Sebentar lagi kita akan memasuki bulan terakhir di tahun 2019, Gengs! Mengawali bulan Desember, kita juga kembali berjumpa dengan Hari AIDS Sedunia yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Desember.

 

Seperti yang kita ketahui bersama, ancaman HIV/AIDS masih menjadi momok yang cukup menakutkan bagi masyarakat. Kabar baiknya, berbagai kegiatan kampanye dan edukasi yang diselenggarakan oleh beragam organisasi pemerhati HIV/AIDS mulai berdampak pada terbukanya wawasan masyarakat luas mengenai penyakit ini.

 

Edukasi kepada masyarakat luas menjadi hal yang sangat penting dalam upaya menangani kasus-kasus HIV/AIDS. Melalui edukasi yang tepat, masyarakat tidak hanya diajak untuk menyadari bahaya dari infeksi virus HIV, melainkan juga bisa diajak untuk mulai melepaskan stigma-stigma negatif yang selama ini melekat, yang membuat para penderita enggan untuk memeriksakan diri bahkan berobat.

 

Baca juga: Prosedur Tes HIV: Persiapan, Jenis, dan Risikonya

 

UNAIDS, lembaga milik PBB yang berfokus dalam pencegahan, penanganan, serta pemberian dukungan untuk para penderita HIV/AIDS, telah menerbitkan dokumen berjudul Global AIDS Update 2019 – Communities at the Center.

 

Secara garis besar, dokumen ini menekankan pentingnya peran dari komunitas terhadap suksesnya program penanggulangan HIV/AIDS di suatu negara dan tentunya di skala global. Ada 3 poin utama mengenai peran penting komunitas dalam penanganan HIV/AIDS, yaitu defending rights atau memastikan semua penderita HIV/AIDS berhak mendapatkan pengobatan yang layak, breaking barriers atau menghilangkan beragam hambatan yang selama ini menghalangi para penderita menerima pengobatan, serta reaching people with HIV services atau menjangkau orang-orang dengan layanan pencegahan serta pengobatan HIV.

 

Peran yang sedemikian penting dari komunitas ini bukan tanpa alasan, Gengs! Data yang dihimpun dari UNAIDS menyebutkan bahwa lebih dari 50% kasus infeksi HIV baru dilaporkan terjadi pada populasi kunci terdampak HIV dalam masyarakat.

 

Baca juga: Stigma Negatif Sebabkan Orang Enggan Lakukan Tes HIV/AIDS

 

Populasi kunci (key population) adalah sebagian kecil dari seluruh populasi yang berada dalam risiko yang sangat tinggi untuk mengalami infeksi HIV/AIDS. Yang termasuk ke dalam key population yaitu pekerja seks komersial, kaum homoseksual, transgender, pengguna obat-obatan terlarang, narapidana, serta partner seksual mereka.

 

Proporsi yang tergolong kecil ini sering kali tidak memiliki akses terhadap pengobatan HIV/AIDS atau aksesnya terhalang berbagai hambatan dari komunitas, seperti stigma negatif serta diskriminasi, sehingga mereka semakin enggan untuk berobat. Bahkan di beberapa tempat, stigma dan diskriminasi tersebut dilaporkan datang juga dari petugas kesehatan dan politikus.

 

Media Sosial sebagai Sarana Edukasi dan Menghilangkan Stigma

Siapa sih Geng Sehat yang enggak punya media sosial di zaman sekarang? Pasti semua sudah punya, bahkan lebih dari 1. Geng Sehat juga pasti enggak asing kan dengan istilah “The Power of Social Media”?

 

Ya, faktanya, zaman now media sosial memang memiliki potensi yang besar untuk memengaruhi opini dan pergerakan dalam masyarakat, asalkan kita tahu cara memanfaatkannya. Potensi itu jugalah yang dapat digunakan untuk mendukung kesuksesan penanggulangan HIV/AIDS.

 

Buktinya selain melakukan kegiatan kampanye melalui penyuluhan langsung, berbagai lembaga pemerhati HIV/AIDS saat ini juga menggandeng banyak influencer, istilah pemilik akun media sosial yang digandrungi oleh banyak orang, untuk mensosialisasikan serba-serbi penyakit HIV/AIDS.

 

Seorang influencer biasanya memiliki jumlah followers yang sangat banyak dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Hal inilah yang dapat dimanfaatkan untuk menyebarluaskan informasi yang berharga seputar HIV/AIDS.

 

Baca juga: Infeksi Oportunistik: Ancaman Terbesar bagi Penderita HIV/AIDS

 

Lalu bagaimana dengan stigma negatif yang melekat pada penyakit HIV/AIDS? Walaupun bagi masyarakat di Indonesia masih sedikit kontroversial, saat ini cukup banyak influencer yang menekankan pentingnya pendidikan seksual yang baik serta perilaku seks yang sehat dan bertanggung jawab untuk meminimalisasi penularan HIV.  

 

Mereka juga membagikan informasi tentang pentingnya pemeriksaan status HIV pada mereka yang aktif secara seksual, terlebih pada kelompok berisiko tinggi yang sudah disebut sebelumnya.

 

Belum lagi sharing kisah-kisah inspiratif para ODHA (orang dengan HIV/AIDS), yang terbukti dapat bertahan hidup dengan sehat dan tetap berprestasi selama mereka memiliki akses terhadap pengobatan serta support system yang baik.

 

Lantas apakah kita harus menjadi seorang influencer dengan jutaan followers untuk bisa membantu program penanggulangan HIV/AIDS? Tentu tidak, Gengs! Community at the center yang ditekankan oleh UNAIDS justru dimulai dari skala kecil.

 

Jadi, masing-masing dari kita bisa mulai menggunakan akun media sosial untuk membagikan informasi yang berguna seputar HIV/AIDS. Tentunya Geng Sehat tetap boleh menggunakan akun yang sama untuk bertukar kabar, belanja online, atau stalking akun mantan. Harapannya, lebih banyak orang memperoleh edukasi yang tepat mengenai pencegahan, pemeriksaan, serta penanganan HIV/AIDS. Yuk, gunakan power of socmed-mu!

 

Baca juga: 6 Langkah Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

               

Referensi

UNAIDS: Global AIDS update 2019 — Communities at the centre