Geng Sehat mungkin pernah mendengar penyakit Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH). Ini adalah penyakit langka berupa kelainan hormon dimana tubuh tidak mampu memproduksi 3 hormon penting dalam kelenjar korteks adrenal. Akibatnya, terjadi gangguan metabolisme dalam sistem tubuh serta ambiguitas pada organ kelamin penderitanya. Dalam bahasa Indonesia, penyakit ini disebut Hiperplasia Adrenal Kongenital (HAK).

 

Belum lama ini, GueSehat mendatangi sebuah diskusi tentang HAK yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan bertemu dengan seorang Ibu yang memiliki 4 orang anak dengan kelainan bawaan HAK ini. Simak yuk, kisah perjuangan Marlaen Oktavia (37), ibu yang hebat itu, agar Kamu dapat memberikan dukungan lebih pada penderita HAK.

 

Baca juga: Albino, Kelainan Genetik Turunan

Terlahir dengan HAK

“Saya memiliki 7 anak. 4 orang dari mereka, positif didiagnosis CAH. Bahkan, anak ke-3, sudah mendahului Kami semua pada usia 1 bulan, diduga akibat HAK juga,” tutur Marlaen Oktavia memulai kisahnya. Anak pertama Marlaen, Mario Fichal Marzya (15 tahun) terlahir berkulit  hitam legam. Fakta ini menuai kehebohan di lingkungan tempat tinggal Marlaen. Pasalnya, baik Marlaen maupun suaminya berkulit putih dan memiliki keturunan Tionghoa.

 

Kecurigaan Marlaen berawal saat Mario yang lahir dengan berat badan 3kg, mengalami muntaber parah hingga berat badannya susut menjadi 2 kg saja. Mario sempat dilarikan ke ICU rumah sakit terdekat, tetapi setelah seminggu dirawat, tim dokter pun menyerah dan merujuk Mario untuk mendapatkan pemeriksaan dengan dokter spesialis endokrinologi di RSCM.

 

Setibanya disana, dokter spesialis memberikan obat yang sanggup membuat kulit Mario putih seketika dalam satu kali dosis pemberian. Marlaen lalu diinformasikan bahwa Mario mengidap penyakit HAK. 

 

Akibat penyakit Hiperplasia Adrenal Kongenital, yang disebabkan oleh faktor genetik, Mario harus terus-menerus mengonsumsi hormon yang tidak diproduksi tubuhnya. Saat memiliki anak ke-4, Mikhaeel Jonas Firzya, Marlaen kembali berhadapan dengan penyakit yang sama.

 

Lain Mario, lain pula Mikhaeel. Marlaen menyadari potensi HAK pada diri anaknya, saat melihat kulit Mikhaeel tampak legam, sekalipun tidak pernah ditemukan gejala muntaber pada dirinya.

 

Awalnya, Marlaen sempat memberikan perawatan yang dibutuhkan oleh Mario dan Mikhaeel. Namun, karena pada tahun-tahun berikutnya, Marlaen kembali dikaruniai 3 orang anak ( 2 diantaranya juga mengidap HAK), maka keterbatasan kondisi dan ekonomi menyulitkan Marlaen untuk memberikan obat dengan dosis yang sama rata. Marlaen pun terpaksa tidak memberikan terapi hormon HAK selama 2 tahun pada Mario dan Mikhaeel.

 

Dokter menyatakan pertumbuhan Mario 99.99% telah selesai pada usia 14 tahun. Begitu pula dengan Mikhaeel, yang pertumbuhan tulangnya (bone age) telah dinyatakan rampung, saat usianya baru beranjak 8 tahun.

 

Artinya, paras, bentuk tubuh, serta tinggi badan Mario dan Mikhaeel saat mereka beranjak dewasa nanti, akan tetap sama seperti yang mereka miliki pada saat ini. Tubuh mereka tidak bisa bertambah tinggi lagi, sehingga risiko memiliki tubuh yang pendek bisa terjadi pada mereka di usia dewasa.

 

Marlaen menemukan tantangan yang berbeda, saat anak keenamnya mengalami HAK. Mendy Joseph Fith (3 tahun) adalah anak perempuan yang sempat dikira berjenis kelamin laki-laki oleh bidan yang membantunya saat persalinan.

