Meskipun stunting sudah bisa diturunkan, tetapi jumlah anak yang pendek atau kerdil masih tinggi di Indonesia. Maka wajar jika pengentasan masalah stunting menjadi salah satu program pemerintah Presiden Joko Widodo.

 

Bahkan dalam debat cawapres yang diselenggarakan pada 17 Maret 2019 lalu, masalah stunting menjadi salah satu topik yang diangkat. Tujuannya, agar masyarakat bisa menilai masing-masing program pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam penurunan angka stunting di Indonesia.

 

Menyoroti soal isu stunting dalam debat cawapres, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Ir. Ahmad Syafiq, Msc, PhD., memberikan tanggapannya.

 

Kepada beberapa awak media di Jakarta, Kamis (21/3), Syafiq menyatakan bahwa ada pemahaman yang keliru terkait stunting dari kedua paslon. Inilah beberapa di antaranya!

 

Baca juga: Jangan Sepelekan Stunting, Ini Bukan Hanya Soal Tubuh Pendek!
 

Pencegahan Stunting Paling Optimal di 1.000 Hari Pertama Kehidupan

Menurut Syafiq, pencegahan stunting paling optimal memang dimulai sejak masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun, atau dikenal dengan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

 

Di masa ini, pertumbuhan dan perkembangan janin sangat pesat, sehingga seluruh potensi terbaik dari aspek gizi, stimulasi, dan kesehatan lingkungan harus diberikan.

 

Dalam debat cawapres, pentingnya 1.000 HPK ini dilontarkan oleh calon wakil presiden dari paslon 01, Prof. Dr. K. H. Ma'ruf Amin. Sementara lawannya, Sandiaga Uno, melontarkan program sedekah putih untuk mencegah stunting. Yang dimaksud sedekah putih adalah bantuan protein, berupa ikan atau susu.

 

“Pencegahan stunting memang sangat tepat dilakukan dalam periode 1.000 HPK. Namun, meneruskannya hingga setelah anak usia 2 tahun juga tidak salah,” jelas Syafiq.

 

Menurut Syafiq, perbaikan gizi anak setelah usia 2 tahun tetap berkontribusi mengejar ketertinggalan kondisi stunting meskipun tidak seoptimal saat anak berusia di  bawah 2 tahun.

 

Baca juga: Utamakan Pemberian Protein Hewani untuk Mencegah Stunting!

 

Mengatasi Stunting Setelah Lewat Usia 2 Tahun

Lebih jauh, Syafiq menjelaskan bahwa penyebab utama stunting di Indonesia adalah kekurangan kalori dan protein, terutama protein hewani. Kekurangan protein ini bisa terjadi sejak masa pemberian ASI eksklusif, akibat asupan ibu menyusui yang kurang.

 

“Makanya ada wacana pemberian sembako bagi ibu hamil yang diusulkan paslon 01 itu sangat bagus. Namun, alangkah baiknya jika diteruskan sampai ibu menyusui selama 6 bulan,” ujar Syafiq.

 

Kekurangan protein di 1.000 HPK berpotensi menyebabkan stunting dan pertumbuhan otak tidak maksimal. Syafiq menduga, promosi makan buah dan sayur yang terlalu masif justru membuat protein terpinggirkan. Di masa tumbuh kembang, bayi dan anak lebih membutuhkan protein daripada buah dan sayur.

 

Sumber protein terbaik adalah protein hewani, yaitu ikan, daging merah, telur, dan susu. Ibu hamil dan menyusui harus banyak mengonsumsi protein hewani, serta perlu diteruskan selama periode MPASI. Menurut Syafiq, tren memberikan pure buah dan sayuran itu sebenarnya tidak benar untuk MPASI. Gizinya tidak lengkap.

 

Ketika memenuhi kebutuhan protein sulit, misalnya ikan dan daging mahal, maka ada sumber protein yang lebih murah yaitu susu. “Tidak benar bahwa pemberian susu setelah usia 1 tahun tidak memberikan kontribusi. Perlu dipahami bahwa pemberian susu setelah 2 tahun masih memberikan dampak (pada perbaikan gizi),” tegas Syafiq.

 

Baca juga: Tidak Hanya Tubuh, Otak Anak Stunting Juga Lebih Kecil

 

1.000 HPK Menjadi 8.000 HPK

Penelitian oleh Bandi dkk menyatakan, optimalisasi tumbuh kembang anak bisa dilakukan hingga 8.000 HPK, saat memasuki usia remaja, atau pertumbuhan anak sudah benar-benar berhenti. Bahkan masih ada dampaknya pada peningkatan kecerdasan.

 

Jadi, lanjut Syafiq, "Kita tetap memiliki peluang dan jangan terhenti sampai 1.000 HPK. Kondisi gizi anak masih bisa dikoreksi, termasuk potensi tinggi badannya masih bisa diupayakan bertambah, sampai 8.000 hari kehidupan. Jangan sampai ada pemahaman ketika sudah lewat 1.000 HPK sudah tidak bisa melakukan apapun.”

 

Sebuah studi pernah dilakukan untuk meneliti anak stunting yang didiamkan saja alias tidak diberikan intervensi gizi. Hasilnya ternyata jauh lebih buruk dibandingkan anak yang pernah stunting tetapi diintervensi dan anak yang tidak pernah stunting.

 

Dengan melakukan intervensi gizi terus-menerus, diharapkan angka stunting akan terus turun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) membatasi masalah stunting di setiap negara, provinsi, dan kabupaten sebesar 20%. saat ini, di Indonesia baru mencapai 29,6%.

 

Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 2017, prevalensi balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi, hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni Yogyakarta (19,8%) dan Bali (19,1%). Provinsi lainnya memiliki kasus dominan tinggi dan sangat tinggi, yakni sekitar 30-40%. (AY/AS)

 

Baca juga: Pemahaman Gizi Rendah Menyebabkan Kasus Malnutrisi Meningkat

 

 

Referensi:

Depkes.go.id. Penurunan Stunting Jadi Fokus Pemerintah.