, tetapi jauh lebih banyak minum ASI daripada sebelumnya. Puji Tuhan ya, anak saya tidak terkena penyakit yang aneh-aneh.

 

Bukannya tidak mau mendengar penyakit dari mulut dokter, tetapi saya pribadi tidak tega dan tidak tahan kalau anak saya sakit. Apalagi kalau sampai dirawat inap, pastinya kan perlu diinfus. Dulu waktu si Koko disuruh rawat inap karena diare saja, saya dan suami menolak. Padahal saat itu saja umur si Koko sudah 9 bulan, apalagi si Titi yang umurnya masih 3,5 bulan? Membayangkan anak sekecil mereka diinfus saya tidak tega, apalagi kalau benar-benar terjadi. Saya tidak akan tahan pastinya.

 

Yang jelas, pemilihan dokter anak tuh penting banget, lho. Dulu saya tidak terlalu peduli dalam pemilihan dokter anak, karena zaman si Koko jarang bahkan hampir tidak pernah ke dokter anak. Jadi, tahunya cuma dokter anak yang dipilihkan rumah sakit waktu saya melahirkan dulu. Kadang ya cocok-cocokan juga.

Baca juga: Tips Memilih Dokter Anak yang Tepat

 

Memilih dokter ibarat memilih cincin kawin lah, pilih yang pas dan berkualitas. Sebelumnya, dicek dulu track recordnya, praktik di mana aja, bagaimana reaksi pasien-pasien sebelumnya, ramah tidak kepada anak, sabar tidak meladeni orang tua cerewet kayak saya yang nanyanya tidak habis-habis, terus tidak pelit ilmu.

 

Untuk masalah harga, ya penting juga. Ada harga pasti ada kualitas, ya. Lagian asal anak sehat, agak mahal juga tidak apa-apa. Namanya juga sehat itu tidak murah ya, Mums? Ya, kalau ada apa-apa sama anak saya, pasti akan saya bawa ke dokter anak yang ini. Semoga bisa bermanfaat ya, Mums.