 

Hal ini dikarenakan, bentuk vaginanya yang merapat dan klitorisnya yang memanjang sehingga menyerupai penis. Marlaen baru menyadari bahwa Mendy bukan pria, saat dokter spesialis menyatakan bahwa anaknya adalah wanita, melalui hasil tes USG dan tes kromosom.

 

Menurut dokter, ambiguitas genital pada anak perempuan dan abnormalitas pada kelamin anak laki-laki, memang merupakan salah satu tanda penyakit HAK. Tim medis lalu merekomendasikan operasi penyempurnaan kelamin agar Mendy memiliki vagina yang sesuai sejak usia dini.

 

Berkat dukungan dari BPJS dan berbagai pihak, operasi ini berjalan lancar. Dokter menyarankan agar Mendy melakukan pemeriksaan kembali pada usia 13 tahun, sebelum ia mengalami pubertas kelak. Tujuannya, agar kondisi organ genitalnya dapat dipastikan baik dan siap untuk mengalami menstruasi.

 

Anak bungsu Marlaen juga terlahir dengan CAH, seperti ketiga kakaknya. Anak ke-7 yang diberi nama Miracle Reynand Joseph (2 tahun) itu, bahkan sempat mengalami masalah pernapasan setelah dilahirkan. Warna kulit yang menghitam serta gelagat yang ditunjukkan oleh Miracle, tampak tak asing di mata Marlaen.

 

Ia yakin, putranya ini juga mengidap HAK. Untuk memastikan diagnosis HAK, Miracle harus mengikuti sebuah pemeriksaan yang disebut cek 17-OH Progesteron (17-OHP). Tes 17 OHP ini akhirnya bisa terlaksana berkat adanya bantuan dari donatur yang berkenan meringankan biaya pemeriksaan. Hasilnya, sesuai dugaan, Miracle juga positif mengidap HAK. 

 

Penyebab HAK

Umumnya, HAK disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan oleh pasangan suami istri. Penyakit ini diturunkan oleh secara langsung oleh orang tua atau keturunan. Cara penurunannya dengan autosomal resesif, artinya saat ada anak yang terdiagnosis HAK, berarti kedua orang tuanya lah yang menjadi pembawa sifat penyakit ini.

 

Anak dari orangtua yang memiliki sifat pembawa HAK, memiliki risiko mengidap HAK sebesar 25%. Sementara 25 %-nya lagi kemungkinan dilahirkan normal. Lalu sisa 50%-nya lagi, ia berisiko membawa sifat HAK seperti orangtuanya.

 

Dokter pun memperkirakan ini juga hal yang dialami oleh anak-anak Marlaen. Meskipun sampai saat ini, sulit bagi Marlaen untuk memastikan hal tersebut. Walau bagaimanapun, Marlaen bersyukur, ada 2 orang dari 7 anaknya, yang sehat dan tidak terdiagnosis HAK.

 

Baca juga: 5 Jenis Kanker Paling Langka di Dunia

 

Pengobatan untuk HAK

Setiap 3 bulan sekali, Marlaen disarankan untuk melakukan tes 17 OHP untuk ke-empat anaknya. Tes ini bertujuan untuk menentukan dosis tepat pemberian obat (terapi hormon) sebagai bagian dari perawatan HAK. Prosedur ini tentunya sangat berat bagi Marlaen.

 

Jumlah obat yang semestinya ia berikan pada 4 anaknya, kadang tidak selalu dapat terpenuhi. “Kadang saya terpaksa meminta anak yang lebih tua untuk mengalah pada adiknya. Hari ini, giliran anak ke-6 dan ke-7 yang minum obat. Besoknya, kalau ada rezeki lagi, giliran kakak-kakaknya.”

 

Mau tidak mau, pola pemberian obat seperti ini, terpaksa ditempuh oleh Marlaen. Pasalnya, ada dua jenis obat terapi hormon yang harus dikonsumsi oleh ke-4 anaknya setiap hari, yaitu Florinef dan Hidrokortison. Kedua obat ini wajib mereka konsumsi seumur hidup, sedangkan harga per butirnya tidaklah murah.

 

Saat dokter pertama kali memberitahunya tentang prosedur pengobatan ini, Marlaen sangat sedih membayangkan perjalanan ke-4 anaknya kelak. “Saya hanya bisa berserah. Allah yang beri penyakit, pasti Allah juga yang beri jalan keluarnya,” ungkap Marlaen.

 

Sejak anak pertama didiagnosis HAK pun, Marlaen dan suami sudah berusaha menjaga program kehamilan sebaik mungkin. Mereka sadar, bahwa mereka pembawa sifat penyakit HAK. Namun, apapun metode kontrasepsi yang Marlaen tempuh, ia dan suami tetap dikaruniai buah hati. “Mungkin sudah takdir, kondisinya harus seperti ini. Saya dan suami hanya bisa mencukupi semua kebutuhan dan pengobatan anak-anak semaksimal mungkin.”

 

Dampak Psikologis yang Timbul Akibat HAK

HAK tentu menimbulkan pertanyaan serta efek samping dalam diri anak-anak. Dan seluruh dampak ini, harus ditampung oleh Marlaen. “Salah satu dari mereka, bahkan pernah mempertanyakan angka harapan hidup yang bisa ia miliki sebagai penderita HAK.

 

Belum lagi beragam bullying yang diberikan oleh teman-teman mereka. Ada yang dijuluki ‘orang tua’ karena paras mereka yang tidak seperti anak-anak pada umumnya, “papar Marlaen. Menyikapi pertanyaan-pertanyaan ini, sedapat mungkin Marlaen selalu membesarkan hati mereka.

 

Mungkin tidak ada yang tahu, Marlaen kerap menyalahkan diri sendiri bila menatap wajah anaknya satu per satu saat mereka tertidur. Tak jarang, Marlaen bertanya dalam hati, kenapa ia diberi anak lagi, padahal ada risiko untuk mengidap HAK bagi anak-anak ini.

 

“Tapi, berkat tumbuh sebagai anak tunggal, pada akhirnya saya selalu menguatkan diri untuk anak-anak. Karena hanya saya, kekuatan mereka. Mungkin Kami memang dipercaya untuk mendidik mereka. Saya hanya berharap, semoga mereka semua bisa sehat, berumur panjang dan memiliki kehidupan yang baik seperti anak normal lainnya,” imbuh Marlaen.

Baca juga: Inilah 5 Penyakit Langka dan Kendala Penanganannya di Indonesia

 

Dukungan Medis untuk Anak-anak dengan CAH

Untungnya, beban pikiran Marlaen terkait biaya perawatan HAK, menjadi lebih ringan berkat adanya program dokter asuh bagi anak-anak penderita HAK di RSCM, Jakarta.

 

“Seringkali, para dokter asuh yang mengingatkan setiap tiga bulan sekali, bahwa kondisi kesehatan anak-anak sudah harus dicek kembali. Kadang, ada dokter yang memberikan keringanan untuk pemeriksaan, bila saya belum memiliki dana,” ungkap Marlaen. Di rumah sakit, beberapa yayasan juga pernah memberikan donasi pada Marlaen berupa perlengkapan anak dan obat terapi hormon untuk HAK.

 

Di akhir sesi wawancara dengan GueSehat, Marlaen menyelipkan harapannya agar pemerintah dan berbagai pihak tergerak untuk memberikan dukungan lebih terhadap para penderita HAK di Indonesia. Khususnya, terkait keringanan biaya pengobatan serta biaya tes 17-OHP bagi warga yang membutuhkan.

 

Dikarenakan kedua hal ini merupakan kebutuhan utama yang harus selalu dipenuhi oleh penderita HAK seumur hidup. Berdasarkan pengalaman Marlaen, stok obat terapi hormon untuk penderita HAK ini seringkali kosong, di saat ia dan suami telah mengumpulkan uang untuk membeli obat tersebut.

 

“Saya berharap, pemerintah menyadari, bahwa penyakit ini ada, dan tidak sedikit jumlah penderitanya. Semoga pemerintah berkenan melakukan penelitian lebih lanjut tentang HAK, agar orangtua dari para penderita HAK mengetahui harapan hidup untuk anak-anak mereka di masa depan,”saran Marlaen. (TA/AY)